Ekspor dan Impor Turun, Sektor Industri Pengolahan Lesu
JAKARTA, KOMPAS - Nilai ekspor dan impor pada triwulan I-2019 turun dibandingkan periode sama 2018. Penurunan itu terjadi di sektor industri yang memiliki andil besar terhadap ekspor, terutama industri pengolahan.
Hal itu menunjukkan gairah industri nasional tengah lesu dan melambat. Kondisi itu perlu direspon dengan meningkatkan nilai tambah industri nasional yang berorientasi ekspor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan pada Maret 2019 surplus 540,2 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau berkisar Rp 7.598 triliun dengan kurs referensi Bank Indonesia Rp 14.067 per dollar AS. Surplus itu berasal dari impor yang sebesar 13,48 miliar dollar AS dan ekspor 14,02 miliar dollar AS.
Adapun neraca perdagangan sepanjang triwulan I-2019 defisit sebesar 193,4 juta dollar AS. Nilai impor pada Januari-Maret 2019 sebesar 40,70 miliar dollar AS dan nilai ekspornya sekitar 40,51 miliar dollar AS.
Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (15/4/2019), megnatakan, dibandingkan periode sama 2018, nilai ekspor dan impor triwulan I-2019 turun. Nilai impor turun 7,40 persen dari 43,95 miliar dollar AS, sedangkan nilai ekspor turun 8,49 persen dari 44,27 miliar dollar AS.
Gejala penurunan juga tampak dari industri. Impor bahan baku atau penolong sepanjang triwulan I 2019 turun 7,27 persen dibandingkan tahun lalu menjadi 30,58 miliar dollar AS. Impor barang modal juga turun 4,17 persen menjadi 6,74 miliar dollar AS.
"Ekspor industri pengolahan juga turun dalam tiga bulan terakhir jika dibandingkan dengan 2018. Secara berturut-turut, angka penurunan tahunannya sebesar 4,47 persen (Januari 2019), 8,06 persen (Februari 2019), dan 7,84 persen (Maret 2019)," kata dia.
Baca juga: Waspadai Penurunan Setoran Pajak Industri Pengolahan
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengemukakan, gejala penurunan ekspor dan impor menunjukkan ada penurunan gairah industri. Penurunan aktivitas industri itu disebabkan belum adanya dorongan signifikan dari pemerintah untuk mendongkrak nilai tambah produk.
Padahal, industri pengolahan merupakan sektor yang memiliki andil terbesar dalam struktur ekspor nasional. Pada Januari-Maret 2019, kontribusi industri pengolahan itu terhadap ekspor sebesar 29,92 persen atau lebih rendah dari periode sama 2018 yang sebesar 32,04 persen.
"Kontribusi industri pengolahan itu terhadap ekspor itu turun 6,61 persen. Padahal pertumbuhan ekspor tersebut semestinya sebesar 6-7 persen untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen," kata dia.
Kontribusi industri pengolahan itu terhadap ekspor itu turun 6,61 persen. Padahal pertumbuhan ekspor tersebut semestinya sebesar 6-7 persen untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
Menurut Fithra, pemerintah dapat menggenjot nilai tambah untuk industri dengan investasi berorientasi ekspor dan pengembangan manufaktur. Iklim investasi kondusif, yang tercermin dari indikator kemudahan dalam berbisnis (EODB), mesti tercipta.
Pembangunan infrastruktur saat ini harus berorientasi untuk menghubungkan antarindustri. "Infrastruktur laut perlu ditingkatkan dalam rangka menurunkan ongkos logistik industri," kata dia.
Migas turun
Dari segi jenis komoditas, angka defisit minyak dan gas (migas) pada triwulan I-2019 turun 49,86 persen menjadi 1,34 miliar dollar AS dibanding periode sama tahun lalu. Pada triwulan I 2018, defisitnya sebesar 2,68 miliar dollar AS.
Penurunan defisit migas itu terjadi karena impor migas sebesar 28,98 persen dari tahun lalu menjadi 4,78 miliar dollar AS pada triwulan I-2019. Secara terperinci, nilai impor minyak mentah turun 50,69 persen dan hasil minyak turun 16,24 persen.
Menurut Suhariyanto, kebijakan pencampuran biodiesel yang berasal dari minyak kelapa sawit sebanyak 20 persen terhadap solar (program B20) berdampak pada penurunan nilai impor migas. Meskipun demikan, BPS tidak dapat memperinci persentase signifikansi dampak kebijakan B20 terhadap penurunan impor migas.
Perlambatan global
Suhariyanto mengingatkan, Indonesia perlu mewaspadai dampak perlambatan ekonomi global yang disinyalir terjadi pada 2019. "Ekspor Indonesia ke pasar tradisional seperti AS dan China bisa menurun," kata dia.
Gejala itu terlihat dari penurunan ekspor ke China dan AS, dua pangsa ekspor terbesar Indonesia, pada triwulan I-2019 dibandingkan periode sama 2018. BPS mencatat, ekspor ke China turun 17,35 persen menjadi 5,24 miliar dollar AS sedangkan ekspor ke AS turun 5,88 persen menjadi 4,16 miliar dollar AS.
Indonesia perlu mewaspadai dampak perlambatan ekonomi global yang disinyalir terjadi pada 2019. Ekspor Indonesia ke pasar tradisional seperti AS dan China bisa menurun.
Pada April 2019, Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi angka proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini turun menjadi 3,3 persen. Pada Januari 2019, angka proyeksinya sebesar 3,2 persen. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tersebut tergolong melambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2018 yang sebesar 3,5 persen.
Baca juga: Utang Meningkat, Perekonomian Global Makin Rentan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, perlambatan ekonomi global terutama akibar perang dagang antara AS dan China. Indonesia juga merasakan dampak perang dagang itu.
""Terutama dengan China karena ekspor terbesar Indonesia ke China. Ketika ekonomi China melambat akibat perang dagang, produksi di sana dapat menurun," kata dia.
Fithra mengusulkan, pemerintah Indonesia perlu melihat sejumlah negara di Afrika sebagai pasar nontradisional potensial. Tren pertumbuhan ekonomi negara-negara di Benua Hitam itu cenderung positif. Contohnya, Etiopia, Pantai Gading, Angola, Senegal, dan Afrika Selatan.