Potensi rotan mentah di Kalimantan tidak terserap optimal di industri rotan dalam negeri. Harga rotan mentah di tingkat petani pun terpuruk.
PALANGKARAYA, KOMPAS— Pemerintah kukuh tidak membuka keran ekspor rotan mentah meski harga di tingkat petani di Kalimantan kian terpuruk. Pemerintah mengupayakan solusi untuk mendongkrak harga dengan mendorong peran koperasi petani rotan, serta menjembatani pemasaran rotan mentah di dalam negeri.
Di Kalimantan Tengah, harga rotan berkisar Rp 900-Rp 1.200 per kilogram. Kondisi ini membuat petani enggan memanen meski rotan melimpah.
Di Kabupaten Katingan, Kalteng, pada periode 2005-2010, produksi rotan mencapai 11.430 ton rotan per tahun, lalu menurun menjadi 800 ton pada 2013. Padahal, komoditas rotan di Katingan diperkirakan ada di lahan seluas 325.000 hektar atau hampir lima kali luas DKI Jakarta dengan produksi 15.000 ton per tahun.
Aja Bahar (55), salah satu petani rotan di Kecamatan Tasik Payawan, Katingan, mengaku enggan memanen rotan karena persoalan harga. Ia pernah menjual rotan basah dengan harga Rp 1.200 per kg. Ia terpaksa menjual karena khawatir rotan mentah akan rusak jika disimpan selama 10 hari.
Keengganan petani memanen rotan berpengaruh pada ketersediaan rotan untuk industri. Yakobus (41), salah satu pengumpul rotan mengatakan, produksi rotan sulit diprediksi sejak ada larangan ekspor. Terkadang rotan mentah dari petani melimpah, kadang malah tidak ada sama sekali.
Sekitar tahun 2000, Yakobus bisa membeli 400 ton rotan mentah dalam waktu setahun. Kini, sulit mendapatkan 100 ton per tahun.
Desakan petani
Kalangan petani di Kalimantan pun mendesak pemerintah untuk membuka keran ekspor rotan mentah agar harga meningkat. Adapun kebijakan larangan ekspor itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 35 Tahun 2011 tentang larangan ekspor rotan asalan, rotan mentah, dan rotan setengah jadi; serta Permendag Nomor 36 Tahun 2011 tentang pengangkutan rotan antarpulau.
Menanggapi desakan itu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita saat berkunjung ke Pasar Besar Palangkaraya, Kalteng, Sabtu (13/4/2019), menyatakan, industri rotan dalam negeri akan hancur jika keran ekspor rotan mentah dibuka.
”Saya baru ke Cirebon (Jawa Barat), pengusaha di sana malah kesulitan mencari bahan (rotan mentah). Ini yang akan kita jembatani ke depan, antara petani dan perajin-perajin rotan,” kata Enggartiasto.
Enggartiasto menyatakan akan berupaya memfasilitasi bertemunya petani rotan di Kalimantan dengan perajin rotan di Cirebon, serta perajin di daerah lain seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
”Sejak terjadi gempa di Palu, (perajin) lebih kesulitan mencari bahan mentah. Tetapi kalau paksa buka keran ekspor (rotan mentah), industri yang hancur karena China dan Malaysia akan membuat industri itu dari bahan baku yang hanya ada di Indonesia. Jadi, tinggal kami menjembatani itu,” katanya.
Terkait permintaan perajin dari Cirebon, Bahar mengaku kesulitan jika harus memenuhi dalam ukuran tertentu. ”Kalau yang dikirim ke Cirebon, mereka minta yang kecil ukuran 4-6 milimeter. Padahal, kami kalau panen tidak bisa pilih-pilih karena akan memakan waktu,” kata Bahar.
Jika petani memenuhi permintaan ukuran yang kecil itu, rotan dengan ukuran besar tidak terjual. Akhirnya mereka menjual ke pengepul dengan harga rendah.
Peran koperasi
Lebih lanjut, Enggartiasto menjelaskan, pihaknya pernah menunjuk PT Perusahaan Perdagangan Indonesia untuk menjembatani petani dan industri rotan. Namun, implementasinya kurang optimal.
Ia menilai koperasi akan cocok untuk membantu petani dalam menampung rotan mentah dan memasarkannya. ”Di daerah Jawa, mereka membentuk komunitas semacam koperasi supaya bisa dipesan di sana, nanti kita hubungkan penyuplau dan petaninya,” kata Enggartiasto. (IDO)