Isu Kesejahteraan Sosial, Tantangan Utama Presiden Terpilih
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Siapa pun presiden dan wakil presiden yang terpilih dalam Pemilihan Presiden 2019 akan menghadapi tantangan isu kesejahteraan sosial dan jebakan negara berpendapatan menengah. Langkah kebijakan strategis dengan meningkatkan pendapatan melalui sektor industri baru perlu menjadi perhatian.
”Meski kedua pasangan capres-cawapres telah berkomitmen dalam meningkatkan kesejahteraan, kerentanan terhadap kemiskinan masih tinggi terjadi. Data Bank Dunia pada 2018, hampir 70 persen penduduk Indonesia miskin atau rentan. Ini menjadi salah satu yang tertinggi di negara-negara Asia Tenggara,” ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung, Arief Anshory Yusuf, di Jakarta, Senin (15/4/2019).
Paparan ini mengemuka dalam diskusi seri Pemilu 2019 yang diadakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Diskusi kali ini bertemakan ”Menakar Komitmen Capres-Cawapres dalam Pengembangan Sektor Ekonomi, Kesejahteraan Sosial, Keuangan, Investasi, Industri, dan Perdagangan”.
Arief menilai, kedua pasangan capres-cawapres belum mengusulkan ide‐ide program yang secara substansial dapat mengurangi ketimpangan.
”Pemerintah memang menggulirkan program bantuan sosial pemerintah yang terbukti mengurangi koefisien gini sebesar 2,7 persen dari 2015 ke 2016. Program bantuan sosial pemerintah pun diperkirakan menyumbang 25 persen terhadap penurunan tersebut,” tuturnya.
Meski demikian, bantuan sosial cenderung bersifat temporer. Ia menilai, kedua pasangan capres-cawapres kurang menekankan pendekatan mobilitas sosial atau perubahan kelas sosial yang secara eksplisit dapat mengurangi ketimpangan jangka panjang.
Jebakan pendapatan
Pengamat ekonomi dan keuangan Anton Hermanto Gunawan menyampaikan, jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap menjadi tantangan utama yang dihadapi Indonesia.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,01 persen tahun 2014; 4,88 persen (2015); 5,03 persen (2016); 5,07 persen (2017); hingga 5,17 persen (2018). Jika dilihat lebih jauh, sejak 2000 hingga 2018, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,27 persen.
”Maka, dalam upaya mendorong produktivitas, harus ada komitmen membangun sistem logistik. Jangan hanya infrastruktur, tetapi logistik juga harus dibangun agar biaya produksi lebih efisien,” ujar Anton.
Bank Dunia mencatat, dari Logistics Performance Index pada 2018, Indonesia berada di posisi ke-46, di bawah Malaysia, Thailand, India, dan Vietnam. Dari posisi ini, hasil analisis CSIS menunjukkan, biaya logistik di Indonesia mencapai 23,6 persen dari total produk domestik bruto (PDB) dengan dua komponen terbesar ialah transportasi (11,2 persen) dan inventaris (11,1 persen).
Dalam sektor investasi asing, Anton menilai, perlu koordinasi terpadu yang mengintegrasikan antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan begitu, akan ada keterkaitan dan kesinambungan sehingga investasi asing tidak terhambat persoalan regulasi.
Sumber baru
Selain itu, peneliti CSIS, Dandy Rafitrandi, mengatakan, pemerintah ke depan juga harus mampu meningkatkan pertumbuhan sektor industri potensial untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Saat ini, ada dua sektor industri yang berpotensi menambah nilai ekonomi, yaitu industri halal dan industri olahraga elektronik (e-sport).
Dalam State of the Global Islamic Economy Report 2018/19, dinyatakan bahwa makanan halal merupakan peluang pasar yang belum terealisasi. Pada 2017, pengeluaran warga Muslim untuk makanan dan minuman tercatat mencapai 1,3 miliar dollar AS. Sementara pada 2023 diproyeksikan akan mencapai 1,9 miliar dollar AS.
Konsumsi masyarakat Indonesia untuk produk halal pun mencapai 218,8 miliar dollar AS pada 2017. Indonesia juga saat ini menduduki peringkat ke-10 dalam Indikator Ekonomi Islam Global (GIEI) dengan skor 45.
Begitupun dengan industri e-sport. Dandy menyampaikan, industri ini menciptakan penghasilan 1 juta hingga 2 juta dollar AS setiap bulan dari sekitar 300.000 pemain. Pada tahun 2017, kontribusi Indonesia di Asia Tenggara mencapai 21 persen atau yang terbesar.
Pengembangan sektor industri manufaktur, termasuk kedua sektor industri baru ini, akan berjalan beriringan dengan Industri 4.0, yaitu mengenai otomatisasi dan robotisasi. Sejatinya, Industri 4.0 akan membantu dalam meningkatkan pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia.
”Namun, dengan potensi yang besar, Indonesia masih pada tahap awal dalam pengembangan ekonomi digital dibandingkan dengan negara lain. Maka, ekosistem perlu disiapkan, termasuk sumber daya manusia untuk menjawab tantangan Industri 4.0,” ujar Dandy.
Aturan rumit
Terakhir, tantangan dari sisi perdagangan, khususnya perdagangan internasional. Pendiri Presisi Indonesia, Titik Anas, menilai, rumitnya aturan perdagangan internasional mempersulit peningkatan efisiensi dan produktivitas. Jika nanti kita tidak diperbolehkan impor, misalnya, akhirnya akan meningkatkan inefisiensi, baik dalam waktu maupun biaya, karena kesulitan mencari bahan baku.
”Kecenderungannya, pemerintah menggunakan banyak perdagangan internasional yang menyulitkan. Sebagai contoh, perdagangan komoditas gula, karena ada pembatasan kuota, pasar kita menjadi terbatas. Ini membuat perdagangan kita menjadi tidak efisien,” tutur Titik.