Naturalisasi Saja Tak Cukup Atasi Banjir di Jakarta
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·3 menit baca
Naturalisasi saja dinilai tak memadai untuk mengatasi banjir di DKI Jakarta. Normalisasi, yang disertai pelebaran sungai dan penertiban bantaran dari permukiman, merupakan kunci untuk mengatasi persoalan banjir DKI karena kondisi sungai-sungai yang mengalami penyempitan dan okupansi permukiman.
Ahli lanskap kota dan penggiat peta hijau, Nirwono Joga, mengatakan, saat ini lebar sungai di DKI Jakarta rata-rata sudah menyusut dari sekitar 50 meter menjadi hanya menjadi 15 meter. Oleh karena itu, untuk mengatasi banjir Jakarta secara signifikan, pelebaran dan pengerukan harus dilakukan untuk mengatasi banjir secara signifikan.
”Untuk itu, mau tak mau harus dilakukan dengan pelebaran, yang artinya juga harus ada relokasi warga dari bantaran kali. Ini memang pil pahit, tetapi seharusnya dilakukan jika memang pemerintah ingin mengatasi banjir di Jakarta,” katanya di Jakarta, Jumat (12/4/2019).
Nirwono menjelaskan, naturalisasi hanyalah salah satu instrumen untuk penataan sungai. Naturalisasi didefinisikan sebagai penataan bantaran sungai untuk mengembalikan kondisi alami. Hal itu salah satunya bisa dilakukan dengan menghijaukan kawasan sungai.
Dalam hal ini, normalisasi dan naturalisasi adalah konsep yang justru bisa dikombinasikan, bukan saling dibenturkan.
Artinya, setelah dilakukan penataan dengan pelebaran dan pengerukan sempadan, bisa dilakukan proses naturalisasi. Hal ini sudah banyak diterapkan di sungai-sungai di Eropa dan Singapura.
”Pendekatan apa pun yang akan diambil, baik itu normalisasi, naturalisasi, maupun memadukan keduanya, yang pasti Pemprov DKI Jakarta harus melebarkan badan sungai agar kapasitas air meningkat serta memiliki sempadan sungai yang optimal. Ini berarti harus menertibkan atau merelokasi bangunan permukiman,” katanya.
Polemik
Selama beberapa waktu terakhir, naturalisasi dan normalisasi menjadi polemik sebagai pilihan penataan kali di Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah menjanjikan tak ada penggusuran di bantaran kali selama periode kepemimpinannya. Ia pun menonjolkan naturalisasi sebagai langkah penataan sungai.
Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2019 tentang pembangunan dan revitalisasi prasarana sumber daya air secara terpadu dengan konsep naturalisasi. Dalam praktiknya, naturalisasi ini lebih banyak dipraktikkan dengan menanam bantaran kali yang sudah bersih dan lebar dengan berbagai tanaman.
Sejak 2018, pelebaran sungai yang sebelumnya dilakukan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane di Sungai Ciliwung terhenti. Hal ini karena belum memadainya lahan yang dibebaskan untuk melanjutkan pelebaran sungai itu.
Di Kali Krukut, proses pembebasan lahan juga terhenti. Sebelumnya, warga di bantaran Krukut sudah didata untuk pembebasan lahan. Namun, sejak 2018 tak ada kelanjutan dari program ini.
Peraturan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2018 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau menetapkan bahwa garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan berjarak 10 meter dari tepi kiri-kanan palung sungai dengan kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 meter, 15 meter (3-20 meter), dan 30 meter. Pemerintah Provinsi DKI akan melanggar ketentuan itu apabila pelebaran sungai tak dilakukan.
Sebelumnya, Bambang Hidayah, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC), mengatakan, tambahan pembebasan lahan ditunggu karena untuk penataan sungai buat mengatasi banjir, mau tidak mau harus melakukan pembebasan lahan sebab hampir semua sungai menyempit sehingga tidak berfungsi optimal.
Seusai rapat koordinasi dengan Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta di gedung dinas teknis Jatibaru, Kamis (11/4/2019), Bambang mengatakan, dari komunikasi yang dilakukan Selasa, Pemprov DKI menyebutkan ada 13 hektar lahan untuk normalisasi Kali Ciliwung yang sudah dibebaskan (Kompas, 12/4/2019).
Asisten Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Bidang Pembangunan dan Lingkungan Hidup Yusmada Faizal, Selasa lalu, juga menjelaskan perihal 13 hektar lahan yang sudah dibebaskan tersebut. Lahan yang dibebaskan itu berada di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, yaitu di Gedong, Balekambang, Cililitan, Cawang, Kampung Melayu, Tanjung Barat, Pejaten Timur, dan Bukit Duri.