Antusiasme Pemilih di Australia, Antrean Mengular sampai Ratusan Meter
Tak terlalu salah jika murid-murid Bahasa Indonesia di Monash University, Melbourne, melukiskan pemilu presiden dan pemilu legislatif di Indonesia tahun 2019 sebagai sebuah pesta besar demokrasi yang ”ramai dan penuh warna”, seperti dilaporkan Australian Broadcasting Corp (ABC), Jumat (12/4/2019).
Jumlah pemilih yang mencapai 193 juta orang dengan 800.000 tempat pemungutan suara (TPS) serta 245.000 calon yang memperebutkan 20.000 kursi di parlemen mengesahkan ungkapan itu.
Antrean pemilih di Melbourne, ibu kota Negara Bagian Victoria, mengular sampai ke jalan. Di Brisbane, ibu kota Negara Bagian Queensland, pemilih membeludak pada sore hari. Dari sekitar 85.000 warga Indonesia di Australia, sebanyak 65.000 memiliki hak suara. Mereka adalah bagian dari total 2 juta pemilih yang tinggal di luar negeri.
Pemungutan suara di seluruh Australia berlangsung serentak pada Sabtu (13/4/2019). Mahasiswa menjadi komponen penting dalam 65.000 pemilih di Australia.
Pemilih mulai berdatangan pukul 07.00, dua jam sebelum TPS di Konsulat Jenderal RI dibuka. Antrean pemilih mencapai ratusan meter dan sempat mengganggu alur lalu lintas. Namun, pemilih sanggup menunggu dengan sabar di musim gugur yang mulai dingin. Menurut Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), sebanyak 15.000 orang diharapkan memasukkan suaranya di TPS ini.
Albert Witanto, mahasiswa yang berada di antrean, mengatakan, pemilu kali ini ketat seperti ketika ”Donald Trump berhadapan dengan Hillary Clinton” dalam pemilu presiden AS tahun 2016. Baru pertama kali mengikuti pemilu, Albert yang berusia 22 tahun merasa gamang, siapa yang keluar sebagai pemenang. Ia mengharap masa depan gemilang bagi Indonesia.
”Saya berharap, pembangunan di Indonesia berlangsung lebih cepat dan pemerintah yang efektif akan tercipta,” ucapnya kepada ABC.
Siauw Exel Prasadhana Setiawan, mahasiswa yang belajar di Melbourne, mengatakan, dirinya dan keluarga lama berdiskusi untuk memutuskan: ikut pemilu atau tidak. Alasannya, kata Setiawan, kedua capres masing-masing mempunyai kelemahan.
Setiawan memimpikan pemimpin yang mampu memberantas korupsi, memperbaiki manajemen dalam sektor lingkungan hidup, serta meningkatkan perlindungan terhadap minoritas.
Suasana pesta
Di Brisbane, suasana pesta sudah terasa dari kejauhan. Di lantai dasar gedung sekolah di bilangan Sherwood, dekat pusat kota Brisbane, berjajar kios penjual makanan. Selesai memasukkan suara di lantai dua, pemilih turun ke lantai dasar untuk berwisata kuliner Nusantara di tengah alunan musik dan tari-tarian.
Dua TPS di sekolah itu disiapkan bagi pemilih yang tinggal di Queensland. Jumlah pemilih di negara bagian sebelah timur laut Australia itu mencapai 1.700 orang, menurut daftar nama di TPS.
Rizka Laya, Koordinator Event dan Operasi Klub Sepak Bola Brisbane Roar, mengatakan terkesan akan suasana dan pengaturan arus pemilih kali ini yang jauh lebih baik daripada Pemilu 2014. Hal yang sama dikatakan banyak pemilih lain yang ditemui Kompas.
Selesai memasukkan suara di lantai dua, pemilih turun ke lantai dasar untuk berwisata kuliner Nusantara di tengah alunan musik dan tari-tarian.
Sisca Agustin, mantan penyiar RRI di Surabaya, merasa gembira karena pemilu di Indonesia sudah sangat berbeda. ”Kemajuannya besar sekali. Kalau dulu, selalu terjadi gontok-gontokan. Sekarang, paling-paling hal itu terjadi di media sosial,” ucap Sisca yang sudah 14 tahun tinggal di Australia.
Ia berharap, lebih banyak pemimpin di Indonesia yang akan lebih mendahulukan kepentingan negara daripada kepentingan kelompoknya. ”Indonesia akan menjadi lebih bagus,” lanjut Sisca.
Optimisme
Rizka, yang sudah enam tahun tinggal dan bekerja di Brisbane, menambahkan, dirinya juga melihat perkembangan yang baik di Indonesia. ”MRT sudah beroperasi,” ujarnya tentang proyek yang bertahun-tahun terbengkalai di Jakarta. ”Dalam lima tahun ini, banyak bukti pembangunan di banyak daerah berjalan dengan baik.”
Hal yang sama diungkapkan Rudy Turnip, profesional di bidang pertambangan. ”Melansir terutama dari media elektronik, Indonesia telah banyak mengalami perubahan dalam lima tahun ini. Pemerataan tampaknya lebih terasa dari barat ke timur Indonesia. Indonesia juga makin diperhitungkan oleh negara-negara lain,” tuturnya kepada Kompas.
Teresa Sari, yang bekerja di Abt Associates setelah lulus dari Griffith University, mengatakan, anak muda di luar negeri gampang lupa pada negaranya. ”Tantangannya adalah bagaimana kita bisa tetap memberi kontribusi bagi negara kita walaupun tidak selalu mudah untuk meng-update apa yang terjadi di Tanah Air,” ujar Teresa yang sudah lebih dari dua tahun bekerja di perusahaan yang banyak berkecimpung di bidang kemasyarakatan.
James Burgess, warga Australia yang menemani Teresa dan pernah tinggal lima tahun di Papua, menyebutkan, Indonesia merupakan negara besar yang sangat kompleks.
”Ketika Indonesia melakukan desentralisasi, negara itu menjadi lebih mirip Australia yang berbentuk federal,” ujar Burgess yang sedang mengambil gelar master dalam bidang hubungan internasional dan politik di Griffith University.
Namun, menurut Loly Brady, sukarelawan yang menjadi saksi di TPS, tetap masih ada masalah walaupun banyak pemilih merasa senang karena pengaturan sudah lebih baik.
”Ada yang marah-marah karena namanya ada di situs web, tetapi tidak ditemukan di daftar nama di TPS. Ada yang sudah pindah, tetapi namanya tetap muncul,” katanya.
Ungkapan Loly menjadi lebih nyata menjelang sore ketika pemilih yang memiliki masalah, seperti tak tertera di daftar TPS, diminta untuk kembali pukul 5 sore, satu jam sebelum pintu TPS ditutup.
Ibu Mardiasmo, yang sedang mengunjungi Brisbane dengan membawa formulir A5 sebagai bukti ingin menggunakan hak pilihnya di tempat lain, tidak menemukan namanya di TPS. ”Saya sudah datang pagi hari, tetapi diminta untuk kembali pada sore hari,” ucap istri Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo itu.
Baik di Melbourne maupun di Brisbane, pemilu berakhir pada malam hari.