Politik Asyik dengan Musik
”Goyang Jempol Jokowi Gaspol” kreasi Muhammad ”Kill the DJ” Marzuki dan ”Goyang Gandong” ciptaan Muchlido. Dukungan bagi calon presiden dalam Pemilu 2019 dapat ditunjukkan lewat kreasi musik.
Meyakinkan pemilih di Pemilu Presiden 2019 tak melulu harus serius. Pendukung dari setiap kandidat berkreasi melahirkan lagu dan goyangan. Melalui media sosial, dan kemudian terangkat ke dunia nyata, hasil karya mereka berhasil menjadi magnet sekaligus menghibur di tengah kontestasi yang panas.
Di tengah keramaian pasar, sebuah lagu diputar. Seketika itu juga, semua yang mendengar seperti terhipnotis. Jempol diangkat lantas bergoyang bersama, mengikuti alunan lagu bernuansa dangdut dengan sedikit irama hip-hop.
”Jangan lupa, bulan April tanggal tujuh belas. Pilih nomor satu, hasil kerja sudah jelas. Singkirkan keraguan, kita tancap gas. Ayo goyang jempol, Jokowi gaspol (Amin!).”
Demikian petikan lirik dari klip video ”Goyang Jempol Jokowi Gaspol”. Sudah bisa ditebak, konten lagu itu berisi ajakan untuk memilih calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, di Pemilu Presiden 2019.
Adalah Muhammad ”Kill The DJ” Marzuki yang menayangkan klip video itu di akun Youtube miliknya, 10 Maret 2019.
Hingga Jumat (12/4/2019), klip video ”Goyang Jempol Jokowi Gaspol” itu sudah ditonton lebih dari 1,3 juta orang.
Lagu kemudian menjadi seperti lagu ”kebangsaan” Jokowi-Amin. Di hampir setiap kampanye Jokowi-Amin, lagu kerap dikumandangkan untuk membakar semangat pendukung.
Marzuki bercerita, lahirnya lagu itu merupakan inisiatif dirinya sendiri. Tak ada pesanan dari tim sukses Jokowi-Amin.
”Ide ini berangkat dari saya pribadi. Saya membayangkan Goyang Jempol Jokowi Gaspol adalah sebuah gerakan organik, mudah, dan penuh sukacita,” kata Marzuki.
Sementara frasa ”gaspol” dan ”tancap gas” di lagu sengaja dipilihnya untuk memberi pesan bahwa Jokowi jika kelak terpilih kembali akan bekerja lebih cepat dan keras.
Selain itu, kedua frasa dipilih karena ”ringan” dan kocak sehingga akan lebih mudah diserap publik.
Menghibur
Menurut dia, lahirnya lagu itu juga merupakan bentuk aspirasi dari masyarakat yang lelah dengan politik tensi tinggi selama ini.
”Masyarakat sudah terlalu capek dan muak dengan perdebatan politik. Apalagi ditambah dengan hoaks, fitnah, dan narasi yang menyebar ketakutan. Butuh metode kampanye yang positif, mudah, murah, dan menghibur,” tuturnya.
Pembuatan lagu itu memakan waktu sekitar dua bulan. Hal itu terbilang cepat karena lagu merupakan daur ulang dari lagu lama Marzuki yang berjudul ”Rakyat Bergoyang” yang dirilis pada 2016.
Adapun untuk pembuatan klip video, dia bekerja sama dengan sutradara Hanung Bramantyo yang merupakan sahabatnya.
”Ketika saya bikin konsepnya, Hanung menghubungi dan siap membantu menjadi sutradara,” kenang Marzuki.
Tak hanya itu, dia juga bersedia meminjamkan studio alam yang dikelola masyarakat di Desa Gamplong, Sleman, DI Yogyakarta, untuk dijadikan tempat pengambilan gambar klip videonya.
Untuk diketahui, di studio alam itu, Hanung juga membuat film Sultan Agung dan Bumi Manusia.
Ada sekitar 200 orang yang ikut berjoget di klip video itu. Selain para sukarelawan pendukung Jokowi-Amin, ada pula penari dari Padepokan Bagong Kussudiardja. ”Kalau semuanya sukarelawan, nanti goyangannya kurang bagus,” kata Marzuki terkekeh.
Sejumlah selebritas dan tokoh politik ikut terlibat menjadi artis di klip video itu. Mereka di antaranya Butet Kertaredjasa, Yenny Wahid, Cak Lontong, Desta Mahendra, dan Gading Marten.
Mereka rela terlibat tanpa harus dibayar sepeser pun. Ini memungkinkan karena semua ikut menjagokan Jokowi-Amin.
Lantas darimana biaya untuk pembuatan klip video? ”Pembiayaannya kolektif. Patungan dari teman-teman yang percaya dengan ide-ide saya,” ucap Marzuki.
