Kasus perundungan anak yang terjadi di Pontianak, Kalimantan Barat, menyita perhatian publik. Bahkan, Presiden Joko Widodo memberikan perhatian khusus pada kasus ini dan meminta agar diusut hingga tuntas sesuai dengan jalur hukum.
Kamis (11/4/2019), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mendatangi langsung korban A (14), para pelaku, pihak kepolisian, rumah sakit, pejabat daerah setempat, serta kepala sekolah di Pontianak.
Dalam kunjungannya tersebut, Muhadjir meminta agar kasus ini tidak dibesar-besarkan. Ia juga mengingatkan, guru dan orangtua harus semakin peduli pada aktivitas anak, khususnya dalam menggunakan gawai. Ia menyoroti betapa besarnya pengaruh media sosial terhadap perilaku anak.
Seperti perundungan yang dialami A, kasus ini bermula dari percekcokan di media sosial hingga berujung pada perkelahian. Kasus ini pun berkembang pesat hingga menjadi salah satu topik yang banyak diperbincangkan warganet.
Muhadjir beranggapan, kasus ini sesungguhnya hanya bentuk kenakalan remaja pada umumnya. Mereka telah memasuki masa pubertas atau yang dinamakan oleh Muhadjir sebagai masa badai. Pada masa ini, emosi remaja bergejolak dan mereka terkadang sulit mengendalikan diri.
Agar remaja mampu mengontrol diri, dibutuhkan peran aktif guru dan orangtua dalam mendampingi anak. Guru tidak hanya berperan mendampingi proses belajar-mengajar di kelas, tetapi juga perlu memantau aktivitas anak saat keluar dari sekolah hingga kembali ke rumah.
Sementara itu, orangtua perlu mendampingi anak saat berada di rumah dan lingkungan sekitar.
Dalam kunjungan ini, Kompas berkesempatan mewawancarai Muhadjir. Ia pun mengutarakan solusi yang perlu dilakukan agar anak tidak terjebak dalam perilaku yang menyimpang, seperti perundungan, kekerasan, dan perkelahian, akibat kurang mampu menggunakan gawai dengan bijak. Berikut petikan tanya-jawabnya.
Dari sisi pendidikan, upaya pencegahan seperti apa yang akan ditempuh agar kasus perundungan tidak terulang lagi?
Kalau menjamin tidak terulang lagi, itu tidak bisa. Jadi, yang penting, kita harus bersiap-siap mengantisipasi jangan sampai kejadian seperti ini terus semakin banyak, tapi kalau menjamin betul-betul tidak akan terjadi lagi, itu kayaknya sulit karena ini persoalannya kompleks, melibatkan banyak hal dan sebagai gejala umum.
Kasus seperti ini muncul akibat penggunaan media sosial yang belum bijaksana. Permasalahan muncul karena literasi digital yang masih kurang. Bagaimana langkah pemerintah agar literasi digital semakin meningkat?
Makanya sekarang mata pelajaran teknologi informasi itu, kan, menjadi mata pelajaran pilihan di sekolah-sekolah bukan bagaimana anak-anak menguasai teknologinya, tetapi bagaimana menggunakannya sehingga lebih pada etika pemanfaatan alat teknologi informasi. Itu yang kita tekankan.
Ini anak-anak yang belum memiliki etika penggunaan teknologi informasi, terutama media sosial, hal inilah yang sering menyulut terjadinya persoalan, mulai dari perkelahian, bullying. Bahkan, sampai juga pada tingkat-tingkat yang sangat membahayakan itu. Inilah yang harus kita perangi. Dan, itu yang bertanggung jawab, menurut saya, di samping sekolah, guru, juga orangtua.
Karena itu, saya sarankan untuk orangtua yang sudah memutuskan bahwa anaknya tidak dibatasi dalam menggunakan teknologi informasi, baik berupa gadget maupun sejenisnya, rajin-rajin memeriksa. Rajin-rajin mengontrol penggunaan anak-anaknya itu dengan melihat konten-konten yang ada di dalam gadget atau sejenisnya yang dimiliki anak-anak itu; sehingga kalau sudah ada tanda-tanda yang tidak baik, harus segera diluruskan dan diberi nasihat.
Menurut saya, sekolah pun mestinya juga harus melakukan itu. Jangan sekolah yang memberikan kebebasan anaknya untuk membawa handphone, membawa gadget, supaya juga melakukan screening, pemeriksaan berkala terhadap alat-alat yang dimiliki anak-anak itu. Apalagi kalau sekolah itu memang sudah menggunakan e-learning, ya. Jadi anak-anak belajar sudah paperless.
Itu justru malah penting sekali. Jangan sampai anak-anak ini mengakses sesuatu yang membahayakan terhadap kepribadian, mental, bahkan bisa membahayakan fisiknya ketika kemudian diwujudkan dalam bentuk perilaku-perilaku menyimpang, seperti perkelahian, kemudian bullying, dan seterusnya itu.
Pendidikan karakter seperti apa yang dibutuhkan anak didik supaya mereka dapat bijak dalam bertindak?
Kemandirian itu. Mandiri dalam arti termasuk anak harus bisa membuat pilihan-pilihan yang tepat terhadap apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak akan dilakukan.
Itu bisa diajarkan di sekolah, Pak? Seperti apa bentuknya?
Ya. Misalnya, ketika anak-anak dilatih mengambil keputusan ketika ada barang tertentu yang bukan miliknya dan dia menemukan dan dia harus serahkan kepada siapa. Apakah dipakai sendiri, atau diserahkan kepada orangtuanya, atau diserahkan kepada polisi. Itu cara simulasi-simulasi begitu.