Sejumlah organisasi kemasyarakatan di Sumatera Utara mendorong Pemilihan Umum 2019 yang damai dan menyatukan masyarakat. Masyarakat diminta menciptakan kesejukan di masa tenang menjelang pemungutan suara. Seluruh lapisan masyarakat harus mengedepankan penegakan hukum jika ada perselisihan atau kecurangan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Sejumlah organisasi kemasyarakatan di Sumatera Utara mendorong Pemilihan Umum 2019 yang damai dan menyatukan masyarakat. Masyarakat diminta menciptakan kesejukan pada masa tenang menjelang pemungutan suara. Semua lapisan masyarakat harus mengedepankan penegakan hukum jika ada perselisihan atau kecurangan.
Pernyataan itu disampaikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumut, Nahdlatul Ulama Sumut, Al Jamiyatul Washliyah Sumut, Keuskupan Agung Medan, dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Sumut, di Medan, Minggu (14/4/2019).
”Siapa pun yang terpilih dalam pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, kita harus bisa menerima bersama. Mari kita ciptakan pemilu damai dan pemilu yang bisa menyatukan bangsa,” kata Wakil Ketua Nahdlatul Ulama Sumut Adlin Damanik.
Siapa pun yang terpilih dalam pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, kita harus bisa menerima bersama. Mari kita ciptakan pemilu damai dan pemilu yang bisa menyatukan bangsa.
Adlin mengatakan, pemilihan presiden dan legislatif adalah agenda lima tahunan yang merupakan amanat konstitusi. Pesta demokrasi pun akan selalu rutin dihadapi masyarakat. Dengan pengalaman demokrasi yang panjang, masyarakat harus semakin dewasa menghadapi agenda tersebut.
Menurut Adlin, hal yang paling penting diantisipasi semua lapisan masyarakat adalah kemungkinan perselisihan hasil pemilu atau kemungkinan terjadi kecurangan. ”Perselisihan adalah hal yang wajar dalam sebuah kontestasi. Pemilihan kepala lorong saja bisa berselisih. Semua pihak harus mengedepankan penegakan hukum jika timbul perselisihan atau kecurangan,” kata Adlin.
Ketua Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Agung Medan Yosafat Ivo Sinaga OFM Cap mengatakan, Gereja Katolik berkomitmen mendukung siapa pun yang akan terpilih dalam pemilihan presiden ataupun legislatif.
Yosafat mengatakan, gereja menghimbau agar semua umat menciptakan pemilu damai. Mereka pun meminta umat untuk tidak menyebarkan berita bohong, waspada terhadap informasi yang mengadu domba, serta meminta agar gereja dan fasilitas gereja tidak digunakan untuk sarana kampanye politik.
”Kami juga meminta agar masyarakat memastikan dirinya terdaftar sebagai pemilih dan menggunakan hak pilih,” kata Yosafat.
Lingkungan hidup
Direktur Eksekutif Walhi Sumut Dana Prima Tarigan mengatakan, masa tenang harus dimanfaatkan untuk menurunkan tensi politik yang menghangat selama masa kampanye. Pemilihan presiden pun telah menciptakan polarisasi di masyarakat. Masyarakat harus kembali melebur sejak masa tenang.
Dana mengingatkan, masyarakat juga harus mengantisipasi politik uang atau ”serangan fajar” pada masa tenang. ”Politik uang sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun, khususnya dalam pemilihan legislatif. Kita harus bisa mengakhiri tradisi ini,” ujar Dana.
Dana mengatakan, masyarakat juga harus mengontrol kebijakan-kebijakan terkait dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup setelah pemilu selesai. ”Sumber daya alam biasanya menjadi komoditas yang diperjualbelikan untuk mengembalikan biaya politik. Ada yang mengeksploitasi dengan menjual izin lingkungan kepada swasta. Ada pula yang mengeruk kekayaan alam secara ilegal,” kata Dana.
Dari pengalaman pemilu sebelumnya, kata Dana, izin lingkungan biasanya semakin banyak dikeluarkan setelah pemilu selesai. Ia berharap hal itu jangan terjadi lagi.