Prosedur Tak Jelas, Penyelesaian Kasus Pelecahan Seksual Lamban
Ketidakjelasan prosedur penanganan pelanggaran etik mengakibatkan Universitas Gadjah Mada terlalu lama menyelesaikan kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa salah seorang mahasiswi. Penyatuan aturan yang saling bersinggungan perlu dilakukan agar hal serupa tak terulang.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS - Ketidakjelasan prosedur penanganan pelanggaran etik mengakibatkan Universitas Gadjah Mada terlalu lama menyelesaikan kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa salah seorang mahasiswi. Penyatuan aturan yang saling bersinggungan perlu dilakukan agar hal serupa tak terulang.
Kasus dugaan pelecehan seksual menimpa seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), sewaktu menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN), di Pulau Seram, Maluku, pada 2017. Terduga pelaku merupakan mahasiswa Fakultas Teknik UGM, yang bersama penyintas, menjalani KKN di lokasi yang sama.
“Jadi, sebenarnya mereka (UGM) sudah punya instrumen. Begitu ada kejadian pelanggaran, langsung dibentuk komite etik. Tidak perlu pembentukan tim pencari fakta dan yang lain,” kata Kepala Ombudsman Perwakilan DIY Budhi Masturi, saat memaparkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Dugaan Maladministrasi Penanganan Pelecehan Seksual KKN UGM, di Yogyakarta, Kamis (11/4/2019).
Instrumen tersebut yakni Peraturan Rektor UGM Nomor 711/P/SK/HT/2013 tentang Tata Perilaku Mahasiswa UGM. Sesuai peraturan itu, Komite Etik bisa langsung dibentuk jika terjadi pelanggaran. Selanjutnya, komite tersebut yang bertugas menyelidiki dan memeriksa, hingga memberi rekomendasi.
Sementara itu, Komite Etik baru dibentuk sekitar akhir 2018 dan dinilai terlambat. Sebab, sebelumnya, UGM juga membentuk Tim Investigasi Rektorat UGM atau Tim Evaluasi KKN-PPM 2018, pada April 2018, yang telah menyerahkan hasil penyelidikannya, Juli 2018. Namun, hasil penyelidikan dari tim itu ada yang teringkari, karena terduga pelaku masuk dalam daftar wisuda, pada November 2018.
Padahal, terduga pelaku belum menyelesaikan seluruh konseling wajib yang menjadi salah satu sanksi yang dikenakan kepadanya. Terduga pelaku baru bisa diwisuda jika telah menyelesaikan seluruh konseling wajib dan memperoleh hasil memuaskan. Artinya, terduga pelaku mengakui perbuatannya dan diharapkan tak mengulanginya di kemudian hari.
Budhi menjelaskan, nama terduga pelaku bisa masuk ke dalam daftar wisudawan karena ada ketidaksesuaian keterangan pengunduran diri dari KKN. Setelah terduga pelaku mengakui perbuatannya terhadap penyintas, hukuman yang dikenakan adalah pengunduran diri dari lokasi KKN. Dalam surat pengunduran diri itu, seharusnya ditulis bahwa terduga pelaku mundur dari KKN karena melakukan tindak asusila.
Tetapi, yang tertulis adalah, terduga pelaku mengundurkan diri karena pergi tanpa izin dari lokasi KKN untuk menemui keluarga. Keterangan tersebut ditandatangani pihak Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) UGM, yang bertugas mengurus KKN UGM.
“Ini merupakan bentuk ketidakcermataan. Seakan-akan DPkM (UGM) mengaburkan pelanggaran yang sebenarnya. Alasan yang ditulis berbeda dengan yang telah diperbuat,” kata Budhi.
Kemudian, akibat alasan perbedaan alasan pengunduran diri itu, Rektor UGM Panut Mulyono bisa memberikan disposisi untuk mengeluarkan nilai KKN milik terduga pelaku. Hal utu juga menjadi bentuk tindakan yang tidak berhati-hati. Pasalnya, penyelesaian seluruh kewajiban konseling oleh terduga pelaku belum diketahui pihak kampus.
Selain itu, Budhi menjelaskan, pemberian sanksi juga rancu. Menurut Tata Tertib KKN, tindakan asusila dikenai sanksi peringatan Tingkat III. Pada tingkatan itu, masih dibagi dua, yakni III A dan III B. Untuk III A, bisa melanjutkan sebagai KKN tetapi nilainya dikurangi, sedangkan III B, mahasiswa diminta mengundurkan diri dari KKN.
“Ini seakan-akan memberikan konsekuensi kalau ada pelanggaran asusila itu harus dinilai derajat asusilanya seberapa berat. Ini membingungkan. Perbuatan asusila apa pun, sedikit atau banyak, itu sama-sama sakit psikologis korbannya,” kata Budhi.
Budhi menyarankan, upaya penanganan dugaan pelecehan seksual itu dievaluasi secara menyeluruh sebagai bahan perbaikan menangani masalah serupa pada masa mendatang. Titik lemahnya harus dipetakan agar universitas bisa lebih taktis menangani kasus seperti itu.
“Unit pengaduan internal juga perlu dibentuk. Selama ini, belum ada unit itu. Hal itu membuat korban atau penyintas kesulitan mengadukan permasalahan yang dialami,” kata Budhi.
Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Dugaan Maladministrasi Penanganan Pelecehan Seksual KKN UGM telah diserahkan kepada pihak UGM, kepada Kepala Sub Direktorat KKN UGM Ambar Kusumandari. Akan tetapi, saat dimintai keterangan seusai menerima LAHP tersebut, Ambar tidak bersedia menjawab.
Secara terpisah, Wakil Rektor Bidang Alumni dan Kerja Sama UGM Paripurna Sugarda mengungkapkan, belum menerima laporan tersebut. Ia akan segera membaca dan mempelajari laporan itu setelah menerimanya. Setelah itu, pihak universitas baru bisa menindaklanjuti saran korektif dari laporan tersebut.