Hati Tertambat di Krayan
Krayan di Nunukan, Kalimantan Utara, meninggalkan jejak kenangan yang akan selalu menerbitkan senyum. Jatuh hati sejak pertama kali menjejakkan kaki di daerah yang belum begitu mudah dijangkau ini. Begitu permai, begitu damai....
Jika ke Kalimantan Utara, singgahlah sepekan atau dua pekan ke daerah Krayan. Daerah ini menjadi salah satu tempat yang digadang-gadang dalam program ”Heart of Borneo” atau jantung dari Pulau Kalimantan. Melihat potensi yang besar, akhirnya Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam berinisiatif menjaga wilayah ini. World Wide Fund for Nature (WWF) pun menjadi salah satu inisiator dalam program itu.
Berjarak waktu sekitar satu jam dengan pesawat kecil baling-baling dari Kota Tarakan, pemandangan indah berbukit hijau siap menyapa pengunjung yang datang. Meski terik matahari menyergap, udara sejuk tak jemu menemani perjalanan yang dilalui.
Akses jalan di daerah ini masih didominasi oleh tanah. Jika diguyur hujan, jalanan bisa becek dan sangat berlumpur. Kendaraan penggerak empat roda (4WD) pun bisa terjebak. Jadi, waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan adalah pada musim kemarau.
Kecamatan Krayan berada di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, dengan ibu kota kecamatan Long Bawan. Wilayah ini berbatasan langsung dengan Malaysia. Luas wilayahnya sekitar 3.100 kilometer persegi dengan ketinggian rata-rata 1.500 di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan hutan yang menyimpan berbagai keanekaragaman hayati.
Untuk itu, sangat tepat apabila perjalanan dimulai dengan menyusuri hutan di Desa Pa’ Rupai. Ada sebuah bukit yang menyimpan nilai historis dan budaya yang tinggi mengenai suku Dayak Lundayeh, suku asli setempat. Saat ke desa ini, berkenalanlah dengan kakek Melud Baru (73). Ia adalah keturunan kesembilan dari kepala suku di wilayah itu.
Dalam penyusuran ke bukit, kakek Melud menunjukkan sebuah gundukan tanah
yang bentuknya seperti buaya raksasa.
”Buaya ini dibuat oleh nenek moyang dulu sebagai lambang keberanian. Artinya, Dayak Lundayeh selalu berani menghadapi tantangan untuk melawan musuh. Kalau perlu, mereka siap ngayau (tradisi perburuan kepala),” katanya sambil menapaki bukit dengan berpakaian adat khas suku Dayak dari kulit kayu.
Di tengah jalan, kakek Melud berhenti di dekat lubang yang dikelilingi banyak batu kali di sekitarnya. Konon, lubang itu adalah tempat mengubur jenazah bangsawan dan semua harta benda miliknya. Batu-batu kali yang ditumpuk dimaksudkan agar tidak ada orang yang mengambil harta milik bangsawan itu. Oleh masyarakat di sana, kuburan ini disebut Perupun.
Meski sedikit lelah, suasana hutan yang masih murni menyuguhkan keindahan tersendiri. Pohon-pohon rindang, suara air sungai yang bergemericik, dan sesekali suara burung pelatuk menyambut pengunjung dengan ramahnya.
Buah lokal
Coba juga buah-buahan hutan yang ditemui di perjalanan. Ada buah mpuak, tarap, maritam, durian, dan main. Ah, tak hanya itu. Masih ada buah lain yang nikmat, seperti buah ihau yang rasanya seperti kelengkeng, tetapi kulitnya bewarna kehijauan. Buah-buahan ini merupakan buah lokal yang jarang ditemui di tempat lain.
Selain bukit di Desa Pa’ Rupai, bukit lain yang juga patut dikunjungi adalah bukit Yuvai Semaring. Bukit ini tak jauh dari pusat kecamatan Long Bawan, sekitar 30 menit perjalanan darat. Sebenarnya bukit Yuvai Semaring tidak terlalu tinggi, yaitu 1.103 di atas permukaan laut. Namun, kecuramannya ada yang mencapai 60 derajat. Untuk sampai ke puncak, jarak tempuhnya sekitar 750 meter.
