”Konco” dalam Danjyo
Danjyo Hiyoji bukan sekadar jenama bagi Liza Mashita dan Dana Maulana. Ia adalah rumah, taman bermain, juga kumpulan berbagai orang yang punya visi sama dalam mode. Lewat dunia yang mereka gemari, Dana dan Liza tumbuh dalam kreativitas yang segar.
Suatu ketika di pertengahan 1990-an, Liza dan beberapa kawannya mengunjungi Dana yang saat itu sekolah di Bandung. Dana bersekolah SMA di Bandung, sementara Liza di Jakarta. Meski berbeda kota, mereka tetap karib. Saat itu, mereka masih belia dan suka mencoba hal-hal baru.
Selain menikmati kota Bandung yang saat itu masih sejuk-sejuk gemes,mereka juga berburu pakaian bekas, pernak-pernik, hingga kain murah. Pakaian bekas dengan kualitas baik untuk dipakai. Pernak-pernik untuk mempercantik tampilan. Kain untuk dibuat berbagai jenis pakaian. Mereka membawa bahan-bahan itu untuk dijahit, dan jadilah sebuah jaket denim buatan sendiri.
”Waktu itu untuk dipakai sendiri. Tetapi memang pas ada Danjyo, produk awal kami itu, jaket dengan tampilan yang segar, banyak disukai anak SMA,” kata Dana.
Liza menimpali, ”Ya, gitu deh, namanya anak muda tahun segitu. Suka coba-coba. Tetapi memang benertuh, kami kalau urusan fashion benar-benar niat. Kalau masih ingat jaket seragam yang biasa dipakai di anak SMA dengan patch nama di belakang, nah itu dari kami. Kami memang suka fashion. Dari kapan tahun suka pakai kaus panjang selutut, rok pendek, jaket bulu, banyaklah, ha-ha-ha.”
Selasa (9/4/2019) siang, kami berbincang di workshop Danjyo Hiyoji, jenama yang mereka dirikan 18 tahun lalu itu, di Pondok Cabe, Tangerang Selatan. Puluhan koleksi pakaian tertata di dalam ruangan. Termasuk koleksi yang dipamerkan di Jepang, Maret lalu, juga koleksi untuk Indonesia Fashion Week pada awal April ini.
Beberapa anak muda bekerja di depan layar komputer, berjibaku dengan desain baru. Sementara di ruangan lain di bagian belakang, belasan orang sedang berkutat dengan mesin jahit dan alat produksi lainnya. Total ada sekitar 30 orang yang saat ini menjadi keluarga Danjyo Hiyoji.
Label Danjyo Hiyoji saat ini dikenal dengan sesuatu yang berkarakter muda, unik, fun, bold,dan segar. Produk mereka sering kali ditandai dengan tampilan berlapis, juga potongan asimetris serupa tidak selesai. Kejutan-kejutan kecil dalam setiap koleksi mereka sering mengundang decak kagum. Tidak heran, banyak yang menyukai dan menjadi penggemar koleksi Danjyo.
Dari sekadar membuat tampilan dan pakaian untuk diri sendiri, mereka telah menjelma menjadi merek dengan kualitas dan karakter yang khas.
Produk awal jaket yang banyak dipesan anak SMA menjelma menjadi berbagai tampilan yang bahkan disukai orang dewasa hingga setengah baya. Dari show di pensi, kelab, hingga saat ini lumayan kewalahan memilih ajang yang ingin diikuti.
Rekan berantem
”Kenal Dana itu sejak SMP. Dia kakak kelasku, tetapi kami satu tongkrongan. Sering jalan bareng, ke mana-mana bareng. Kami punya selera fashion yang hampir sama, makanya klop,” tutur Liza.
Sedari awal, kesukaan terhadap mode membuat mereka dan beberapa rekannya semakin karib. Tidak jarang Dana dan Liza bertukar barang. Dari kacamata hingga pernak-pernik. Mereka memadupadankan banyak hal untuk tampil gaya.
Kegiatan mereka terus berlanjut hingga beberapa tahun setelahnya. Liza kuliah di Universitas Moestopo dan Dana di kampus lain. Liza di jurusan humas dan Dana belajar teknik industri. Tidak ada hubungannya dengan dunia yang kini mereka geluti.
Liza memang sempat mengikuti kursus dari desainer Susan Budiharjo, namun tidak sampai setahun. Sementara itu, Dana mencoba-coba peruntungan di bisnis mode. Dia mulai membuat pakaian bersama seorang rekan.
