JAKARTA, KOMPAS — Polusi nitrogen dioksida atau NO2 telah menyebabkan 4 juta anak di seluruh dunia menderita asma setiap tahun, sebanyak 64 persen di antaranya tinggal di perkotaan. Indonesia menempati peringkat empat negara yang paling terbebani dengan tingginya kasus asma baru akibat paparan NO2, dengan peringat pertama Cina, disusul India dan Amerika Serikat.
Demikian hasil studi terbaru dari George Washington University Milken Institute School of Public Health (Milken Institute SPH), Amerika Serikat yang dipublikasikan di jurnal The Lancet Planetary Health edisi April 2019. Kajian ini diperoleh dengan menganalisis kaitan antara data global konsentrasi NO2, distribusi populasi pediatrik, dan angka kejadian asma yang dipicu polusi lalu lintas. Mereka kemudian menghitung jumlah kasus asma pediatrik baru yang disebabkan polusi NO2 di 194 negara dan 125 kota besar di seluruh dunia.
Hasilnya, beban nasional terbesar dari kasus asma baru yang disebabkan oleh paparan NO2 terjadi di Cina dengan 760.000 kasus baru per tahun, disusul India sebesar 350.000 kasus baru per tahun, Amerika Serikat 240.000 kasus baru per tahun, dan Indonesia 160.000 kasus baru per tahun, serta Brazil 140.000 kasus baru per tahun.
Meskipun AS, Indonesia, dan Brasil memiliki ukuran populasi anak yang serupa, AS memiliki konsentrasi NO2 tertimbang populasi tertinggi dan Indonesia memiliki tingkat kejadian asma tertinggi di antara ketiga negara ini.
"Temuan kami menunjukkan, jutaan kasus baru asma pediatrik semakin mengkhawatirkan, namun sebenarnya dapat dicegah dengan mengurangi polusi udara," kata Susan C Anenberg, koordinator penelitian, dalam rilis yang dikeluarkan kampus ini.
Temuan kami menunjukkan, jutaan kasus baru asma pediatrik semakin mengkhawatirkan, namun sebenarnya dapat dicegah dengan mengurangi polusi udara.
Susan menyebutkan, dengan meningkatkan akses transportasi yang lebih bersih, seperti transportasi umum yang dialiri listrik dan perjalanan aktif dengan bersepeda dan berjalan, tidak hanya akan menurunkan level NO2, tetapi juga mengurangi asma, meningkatkan kebugaran fisik, dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Studi ini semakin menguatkan bahaya polusi udara terhadap kesehatan. Laporan Global Environment Outlook (GEO) yang dipaparkan dalam Sidang Ke-4 Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan (UNEA) bulan lalu menyebutkan, polusi udara menduduki peringkat pertama penyebab kematian global dengan rata-rata 7 juta orang per tahun. Terkait polusi udara ini, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada 2015 yang memicu kabut asap termasuk yang terparah dan diperkirakan penyumbang bagi 100.000 kematian dini.
Di bawah baku mutu
Khusus untuk tingkat pencemaran NO2 di kota-kota di Indonesia, menurut pantauan Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), masih di bawah ambang batas.
"Pada bulan ini, kadar NO2 tertinggi di Glodok (0,0350 bagian per juta/ppm) dan kadar terendah di Monas (0.0182 ppm), namun semuanya masih berada di bawah nilai baku mutu (0.08 ppm)," kata Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto kepada Kompas di Jakarta, Jumat (12/4/2019).
Namun, Laporan terbaru Air Quality Life Index (AQLI) oleh Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC) menyebutkan, Indonesia menjadi satu dari 20 negara berpolusi tertinggi di dunia. AQLI menunjukkan bahwa polusi partikulat di Indonesia mulai muncul menjadi masalah sejak 1998. Mulai tahun tersebut hingga 2016, konsentrasi polusi partikulat meningkat 171 persen.
Baca juga: Pencemaran Udara Turunkan Angka Harapan Hidup 1,2 Tahun
Laporan yang disusun Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC) tersebut berjudul Indonesia’s Worsening Air Quality and its Impact on Life Expectancy (update March 2019). Para peneliti membandingkan kualitas udara daerah-daerah di Indonesia dengan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait polusi partikulat halus (PM2,5).
Jakarta menjadi kota paling terpolusi di Asia Tenggara dengan empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar WHO. Polusi udara diperkirakan dapat menelan korban sekitar 7 juta jiwa di seluruh dunia setiap tahun dan kerugian ekonomi.
Berdasarkan laporan kualitas udara dunia pada 2018, Jakarta dan Hanoi (Vietnam) menjadi dua kota paling terpolusi di Asia Tenggara. Dari laporan itu, diindikasikan bahwa konsentrasi rata-rata tahunan PM2,5 pada tahun 2018 di Jakarta sangat buruk, yakni Jakarta Selatan mencapai 42,2 mikrogram per meter kubik (µg/m3) dan Jakarta Pusat mencapai 37,5 µg/m3. Adapun PM 2,5 adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikrometer).
Baca juga: Kualitas Udara Jakarta Terburuk di Asia Tenggara
Pengampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, mengatakan, sumber pencemar NO2 di Indonesia bukan hanya dari transportasi, tetapi juga sumber energi listrik. "Jadi penggunaan mobil listrik hanya akan memindahkan polusi saja jika sumber listriknya dari PLTU Batubara," kata dia.
Sumber pencemar NO2 di Indonesia bukan hanya dari transportasi, tetapi juga sumber energi listrik.
Menurut Bondan, 1 mobil listrik butuh 1000 watts per hari (MW/hari), sehingga sekitar 10.000 mobil butuh 10 MW per hari. "Listrik sebesar 10 MW itu sama dengan emisi 17.850 mobil berbahan fosil yang berkendara 30 km per hari. Jadi sama aja lebih banyak polusinya jika sumber listriknya masih dari fosil, khususnya batu bara," kata dia.