Goyang gandong
Pendukung capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, tak kalah seru.
Baca juga : Ujian Pengawal Pemilu
Di klip video berjudul ”The Power of Emak-Emak” yang berdurasi hampir 4 menit, emak-emak mengenakan baju biru muda seperti yang kerap dikenakan Sandi, berdendang bersama sambil bergoyang, ”Goyang Gantian Dong”, atau ”Goyang Gandong”. Tak lupa, mereka mengangkat simbol dua jari, jempol dan tangan, simbol yang merujuk pada nomor urut Prabowo-Sandi, 02.
”Yang sudah-sudah ya sudahlah, yang lalu-lalu biarlah berlalu. Kini saatnya gantian dong, untukmu negeri, Prabowo Sandi”. Demikian petikan lagu yang mereka dendangkan.
Mereka berdendang dan bergoyang di sebuah tanah lapang berlatar belakang pegunungan. Lokasi pengambilan gambar berada di salah satu lahan peternakan, di areal kediaman Prabowo yang berada di Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Video pertama kali dirilis melalui Youtube pada Oktober 2018, dan langsung menarik sekitar 5.000 orang untuk menontonnya di hari pertama video dirilis. Video kemudian menyebar secara masif melalui aplikasi percakapan Whatsapp.
Baca juga : Pendewasaan Demokrasi Terganjal Sikap Elit Politik
Dan sama seperti ”Goyang Jempol Jokowi Gaspol”, lagu dan goyangan juga sering didendangkan saat kampanye Prabowo-Sandi untuk mengubah suasana kampanye menjadi menghibur.
Sebab, memang itu tujuan dibuatnya lagu dan ”Goyang Gandong”. Makanya, pembuat lagu memilih diksi yang ringan sebagai lirik lagu.
Di balik lagu dan goyangan tersebut, ada nama Muchlido. Salah satu anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi itu bertindak sebagai produser.
Sementara pencipta lagu, Indra Buntel, yang berprofesi sebagai pencipta lagu. Adapun sutradara klip video itu Adjie Fazlyachmad dan Sandya Widyawan. Ketiganya bukan bagian dari BPN Prabowo-Sandi, melainkan pendukung dari Prabowo-Sandi.
Militansi
Menurut Muchlido, ide pembuatan lagu dan video itu muncul saat melihat militansi dukungan emak-emak kepada Prabowo-Sandi. Kemudian dia teringat kalau emak-emak gemar senam pagi.
Itulah sebabnya dalam klip video tersebut dilibatkan banyak emak-emak, dan lagu didesain menyerupai musik pengiring senam.
Baca juga: Mengawal Suara, Menjaga Demokrasi
Tak sebatas itu, emak-emak turut diajak menyumbangkan suara untuk lagu tersebut. Suara mereka direkam di salah satu studio musik di daerah Tebet, Jakarta, untuk dijadikan suara latar dari lead singer bernama Santi.
”Tidak sulit mengumpulkan emak-emak. Ada yang dari Solo, Bandung, jauh-jauh. Ada yang datang diantar suami. Mereka antusias,” kenang Muchlido menceritakan suasana perekaman suara yang dilakukan, 17 September 2018.
Dana untuk pembuatan klip video dan lagu itu kebanyakan diambil dari kocek pribadinya. ”Ini untuk pasangan calon yang sudah saya anggap ayah dan kakak saya sendiri,” katanya.
Di luar itu, kesukarelaan dari pendukung Prabowo-Sandi. Sekitar 100 emak-emak yang dilibatkan, misalnya, mereka sukarela terlibat tanpa harus dibayar sepeser pun.
”Jadi sama sekali tidak ada dana dari BPN,” ujarnya.
Cacing telinga
Di negara yang demokrasinya lebih matang, seperti Amerika Serikat, lagu atau jingle kampanye muncul sejak pemilu presidensial AS keempat, yakni pada tahun 1800.
Saat itu, lagu ”Adams and Liberty” muncul untuk mengiringi kampanye calon petahana John Adams.
Sementara di Indonesia, lagu baru menjadi alat kampanye pada pemilu presiden sejak masyarakat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2004.
Baca juga: Inisiatif Membangkitkan Partisipasi Politik Bermunculan
Ahli sejarah Purdue University, Kathryn Cramer Brownell, dalam analisisnya di The Conversation, mengatakan, lagu atau jingle kampanye menjadi alat politik yang penting untuk mengangkat citra kandidat dalam sebuah kontestasi.
”Lagu kampanye memberikan kesempatan kepada kandidat menjadi selebritas, figur yang dirayakan,” kata Brownell.
Terlebih jika lagu bisa menciptakan earworm atau cacing telinga di mana lagu terus terngiang-ngiang. Tentu hal itu akan membuat pendukung capres-cawapres terus mengingat jagoannya hingga tiba waktu pemungutan suara Pemilu 2019, pada 17 April 2019.