Kaisar Naruhito Masuki Era Baru
Pangeran Naruhito akan naik takhta pada 1 Mei 2019 pada saat kondisi ekonomi dan sosial Jepang berbeda dibandingkan era Kaisar Akihito.
Pada 1 Mei 2019 Jepang akan memiliki kaisar baru. Setelah mengabdi sejak tahun 1990, Kaisar Akihito (86) mengundurkan diri dengan alasan kesehatan dan digantikan putranya, Pangeran Naruhito (59).
Dalam tradisi monarki Jepang, pergantian biasanya terjadi setelah kaisar meninggal. Namun, pada 2016 Akihito secara terbuka meminta kepada pemerintah agar ia diperkenankan mundur (abdikasi). Parlemen menyetujui permintaan itu dan menetapkan Kaisar Akihito akan turun takhta pada 30 April 2019.
Persiapan telah berlangsung untuk menyambut era kekaisaran baru Jepang, era ”Reiwa” (harmoni indah). Pergantian kekaisaran di Jepang selalu menarik perhatian mengingat negeri ini merupakan salah satu kekuatan ekonomi dunia, tetapi juga punya sejarah monarki tertua di dunia sejak Dinasti Yamato tahun 660.
Sejak Jepang kalah pada Perang Dunia II, konstitusi yang disusun pada 1947 menetapkan kaisar tidak memiliki kekuasaan politik. Namun, tidak berarti ia tak berkontribusi mendukung pemerintahan,
Tugas sehari-hari seorang kaisar sangat banyak. Di antaranya menandatangani pengesahan nominasi perdana menteri, anggota kabinet, dan ketua mahkamah agung.
Kaisar memang bukan pemimpin pemerintahan. Ia berperan penting dalam sejumlah agenda negara, seperti membuka masa persidangan parlemen, mengumumkan pengesahan undang-undang, memberikan penghargaan dan menerima surat kepercayaan para duta besar yang akan ditempatkan. Setiap tahun, kaisar menandatangani ribuan dokumen dan satu per satu harus dibaca isinya dengan teliti.
Kaisar juga menyelenggarakan jamuan makan bagi tamu- tamu negara, menghadiri ratusan acara, resepsi, pertunjukan, audiensi, dan mengikuti sejumlah upacara keagamaan. Kaisar dan istrinya akan bertemu dengan perwakilan masyarakat dari beragam latar belakang, mulai dari politisi, pebisnis, dan komunitas madani.
Dalam pertemuan semacam itu, kaisar dan juga anggota kerajaan harus berhati-hati dalam berbicara. Mereka dilarang memberikan pernyataan atau opini yang bisa diinterpretasikan bermuatan politis.
Kaisar dan pasangannya dalam setahun bepergian keluar Jepang sedikitnya tiga kali, tetapi mereka harus memprioritaskan waktunya untuk mengunjungi wilayah yang dilanda bencana. Pada tahun 2011, misalnya, Kaisar Akihito menyampaikan pidato yang sangat menyentuh pasca-bencana tsunami dan bencana reaktor nuklir di Fukushima.
Beda era
Saat Akihito menjadi kaisar, Jepang tengah berada di puncak kejayaan ekonomi. Saat itu kemajuan Jepang didukung inovasi di bidang elektronik yang mencapai puncaknya pada awal 1990-an.
Kita masih ingat bagaimana para konglomerat Jepang bisa ”menggoreng” nilai karya-karya seni dunia dengan harga spektakuler. Lukisan Van Gogh ”Sunflowers” dibeli dari balai lelang Christie dengan harga hampir 40 juta dollar AS pada tahun 1987. Investor Jepang juga sanggup membeli Rockefeller Center di Manhattan.
Saat itu Jepang memang menjadi negara termahal. Sebagai perbandingan, aset istana kerajaan, menurut AFP, nilainya ditaksir lebih mahal dari seluruh wilayah Kanada, dan nilai kota Tokyo dengan tiga prefekturnya lebih mahal dari seluruh wilayah Amerika Serikat. Memang absurd, tetapi di mata komunitas global pesatnya kemajuan ekonomi dan finansial Jepang dianggap di luar akal. Bahkan, ada yang mengibaratkan Jepang seperti memiliki ”pohon uang”.
Namun, Kaisar Naruhito akan memasuki era yang berbeda. Jepang saat ini masih menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia, tetapi negara itu rentan terhadap krisis global. Salah satu penandanya, indeks saham Nikkei di bursa Tokyo pada awal akhir era 1980-an nilainya sampai 39.000, kini nilainya anjlok hampir setengahnya.
Jepang juga menghadapi tantangan baru ketika hampir sebagian populasi (total populasi sekitar 127 juta orang) telah memasuki usia lansia. Menurut Nikkei Asian Review, pada 2018 Jepang telah memasuki tonggak baru di mana 20 persen dari populasinya berusia 70 tahun ke atas. Jumlah ini akan meningkat menjadi sepertiga populasi pada 2050.
Di bidang politik, pemerintah pimpinan PM Shinzo Abe juga memiliki agenda jelas, yaitu merombak UU pasifisme. Dengan militer yang kuat, Abe yakin stabilitas keamanan di kawasan akan terjaga.
Kaisar perempuan
Tantangan lainnya adalah relevansi aturan yang dibuat tahun 1947 bahwa yang berhak menjadi kaisar haruslah laki- laki. Pasangan Naruhito dan Masako Owada (55) hanya memiliki satu anak perempuan, yaitu Putri Aiko (17). Tuntutan untuk memiliki anak laki-laki dan kehidupan istana yang kaku membuat Masako mengalami depresi dan sakit berkepanjangan. Pada 2008 Naruhito secara terbuka meminta agar publik ataupun pihak kerajaan tidak menekan istrinya.
Jika sesuai aturan, Putri Aiko tidak bisa menggantikan ayahnya sehingga kelangsungan kekaisaran akan bergantung pada Pangeran Hisahito (12), keponakan Naruhito.
Namun, masyarakat Jepang telah berubah. Publik menginginkan aturan kuno itu diubah dan mengizinkan Putri Aiko menjadi pewaris takhta. Apalagi, di masa lalu Jepang pernah memiliki delapan kaisar perempuan. Kaisar perempuan terakhir adalah Go Sakuramachi (1762-1771).
Dalam jajak pendapat yang dilakukan Yomiuri Shimbun sepanjang Oktober dan November 2018, lebih dari 70 persen responden menginginkan aturan itu diubah dan mengizinkan perempuan menjadi kaisar.
Menurut rencana, setelah Naruhito menjadi kaisar pada 1 Mei, parlemen akan meminta pemerintah mempelajari kemungkinan perempuan menjadi kaisar. Naruhito diharapkan mampu melakukan reformasi pada monarki Jepang.
(AFP/REUTERS)