Tata kelola pertambangan di Indonesia masih bermasalah dan rawan tindak pidana korupsi. Buruknya tata kelola antara lain pada sisi transparansi dan penegakan hukum yang lemah.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tata kelola pertambangan di Indonesia masih bermasalah dan amat rawan terjadi tindak pidana korupsi. Buruknya tata kelola terletak pada, antara lain, transparansi dan penegakan hukum yang lemah. Rekomendasi perbaikan tata kelola dari Komisi Pemberantasan Korupsi tidak semuanya dipatuhi pemerintah.
Demikian yang mengemuka dalam diskusi publik tentang perizinan tambang yang bebas korupsi untuk pembangunan berkelanjutan, Kamis (11/4/2019), di Jakarta. Sebagai pembicara kunci adalah Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dengan narasumber peneliti pada Transparency International Indonesia, Ermy Sri Ardhyanti; anggota Ombudsman. Laode Ida; Manajer Advokasi dan Jaringan pada Publish What You Pay Indonesia Aryanto Nugroho; serta Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahli Geologi Indonesia Singgih Widagdo.
Menurut Syarif, berdasarkan pengalaman KPK, tata kelola sektor sumber daya alam di Indonesia punya masalah atau penyelewengan yang cukup besar. Ada triliunan rupiah kewajiban perusahaan yang belum bisa bisa dipungut pemerintah. Padahal, apabila tata kelola sumber daya alam di Indonesia bagus, pemasukan bagi negara cukup luar biasa.
”Salah satu contohnya adalah per Maret 2019, ada 53 persen pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang belum menyetorkan dana jaminan reklamasi. Kan aneh, kewajiban belum dipenuhi, tetapi mereka bisa beroperasi,” ujar Syarif.
Syarif menambahkan, KPK sudah memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah dalam hal perbaikan tata kelola sumber daya alam. Namun, tak semua rekomendasi itu dilaksanakan. Ada pula rekomendasi yang direalisasikan, yaitu penyusunan Mineral Online Monitoring System di Kementerian ESDM yang memuat data produksi dan penjualan mineral serta batubara perusahaan secara langsung.
Dari penelitian Transparency International Indonesia, menurut Ermy, ada 35 risiko korupsi yang teridentifikasi pada proses pemberian izin tambang di Indonesia. Dari semua risiko itu, ada lima risiko utama yang mendesak diperhatikan, yaitu transparansi, kelengkapan data wilayah pertambangan, lemahnya pengawasan lapangan, ketidakpastian aturan, dan lemahnya penegakan hukum.
”Soal transparansi, pemerintah memang meluncurkan aplikasi data mineral dan batubara di Indonesia. Sayangnya, data itu tak bisa diakses publik atau tidak diperbarui,” kata Ermy.
Ombudsman juga menyoroti masalah pemberian izin pertambangan di Indonesia. Menurut Laode Ida, apabila tak diawasi dengan ketat, hal itu akan banyak terdapat pelanggaran penyelenggaraan pertambangan. Apalagi, pengawasan di lapangan sangat lemah.
Ada 38 perusahaan yang enggan melaporkan susunan kepemilikan perusahaan.
”Jika tak diawasi akan sangat berbahaya. Sayangnya, pengawasan di lapangan lemah sehingga banyak operasi pertambangan dilakukan secara sembrono,” kata Ida.
Sementara itu, Aryanto menyoroti tentang masih lemahnya kepatuhan perusahaan tambang melaporkan susunan pemilik saham perusahaan (benefecial ownership). Menurut dia, ada 38 perusahaan yang enggan melaporkan susunan kepemilikan perusahaan. Kewajiban pelaporan kepemilikan sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018.
Data dari Kementerian ESDM 2018 menyebutkan, dari 5.670 IUP di Indonesia, masih ada 539 IUP belum berstatus bersih tanpa masalah (clear and clean/CNC). Begitu pula masalah produksi batubara yang melampaui rencana pembatasan produksi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Selain itu, ratusan lubang bekas tambang batubara yang terbengkalai menelan belasan korban jiwa akibat jatuh tenggelam.