Pemilihan umum menjadi salah satu indikator penerapan demokrasi di sebuah negara modern. Meski demikian, tidak sedikit negara yang menggelar pemilu yang sesungguhnya tak demokratis atau setidaknya hanya tampak seolah-olah demokratis. Beberapa negara di Asia Tenggara melakukan hal ini. Ada pemilu, tetapi tekanan dari penguasa sungguh keterlaluan. Pemimpin partai oposisi dihukum, sementara pers atau media dikooptasi habis-habisan oleh kekuatan pemerintah.
Pemilihan umum memiliki tujuan utama memilih anggota parlemen atau pemimpin. Adapun prinsip dasar penyelenggaraan pemilu berangkat dari gagasan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat. Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat ini, diperlukan sistem perwakilan karena, katakanlah, tidak mungkin rakyat beramai-ramai ikut menyusun undang-undang di parlemen. Yang nanti terjadi hanyalah kekacauan. Lewat prinsip perwakilan, rakyat menentukan siapa yang sekiranya layak dan pantas menjadi wakil, menjadi ”corong” mereka di parlemen, atau menjadi wakil di pemerintahan (eksekutif) atau di pusat kekuasaan.
Pertanyaannya kemudian, apakah pemerintah itu? Apakah pemerintah merupakan representasi dari masyarakat, etnis, bangsa, atau kelompok keagamaan? Pemikir humanis terkemuka Steven Pinker lewat Enlightenment Now: The Case for Reason, Science, Humanism and Progress (Penguin Books, 2019) menyatakan, pemerintah bukan perwujudan perintah ilahi. Pemerintah juga bukan ”sinonim” dari kebangsaan, kelompok religi, atau bahkan semangat sebuah ras.
Menurut profesor psikologi Universitas Harvard dan penulis rutin di media besar, seperti The New York Times, ini, institusi pemerintah seratus persen merupakan hasil penemuan manusia. Institusi pemerintah setara dengan lembaga pendidikan, hukum (law), pasar (market), serta lembaga-lembaga internasional. Dibentuk atas dasar kontrak sosial, pemerintah bekerja dengan tujuan pertama-tama meningkatkan kesejahteraan warga.
Pemerintah bukan perwujudan perintah ilahi. Pemerintah juga bukan ”sinonim” dari kebangsaan, kelompok religi, atau bahkan semangat sebuah ras.
Institusi-institusi buatan manusia tersebut, menurut Pinker, menjadi fokus atau sasaran dari gagasan kemajuan (progress) yang tumbuh subur di era Pencerahan atau Enlightenment abad ke-18. Semangat Pencerahan pada hakikatnya tak hanya menolak keterpurukan manusia di bawah rezim irasional yang berjaya pada Abad Kegelapan, tetapi juga berusaha mencegah manusia hanyut dalam kekejaman sekuler; misalnya perbudakan dan hukuman tak berperikemanusiaan, seperti pemotongan anggota badan.
Di sinilah arti penting pemilu. Ketika masuk ke bilik suara dan menentukan pilihannya, seorang warga sesungguhnya membuat ”kontrak” dengan sosok tertentu agar ia bekerja keras untuk menyejahterakan masyarakat. Sekali lagi, lewat proses pemilu, terlihat jelas pemerintah bukan perwakilan suci dari entitas abadi yang entah apa namanya. Ia sama dengan institusi buatan manusia lainnya. Bisa dikritik, dikecam, dipuji, dan dibela hingga batas-batas yang wajar.
Sayangnya, bekerja untuk kesejahteraan masyarakat telah menjadi ungkapan yang klise. Sangat klise. Sampai-sampai rasanya orang sudah lupa apa itu mengupayakan kesejahteraan masyarakat.
Daron Acemoglu dan James A Robinson memberi gambaran secara tepat mengenai perbedaan antara pemerintah yang baik dan yang buruk. Lewat Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty (Profile Books, 2012), keduanya menulis, negara-negara mengalami kegagalan karena institusi ekonomi ekstraktif mereka tidak menciptakan insentif yang diperlukan masyarakat untuk menabung, berinvestasi, dan berinovasi. Institusi politik yang ekstraktif (mengisap) di negara-negara itu mendukung institusi ekonomi jenis ini dengan cara memperkuat kekuasaan orang-orang yang diuntungkan oleh ekonomi pengisapan.
Menurut Acemoglu dan Robinson, institusi politik dan ekonomi yang bersifat ekstraktif selalu menjadi akar dari kegagalan yang dialami negara-negara (fail states), meski detailnya mungkin berbeda-beda tergantung situasi tiap-tiap negara.
Dengan memahami semua itu, pemilu bisa menjadi sangat krusial jika warga dihadapkan pada pilihan antara kekuatan pro-institusi ekstraktif dan kekuatan anti-institusi ekstraktif. Maka, tentukanlah dengan siapa Anda hendak membuat kontrak pada saat pemberian suara nanti di hari-H.