Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia atau KPU RI melakukan pemutaran film Suara April sebagai cara baru untuk promosi Pemilihan Umum serentak yang dilakukan Rabu (17/4/2019) mendatang. Film ini menggambarkan upaya relawan dalam mengajak warga di desa untuk berpartisipasi dalam Pemilu.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia atau KPU RI melakukan pemutaran film Suara April sebagai cara baru mempromosikan pemilihan umum serentak, Rabu (17/4/2019) mendatang. Film ini menggambarkan upaya sukarelawan dalam mengajak warga di desa untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Film Suara April diputar di CGV Cinema Parijs van Java, Bandung, Minggu (14/4/2019). Menurut Kepala Subbagian Teknis dan Hubungan Partisipasi Masyarakat KPU Jawa Barat Cecep Nurzaman, film ini telah diputar dari tanggal 10-15 April di tiga kota, yaitu Bekasi, Bogor, dan Depok. Selain itu, salinan film ini juga akan disebar hingga perangkat Panitia Pemilihan Suara (PPS) tingkat kelurahan dan desa di 33 provinsi se-Indonesia.
Cecep berujar, film ini mampu menggambarkan bentuk dedikasi sukarelawan dalam melakukan penyuluhan kepada masyarakat meski ada hambatan dari warga. Gambaran ini terlihat dari plot film yang menceritakan upaya sukarelawan demokrasi KPU dalam mengajak warga memilih calon pemimpin dan wakil rakyat.
”Film ini menjadi bentuk penghargaan kami kepada dedikasi sukarelawan yang tetap mau melakukan penyuluhan ke desa-desa meski sering kali banyak pihak yang tidak tahu, bahkan menolak adanya pemilu. Berkat mereka, warga yang tadinya apatis jadi mau menggunakan hak pilihnya pada pemilu nanti,” ujarnya.
Film yang disutradarai Emil Heradi dan Wicaksono Wisnu Legowo ini mengisahkan sukarelawan demokrasi bernama Chandra (Juan Bione Subiantoro) mendatangi daerah Rampang Rejo, sebuah lokasi fiktif di pedalaman Indonesia jelang pemilu. Chandra berniat melakukan penyuluhan dan mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
Akan tetapi, niat ini mendapatkan tantangan dari warga, terutama tokoh masyarakat, Djohari (Torro Margens), yang tidak menginginkan ada pemilihan umum di desa tersebut. Beruntung, Chandra dibantu oleh anaknya Djohari, Nurlaela (Amanda Manopo), seorang guru SMA yang menginginkan ada pemilu karena menanggap wakil rakyat yang terpilih bisa memberikan jalan keluar bagi kesulitan warga.
Selain itu, film ini memasukkan pesan-pesan edukasi, seperti bagaimana Chandra menggambarkan Indonesia dalam bentuk puzzle kepada anak-anak sekolah tempat Nurlaela mengajar. Chandra mengatakan, suara dari rakyat diibaratkan puzzle, yang tidak akan lengkap jika tidak semua warga menggunakan hak pilihnya.
Pesan-pesan edukasi juga disisipkan dalam bentuk konflik, seperti politik uang yang dilakukan oleh dua kandidat yang memperebutkan suara di Rampang Rejo. Warga pun saling bertikai dan menjelek-jelekkan pendukung yang berseberangan. Suasana desa memanas. Nurlaela sempat putus asa dan merasa tujuannya untuk mengajak warga ikut pemilu adalah pilihan yang salah.
Chandra pun sadar ada yang tidak beres. Dia menegur para calon dan meminta mereka menghentikan praktik tersebut. Para calon diminta duduk bersama dan meminta para pendukungnya untuk mendukung dengan cara-cara yang santun. Cerita berakhir manis saat semua warga Rampang Rejo diajak oleh Djohari untuk ikut memilih. Dia mengarak warga dengan menggunakan musik dangdut yang sangat digemari desa tersebut.
Kurang publikasi
Saat pemutarannya, hanya sekitar 30 orang yang menonton pemutaran film. Di bioskop ini pun, pemutaran film hanya dilakukan pukul 14.40 dan tidak ada dalam daftar putar CGV Parijs van Java. Cecep berujar, memang tidak ada publikasi untuk umum dalam pemutaran film ini di bioskop. Pihak KPU menyerahkan teknis pemutaran film kepada panitia-panitia daerah.
Gema (32), warga Pasteur, Bandung, menyayangkan tidak adanya publikasi gencar dari KPU melalui media. Padahal, dia berpendapat, film ini bisa menjadi penyejuk di antara panasnya suhu politik jelang pemilu. Film ini membuat dia paham perjuangan para sukarelawan.
Ditemui setelah pemutaran, Gema mengaku baru mengetahui pemutaran film ini saat melihat ada keramaian undangan dan wartawan yang masuk. ”Tadinya saya sedang menunggu film, terus melihat ada banner film ini. Panitianya bilang umum boleh masuk, jadi saya langsung mengisi buku tamu dan menonton. Filmnya sangat bagus, saya baru sadar, ternyata di beberapa daerah, petugas sulit meyakinkan warga untuk menggunakan hak pilihnya,” tutur Gema.