Hilirisasi Industri, Fokus Kedua Capres Tingkatkan Nilai Ekonomi
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dalam isu perdagangan dan industri, pasangan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo–Ma’ruf Amin fokus pada pembangunan industri dalam negeri untuk mewujudkan hilirisasi industri. Adapun pasangan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto–Sandiaga Salahuddin Uno juga memprioritaskan hilirisasi industri guna mengurangi impor.
Paparan kedua pasangan calon presiden mengemuka dalam debat kelima Pemilu Presiden 2019 yang diselenggarakan di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Sabtu (13/4/2019). Debat bertema “Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, Keuangan dan Investasi, serta Perdagangan dan Industri” ini sekaligus menjadi penutup rangkaian masa kampanye Pemilihan Presiden 2019.
"Hilirisasi industri itu penting agar produk ekspor kita yang selama ini masih dalam bentuk mentah, seperti karet, kelapa sawit, perikanan, perkebunan, dan pertanian dapat diekspor dalam bentuk olahan serta sudah dibangun merek dari sini," kata Jokowi.
Terkait hal ini, Prabowo menyoroti deindustrialisasi di Indonesia. Ia mengatakan, harus ada reorientasi terhadap pembangunan industri agar hilirisasi dapat terwujud sekaligus impor produk dapat berkurang.
Berkait hal ini, Jokowi-Amin menawarkan kebijakan membangun industri dalam negeri serta mendorong hilirisasi untuk memberi nilai tambah produk ekspor. Mereka juga bertekad mempercepat pengembangan perbankan syariah, asuransi, dan pasar modal.
Penguatan industri halal dengan memberikan sejumlah stimulus di dalam negeri dan luar negeri. Intensifikasi pengumpulan dana melalui mekanisme pengumpulan zakat dari umat Muslim melalui lembaga-lembaga yang sudah ada juga dilakukan untuk meningkatkan penerimaan negara. Kemudian, Jokowi-Amin terus melanjutkan kebijakan pembangunan infrastruktur digital untuk merespons perkembangan global.
Adapun Prabowo-Sandi bertekad mewujudkan swasembada pangan dan mengembangkan energi terbarukan untuk mengurangi impor yang memicu defisit neraca perdagangan. Membangun Jakarta sebagai pusat keuangan syariah dunia dan meningkatkan kewirausahaan untuk produk halal sehingga Indonesia tidak sekadar menjadi sasaran pasar oleh negara lain.
Prabowo-Sandi juga ingin meningkatkan penerimaan zakat menggunakan teknologi digital. Mereka pun siap memfasilitasi pelatihan untuk wirausaha melalui program Rumah Siap Kerja.
Tantangan ke depan
Meningkatkan nilai perekonomian mutlak diperlukan untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Sebab, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berkisar di angka lima persen.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu 5,01 persen (2014), 4,88 persen (2015), 5,03 persen (2016), 5,07 persen (2017), hingga 5,17 persen (2018). Jika dilihat lebih jauh, dari 2000-2018, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu 5,27 persen.
Terkait kondisi ini, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal berpendapat, tidak ada negara berpendapatan menengah yang dapat meningkatkan ekonominya tanpa mendorong industri manufaktur.
Maka, penting untuk menjadikan sektor industri manufaktur sebagai agenda utama pemerintah. Bukan hanya agenda Kementerian Perindustrian, namun agenda seluruh kementerian dan lembaga terkait.
"Sebab, selama ini setiap kementerian memiliki agenda prioritas berbeda. Harapannya, dengan menjadikan industri manufaktur sebagai fokus pemerintah, maka koordinasi antarkementerian dan lembaga menjadi sejalan. Iklim perdagangan bagi pelaku usaha dan investor pun lebih menjamin," ujarnya.
Termasuk juga dalam mengembangkan sektor industri 4.0. Meski telah ada pemetaan sektor yang akan dikembangkan, yaitu industri makanan dan minuman, industri otomotif, industri elektronik, industri kimia, serta industri tekstil dan produk tekstil, namun Faisal menilai, masih sebatas bahasan umum.
"Seharusnya ada pemetaan yang matang. Mengapa sektor itu harus menerapkan industri 4.0, apa konsekuensinya, hingga bagaimana upaya mitigasi bagi para pekerja agar tidak menganggur. Sebab, dengan industri 4.0, akan ada lapangan pekerjaan yang hilang, namun akan ada juga yang baru," paparnya.
Faisal melanjutkan, selain koordinasi, tantangan juga datang dari distribusi industri manufaktur yang masih berpusat di Jawa. "Keadaan ini tercermin dari kontribusi industri manufaktur di Jawa, tahun 1998-2018, yang mencapai 58 persen dari total produk domestik bruto (PDB)," katanya.
Dalam upaya pendistribusian, penting bagi pemerintah untuk memberikan insentif yang tidak terbatas hanya pada fiskal (tax holiday atau tax allowance). Namun, insentif di sektor riil, termasuk kemudahan memperoleh lahan, akses permodalan, serta lama waktu untuk memproses.
Dengan demikian, peta jalan dengan arah yang jelas untuk menjawab tantangan harus segera disiapkan. Pasalnya, untuk menghadapi tantangan global saat ini dibutuhkan industri manufaktur dalam negeri yang kuat.
"Kebijakan harus dibuat dengan rasional untuk mendorong dan memastikan pengembangan industri sejalan juga dengan aturan dalam organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO)," kata Faisal.