”Dulu bukit ini menjadi tempat tinggal Yuvai Semaring. Ia adalah sosok pelindung bagi masyarakat Krayan. Yuvai akan menyampaikan pesan jika ada musuh yang mendekat. Meski tidak ada yang pernah melihatnya, masyarakat percaya Yuvai tinggal di gua di sisi bukit ini,” kata Alex Balang, pemandu yang juga menjabat di komisi ekowisata Forum Masyarakat Adat (Formadat) Krayan.
Waktu yang tepat untuk singgah ke bukit ini sekitar pukul 06.00 pagi sebelum matahari terbit. Sebenarnya, bagus juga pemandangan ketika datang pada petang hari sebelum matahari terbenam. Namun, jalan yang cukup curam jadi berisiko karena tidak ada penerangan di lingkungan sekitar.
Mata air asin
Setelah puas bertualang menelusuri bukit dan hutan, perjalanan bisa dilanjutkan ke desa Long Midang. Pepatah asam di gunung garam di laut tak berlaku di tempat ini. Pasalnya, ada mata air di desa ini yang rasanya asin sehingga dimanfaatkan masyarakat setempat untuk dijadikan garam. Air garam ini juga dipercaya memiliki kekuatan penyembuh berbagai penyakit.
Pengolahan garam di tempat ini tetap dilakukan oleh orang Krayan meski garam dapur sudah mudah dijumpai di pasaran. Hal ini dianggap sebagai tradisi yang harus dilestarikan sekaligus menjadi bukti bahwa alam yang tak pernah berhenti memberi penghidupan.
Keajaiban mata air yang mengalir di daerah Krayan juga bisa ditemukan di daerah Tang Payeh. Mata air yang ditemukan di tempat ini dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Biasa disebut air bunga oleh penduduk lokal.
Dalam perjalanan menuju ke mata air ini, lanskap yang indah selalu menemani. Bukit yang hijau dilatarbelakangi langit biru terpampang seperti tidak pernah terganggu oleh polusi apa pun. Terkadang, kerbau tampak asyik berkubang di lahan bekas sawah yang baru selesai dipanen.
Sudah puas menikmati alam, sajian budaya menunggu untuk diselami. Budaya khas Dayak, tarian, anyaman, dan alunan dari alat musik menjadi pengantar yang manis sebelum masuk pada sejarah budaya nenek moyang. Satu alat musik yang terasa magis adalah seruling bambu yang disebut telimut.
Suaranya sangat lembut dan merdu. Apalagi dibunyikan dengan iringan suara burung dan angin yang bergesekan dengan dahan atau ranting pohon di hutan. Ellias Yesaya, Manager Cultural Field School (CFS) Krayan, merupakan salah satu seniman yang cakap memainkan alat musik ini.
Sebagai penutup, jangan lupa mencicipi kuliner khas dari tanah Krayan. Semua beras yang dihasilkan di tanah ini adalah organik. Tidak ada campuran bahan kimia, mulai dari proses pembenihan, penanaman, panen, sampai pengolahan. popularitas kenikmatan beras krayan ini sudah menjadi semacam legenda bagi kalangan foodies alias pencinta kuliner. Beberapa restoran papan atas di Jakarta yang memuliakan masakan Indonesia pun berupaya menggunakan beras krayan dalam menunya.
Sayur dan lauk-pauk di Krayan pun disajikan begitu alami. Masyarakat biasanya hanya menambahkan sedikit garam dan bawang. Namun, soal rasa, dua sampai tiga porsi makan pun rasanya tetap terasa nikmat.
Pertama kali berkenalan dengan tanah Krayan seperti jatuh cinta pada pandangan pertama, tetapi setelah itu berpisah. Tinggal kekaguman yang tertinggal di benak siapa pun yang sempat menyinggahinya..