JAKARTA, KOMPAS — Untuk memperkecil risiko pelambatan pertumbuhan ekonomi global, perdagangan dan investasi mesti lebih terbuka. Untuk mendorong kondisi itu, kemudahan berusaha lebih ditingkatkan.
Pelambatan pertumbuhan ekonomi global akan berdampak pada kinerja ekspor Indonesia. Situasi ini mesti diwaspadai, apalagi ekspor komoditas masih berperan besar di Indonesia.
Di sisi lain, Indonesia sebagai importir bersih minyak juga akan berhadapan dengan persoalan harga minyak yang diperkirakan melambung akibat kondisi geopolitik.
”Perdagangan dan investasi di Indonesia masih sangat tertutup. Risiko memiliki ekonomi yang tertutup akan jauh lebih besar dibandingkan dengan ekonomi terbuka,” kata Kepala Peneliti Makroekonomi dan Finansial Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Febrio Kacaribu dalam seminar bertema proyeksi ekonomi Asia Tenggara, China, dan India pada 2019 di Jakarta, Kamis (11/4/2019).
Perdagangan dan investasi di Indonesia masih sangat tertutup. Risiko memiliki ekonomi yang tertutup akan jauh lebih besar dibandingkan dengan ekonomi terbuka. (Febrio Kacaribu, Kepala Peneliti Makroekonomi dan Finansial Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia)
Dalam Laporan Bank Dunia tentang Kemudahan Berbisnis 2019, skor Indonesia naik dari 66,54 pada 2018 menjadi 67,96. Namun, peringkat Indonesia turun dari 72 menjadi 73.
Sementara Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini menjadi 3,3 persen. Dalam enam bulan terakhir, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dunia, dari 3,7 persen menjadi 3,5 persen, kemudian 3,3 persen.
Pelambatan ekonomi berdampak terhadap kinerja perdagangan global. Pertumbuhan volume perdagangan barang dan jasa 2019 diproyeksikan melambat menjadi 3,4 persen.
Secara khusus, Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde mengingatkan dampak akibat harga minyak dunia yang kemungkinan naik pada tahun ini. Kenaikan harga ini seiring dengan kondisi geopolitik negara-negara produsen minyak.
Neraca minyak pada transaksi berjalan 2018 menunjukkan, Indonesia defisit 18,392 miliar dollar AS.
Di laman Bloomberg, Kamis malam, harga minyak dunia jenis Brent 71,25 dollar AS per barel, sedangkan WTI 63,98 dollar AS per barel.
Sementara itu, harga batubara acuan merosot dari 92,45 dollar AS per ton pada Januari 2019 menjadi 88,85 dollar AS per ton per April 2019.
Menurut Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agung Pribadi, penurunan harga dipengaruhi kebijakan energi di India dan China. Kedua negara itu pengimpor utama batubara asal Indonesia. India sedang menerapkan pembatasan impor batubara, sedangkan China menaikkan produksi batubara.
”Ada pula faktor penurunan penjualan batubara ke Jepang dan Korea. Hal itu turut memengaruhi penurunan harga indeks batubara bulanan,” ujar Agung.
Kepala Departemen Moneter dan Pasar Modal IMF Tobias Adrian dalam konferensi pers di Washington DC, AS, memaparkan, negara-negara di dunia akan menghadapi tantangan menyeimbangkan kebutuhan dan memperketat pengawasan sektor keuangan dalam situasi pertumbuhan ekonomi global yang melambat.
IMF menyoroti penumpukan utang pemerintah dan korporasi di negara maju dan berkembang. Di AS, rasio utang korporasi terhadap PDB menyentuh rekor tertinggi. Adapun di beberapa negara Eropa, perbankan mulai terbebani obligasi pemerintah. (APO/KRN)