JAKARTA, KOMPAS – Penyebaran konten negatif, meliputi hoaks dan ujaran kebencian, di media sosial dinilai telah mengarah kepada gangguan stabilitas keamanan nasional jelang penyelenggaraan Pemilu 2019. Platform media sosial didesak untuk mengintesifkan penangguhan akun-akun yang menyebarkan konten-konten tersebut.
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Djoko Setiadi mengatakan, penyedia platform media sosial harus ikut terlibat menciptakan situasi kondusif di ranah siber jelang Pemilu 2019.
"Perlu ada langkah konkret penaggulangan hoaks, penyebaran konten negatif, dan ujaran kebencian jelang penyelenggaraan Pemilu 2019 di media sosial yang sudah mengarah pada gangguan stabilitas keamanan nasional," ujar Djoko usai audiensi tertutup bersama Facebook Indonesia di kantor BSSN, Jakarta, Jumat (12/4/2019).
Dari pihak Facebook Indonesia, pertemuan diwakili Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia Ruben Hattari. Sebelumnya, pada 15 Maret 2019, BSSN juga mengundang pihak Twitter Indonesia untuk membahas hal serupa.
Dalam kesempatan itu, Djoko mengungkapkan, ada lima pilar yang telah diinisiasi oleh Facebook Indonesia dalam upaya menjaga kondusivitas di media sosial jelang pemilu.
Lima pilar tersebut adalah menurunkan akun palsu (fake account), mengurangi distribusi berita yang tak benar dan tak valid, transparansi iklan politik, usaha memberikan hambatan sebesar-besarnya kepada aktor buruk (bad actors), serta memberikan layanan diseminasi informasi dan sosialisasi terkait pemilu.
"Kami berharap Facebook lebih mengedepankan usaha pencegahan konten negatif. Jadi, tak sekadar reaktif dan menunggu pelaporan," tutur Djoko.
Keterbatasan
Sementara itu, Ruben Hattari menjelaskan, dalam upaya menurunkan distribusi hoaks, pihaknya telah bekerja sama dengan pihak ketiga sebagai pengecek fakta. Pihak ketiga itu meliputi Kompas, Tirto, Liputan6, Tempo, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo), dan Associated Press (AP).
"Pihak ketiga itu membantu kami untuk mengedukasi publik, berita mana yang benar dan yang salah," ujar Ruben.
Facebook Indonesia juga telah mencoba proaktif dalam upaya menurunkan akun-akun palsu dan penyebar hoaks. Cara yang digunakan adalah melalui teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk mendeteksi akun palsu, dan manual (human reviewer).
Namun, Ruben mengakui bahwa itu semua tak cukup mengatasi konten negatif di platformnya. Sebab, pengguna aktif Facebook di Indonesia saja mencapai 110 juta.
"Jadi, untuk kami melihat dan melakukan semua secara proaktif itu, saya rasa sulit," tutur Ruben.
Oleh karena itu, Ruben berharap seluruh pihak ikut proaktif melaporkan langsung kepada Facebook jika menemukan konten-konten negatif yang berseliweran di platformnya.
Tugas berat
Secara terpisah, menurut Ketua Presidium Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia Septiaji Eko Nugroho, eskalasi hoaks memang semakin meningkat menjelang pemilu. Tak heran, masalah yang dihadapi sangatlah serius.
Berdasarkan catatan Mafindo dari Januari hingga Maret 2019, ada sedikit peningkatan hoaks. Pada Februari, ada 104 hoaks, sedangkan di Maret ada 107 hoaks. Penyebaran hoaks meliputi Facebook, Twitter, dan Whatsapp.
Di media sosial, Septiaji menyebutkan, Facebook merupakan platform yang paling banyak ditemukan penyebaran hoaks. Setidaknya, dari Januari-Maret itu, 45-65 persen hoaks ada di Facebook, sementara di Whatsapp sekitar 10-15 persen.
Septiaji menambahkan, upaya menghentikan hoaks tak cukup hanya melalui upaya menurunkan akun-akun palsu dan penyebar berita bohong. Kehadiran pihak ketiga sebagai pengecek fakta, lanjut Septiaji, juga belum cukup karena penyebaran berita hoaks kerap kali lebih masif dibandingkan penyebaran klarifikasi beritanya.
"Faktanya, orang ketika sudah menerima informasi bohong, dikasih klarifikasi belum tentu mau. Klarifikasi yang kita buat, kan, juga timpang. Penyebarannya paling hanya 10 persen dari hoaks yang beredar. Ini ada gap yang sangat besar," tutur Septiaji.
Oleh karena itu, menurut Septiaji, harus ada upaya serius untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat Indonesia dalam bermedia sosial dan memverifikasi informasi.
"Dan ini tugas berat. Memang dibutuhkan kolaborasi dengan pemerintah, masyarkaat sipil, tokoh agama, termasuk platform media sosial," katanya.