Meski begitu, mereka berdua merasa membutuhkan ruang kreatif lebih besar. Hingga di awal 2001, bermodal nekat dan tanpa pikir panjang, mereka berdua sepakat untuk membangun label bersama. Menghitung kebutuhan awal, diperlukan modal Rp 25 juta. Mereka membaginya sama rata, masing-masing Rp 12,5 juta.
”Duitnya aku minjem sama mama, untuk modal awal,” ujar Liza.
Ditimpali Dana, ”Untuk sewa tempat selama dua tahun, gaji tukang jahit dua orang yang sekaligus tukang potong, tukang pola, keamanan, pokoknya semua-semuanya.”
Satu hal juga yang membuat mereka semakin klop adalah kesenangan terhadap kultur Jepang, khususnya dalam hal mode. Majalah anak muda Jepang sering jadi santapan mereka. Nama Danjyo lalu muncul sebagai pilihan nama. Danjyo dalam bahasa Jepang berarti sesuatu yang uniseks. Mereka memang ingin membuat sesuatu bagi anak muda yang bisa dipakai oleh perempuan dan laki-laki.
”Inget banget dapat duit pertama dari Danjyo itu Rp 7 juta. Senangnya bukan main,” ucap Liza semringah.
Perlahan mereka tumbuh dan berkembang. Liza menangani desain, sementara Dana lebih banyak mengurusi manajemen. Karakter Liza easy going, tetapi cukup keras untuk sesuatu yang dianggapnya benar. Ini berjalan seiring dengan Dana yang lebih luwes dan memikirkan banyak hal ke depan. Mereka memiliki banyak kesamaan, tetapi juga berbeda di sejumlah hal.
Adu mulut kerap jadi makanan harian mereka. Berbagai hal bisa jadi pemicu, dari yang sepele hingga konsep besar. Perang dingin kadang terjadi karena perdebatan, baik untuk desain maupun manajemen.
”Saya kalau sudah punya mau, ya, harus. Nanti di kemudian hari kalau sudah diskusi bisa berubah. Dia sudah tahu banget, lah,” kata Liza.
”Diemin saja dulu. Nanti kalau dia sudah mulai mikir, nah, baru saya masuk,” lanjut Dana.
Lalu, apa kunci bisa bertahan meski berantem adalah rutinitas? ”Saling percaya saja,” jawab keduanya.
Dunia bersama
Menginjak usia 18 tahun berkarya, Danjyo Hiyoji bukanlah sekadar merek coba-coba. Perjalanan mereka terus mewarnai dunia mode Indonesia. Danjyo Hiyoji terus merentang jalan sebagai salah satu pemain dalam industri mode yang patut diacungi jempol.
Karakter label mereka khas dan menawarkan kesegaran. Mereka merekrut banyak desainer muda untuk ikut dan bergabung bersama.
Meski begitu, perjalanan mereka tidak mulus-mulus saja. Pada 2006, mereka pernah bingung menentukan arah. Dana melanjutkan kuliah di London, sementara Liza sibuk meniti karier di sebuah rumah produksi.
Pada 2009, ketika memenangi sebuah lomba, mereka seperti mendapat suntikan semangat baru. Di tahun yang sama, mereka memberi tambahan nama Hiyoji dalam label mereka.
Sejak saat itu, mereka seperti terlahir kembali. Dana dan Liza makin berfokus untuk menggeluti dunia ini. Mereka merekrut banyak desainer muda untuk terlibat dan mengembangkan kreativitas.
”Danjyo itu playground,juga rumah tempat tumbuh. Bukan cuma saya atau Dana, tetapi untuk teman-teman desainer, penjahit, dan orang-orang yang terlibat di sini. Saya sendiri terus terang banyak belajar dari teman-teman muda di sini,” tutur Liza.
Segmen pasar mereka memang ditargetkan untuk anak muda. Tidak heran, dalam belasan tahun mereka berkarya, pelanggan terus tumbuh. Akan tetapi, tidak hanya sebagai pelanggan, orang-orang ini menjelma menjadi bagian dari keluarga besar Danjyo Hiyoji. Mereka adalah bagian dari tim, juga penambah semangat dalam berkarya.
”Mereka yang kami namakan We are Danjyo Hiyoji. Mereka adalah bagian dari keluarga. Mimpi kami adalah terus menambah keluarga itu,” kata Dana.
Disambung Liza, ”Dan tentunya punya toko di setiap kota besar, termasuk di luar negeri. Semoga.”
Dana Maulana
Lahir: 10 Maret 1980
Pendidikan:
- Master International Business University of Greenwich-Old Royal Naval College, Park Row, London
- Sarjana Teknik Industri Universitas Pelita Harapan
Liza Mashita
Lahir: 17 Mei 1981
Pendidikan: Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama)