Liputan Saat Hamil, Jatuh dari Motor hingga Menginap di Kantor Polisi
Menjadi jurnalis berarti dedikasi pada profesi. Tuntutan yang sama, baik kepada laki-laki maupun perempuan. Ketika panggilan liputan datang, jurnalis mesti siap bertugas, termasuk, misalnya, saat seorang perempuan jurnalis sedang hamil.
Pada 1 November 2018, tepat tiga tahun saya bertugas sebagai wartawan harian Kompas yang meliput di Lampung. Selama kurun waktu itu, saya telah melaporkan berbagai peristiwa yang terjadi di provinsi seluas 35.376 kilometer persegi itu. Hingga Kamis (4/4/2019), sedikitnya ada 966 artikel yang saya tulis.
Sebagai perempuan jurnalis, tidak sedikit tantangan yang harus dilewati selama bertugas, terlebih setelah berkeluarga. Saya dituntut menjalani tugas secara profesional selama masa kehamilan. Bahkan, saya juga harus siap bertugas meski di tengah masa cuti melahirkan.
Saya menyadari hal itu sejak menekuni profesi ini. Sebab, tugas jurnalis tidak selesai meski telah bekerja selama delapan jam per hari. Profesi ini tetap melekat selama 24 jam; selama ada peristiwa dan fakta yang perlu disampaikan.
Seperti saat tsunami Selat Sunda menerjang kawasan pesisir Lampung dan Banten, Sabtu (22/12/2018) sekitar pukul 21.30. Malam itu, informasi tentang tsunami masih simpang siur.
Tugas jurnalis tidak selesai meski telah bekerja selama delapan jam per hari. Profesi ini tetap melekat selama 24 jam.
Bahkan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sempat menyatakan air naik di kawasan pesisir itu sebagai fenomena pasang air laut. Beberapa saat kemudian, barulah BMKG menyatakan terjadi tsunami yang menerjang kawasan pesisir Lampung dan Banten.
Hingga Minggu dini hari, belum diketahui dampak kerusakan dan korban akibat tsunami. Jaringan telekomunikasi di daerah di Lampung Selatan yang terkena tsunami terputus.
Saya gelisah dan merasa petaka itu begitu dekat. Apalagi, sebelum tsunami terjadi, Gunung Anak Krakatau bergejolak. Pada Juni 2018, peristiwa erupsi gunung api itu saya tulis di harian Kompas. Firasat saya berkata, tsunami itu berkaitan dengan aktivitas Gunung Anak Krakatau.
Sambil menggendong bayi saya yang berusia dua bulan, saya mencoba tenang. Meskipun ngeri tetap muncul teringat dampak letusan Gunung Anak Krakatau yang pada 1883 menewaskan lebih dari 36.000 jiwa.
Informasi tentang kecemasan warga di daerah terdampak juga saya dengar dari beberapa grup Whatsapp yang saya ikuti. Beberapa warga mengabarkan kesulitan mengevakuasi jenazah yang jumlahnya cukup banyak.
Minggu pagi, saya memutuskan menghubungi anggota Basarnas Lampung. Saya ingin menumpang ke daerah terdampak tsunami. Namun, Deni Kurniawan dari Humas Basarnas Lampung menyampaikan, seluruh personel sudah berangkat ke lokasi sejak Minggu dini hari.
Saya lalu menghubungi Mas Kori yang saya kenal sebagai anggota Komunitas Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI). Mas Kori menawari saya berangkat dengan menumpang ambulans RAPI.
Hal yang paling ”melelahkan” adalah menahan haru melihat seorang ibu yang terus menangis karena kehilangan bayinya. Sambil menahan sakit akibat luka benturan nyaris di sekujur tubuhnya, sang ibu terus menanti kabar anaknya.
Meski belum mendapat izin dari editor di Jakarta, saya menerima tawaran Mas Kori untuk menumpang ambulans. Saya menghubungi Mas Gesit, Kepala Desk Nusantara di Jakarta. Setelah mendapat persetujuan, saya pun menyiapkan perlengkapan liputan. Saya memutuskan meliput meski tengah cuti melahirkan.
Beruntung, saya memiliki suami dan keluarga yang mendukung profesi yang saya tekuni. Tanpa keberatan, ibu saya menawarkan untuk menjaga Elok, bayi perempuan saya. ”Ya sudah, berangkat. Jangan khawatir sama Elok,” kata ibu saya yang akrab saya panggil Mamak.
Hal ini sekaligus menjadi pengalaman pertama saya meliput bencana. Sungguh, pekerjaan yang tidak hanya menguras tenaga. Hal yang paling ”melelahkan” adalah menahan haru melihat seorang ibu yang terus menangis karena kehilangan bayinya. Sambil menahan sakit akibat luka benturan nyaris di sekujur tubuhnya, sang ibu terus menanti kabar anaknya. Setiap kali ada orang atau petugas yang datang membawa informasi tentang penemuan jenazah, dia memaksa ingin melihatnya.
Di sepanjang pesisir, saya menyaksikan rumah-rumah yang hancur tak berbentuk. Kapal nelayan yang tersangkut di rumah warga, jalan yang tertutup material bangunan, dan kendaraan yang terseret ombak lebih dari 100 meter. Halaman masjid seolah berubah menjadi kamar jenazah.
Saat turun dari ambulans, saya diberondong warga yang meminta obat. Mereka mengira saya perawat. Seketika, hati saya perih merasakan duka dan kepanikan para korban tsunami.
Setelah mengumpulkan informasi dari warga, saya dan beberapa rekan mediamemutuskan kembali ke Rumah Sakit Umum Daerah Bob Bazar. Tempat ini sekaligus merupakan posko informasi yang menginformasikan jumlah korban meninggal dan luka akibat tsunami.
Baca juga : Dicegat Saat Mendalami Keteguhan Warga Menolak Tambang
Namun, ambulans yang semula kami tumpangi belum selesai mengevakuasi korban tsunami. Jadi, kami hanya bisa berjalan kaki sambil berharap ada mobil yang bersedia memberikan tumpangan. Setelah lebih dari 2 kilometer berjalan, akhirnya ada sebuah mobil yang bersedia memberikan tumpangan. Malam harinya, saya menulis dua artikel serta mengirimkan beberapa foto bencana tsunami. Setelah itu, baru saya menuju hotel untuk beristirahat.
Senin dini hari, dua teman jurnalis Kompas dari Jakarta datang untuk membantu. Mereka adalah IGA dan SPW. Saya memanggilnya demikian, panggilan khas sesama jurnalis sesuai inisial saat menulis berita. Mereka berdua yang kemudian menggantikan saya meliput tsunami di Lampung Selatan.
Tidak hanya meliput, kami juga menyalurkan bantuan dari pembaca harian Kompas untuk korban tsunami. Saya merasa senang, setidaknya bisa berbuat sesuatu untuk mereka di luar menulis.
Meski masih ingin bertugas, saya hanya empat hari meliput tsunami. Saat itu, Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Mbak Ninuk Mardiana Pambudy, meminta saya melanjutkan cuti.
Sebagai jurnalis muda yang belum mencapai banyak hal, saya merasa terbebani. Namun, juga terharu karena penghargaan itu menunjukkan kepedulian kepada jurnalis perempuan.
Beberapa hari setelahnya, saya mendapat surat penghargaan dari kantor yang tak pernah saya bayangkan. Saya dinilai berdedikasi karena bekerja selama masa cuti. Kaget, terbebani, sekaligus haru dan bangga.
Saya tidak pernah menyangka bakal mendapat surat penghargaan itu. Sebagai jurnalis muda yang belum mencapai banyak hal, saya merasa terbebani. Namun, juga terharu karena penghargaan itu menunjukkan kepedulian kepada perempuan jurnalis. Terlebih, penghargaan diberikan oleh pemimpin redaksi perempuan pertama di harian Kompas. Di dalam diri, bangga menjadi perempuan jurnalis.
Jatuh dari motor
Pengalaman lain, saat masa kehamilan, saya pernah terjatuh dari sepeda motor ketika berkendara di Bandar Lampung. Tangan dan kaki saya lecet dan berdarah. Setengah gigi depan saya patah. Beruntung, kondisi janin saya baik-baik saja.
Pernah pula, ketika hamil saya harus meliput ke pelosok dengan kondisi jalan yang rusak. Saat itu, saya dan editor Biro Sumatera, Aufrida Wismi Warastri, ingin menuju tambak udang Bratasena di Kabupaten Tulang Bawang.
Perjalanan dari Lampung Timur menuju Lampung Tengah yang kami tempuh selama 3,5 jam terasa seperti melintasi jalur ”neraka”. Jalan rusak itu tidak hanya membuat perut mual, tetapi juga membuat pinggang terasa kaku. Kami masih beruntung karena malam itu tidak hujan.
Baca juga : Misteri Luas Kebakaran Hutan di Riau
Sesampainya di Kecamatan Rumbia, Lampung Tengah, kondisi jalan jauh lebih parah. Aspal jalan mengelupas dan menyisakan jalan tanah. Kedalaman lubang di jalan itu 50-70 sentimeter. Kendaraan kami hanya bisa melaju dengan kecepatan 10-15 kilometer per jam.
Tiba di Gaya Baru, Lampung Tengah, kami mencoba mencari penginapan atau losmen untuk beristirahat. Di situ, kami hanya dapat menemukan satu penginapan, Angin Mamiri. Sayangnya, setelah diketuk berkali-kali, pemilik penginapan enggan membuka pintu. Saat kami hubungi melalui telepon, pemilik penginapan juga tidak menjawab.
Hingga pukul 02.00 WIB, kami belum mendapat penginapan. Menurut beberapa warga yang kami temui, tidak ada penginapan lain di dekat situ yang bisa kami sewa. Melanjutkan perjalanan juga tidak mungkin karena kondisi badan sudah sangat lelah.
Kalaupun ada, losmen terdekat berada di Kecamatan Rumbia yang telah kami lewati. Artinya, kami harus kembali menempuh jalan rusak dan bergelombang untuk sampai ke losmen itu.
Alhasil, kami pun menginap di Polsek Seputih Surabaya yang ada di dekat situ. ”Di sini tidak ada penginapan lain. Sudah, bermalam di sini saja. Toh, sebentar lagi juga sudah pagi,” ujar anggota kepolisian yang malam itu piket malam.
Dia pun mengantarkan kami ke ruang reserse kriminal. Malam itu, saya dan Mbak Wismi tidur di sebuah sofa hijau. Sementara sopir mobil yang kami sewa tidur di dalam mobil.
Setelah beristirahat selama empat jam, pukul 06.00 kami langsung melanjutkan perjalanan ke Bratasena. Di tengah jalan, kami harus melintasi jalan yang terendam banjir setinggi 0,5 meter. Pengendara sepeda motor dan mobil harus bergantian dan berhati-hati saat melintas. Sungguh, perjalanan yang menguras tenaga dan kesabaran.
Dari banyak pengalaman dan tantangan itu, menjadi jurnalis tetaplah sebuah pekerjaan yang mengasyikkan. Rasa lelah terbayar saat tulisan atau foto dimuat di koran. Bagi saya, inilah pekerjaan yang tetap ingin saya tekuni meski tubuh dalam kondisi lelah sekali pun.