Rayuan Maut Galuh Cempaka
Tambang intan di Cempaka, Banjarbaru, telah mengambil setidaknya 50 korban jiwa. Namun, desakan ekonomi dan tak ada keterampilan membuat warga terus menambang. Karena itu, perlu pengaturan keselamatan dan alih usaha bagi warga.
Rini Andria (19) tak bisa duduk tenang. Beberapa kali ia beranjak dari kursi untuk menenangkan anaknya, Muhammad Rizky (11 bulan), yang rewel saat acara penyerahan bantuan kepada keluarga korban longsor tambang intan rakyat Pumpung di Kantor Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Rabu (10/4/2019) sore. Bantuan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan itu diserahkan oleh Sekretaris Daerah Kalsel Abdul Haris Makkie.
Rini adalah istri Muhammad Noval Badali (20), salah satu pekerja tambang intan yang tewas tertimbun dua hari sebelumnya. Di usia yang belia, Rini harus kehilangan suami dan menjadi orangtua tunggal bagi Rizky.
”Ulun (saya) akan begawi (bekerja) apa pun nang (yang) halal demi anak. Pokoknya anak ulun harus bujur-bujur (benar-benar) sekolah supaya inya (ia) dapat gawian (pekerjaan) nang baik. Jangan sampai begawi kayak abahnya (bapaknya),” kata Rini dengan suara lirih.
Noval hanya tamat sekolah dasar sehingga sulit mendapatkan pekerjaan yang baik. Rini putus sekolah di kelas XI sekolah menengah kejuruan di Martapura, Kabupaten Banjar, karena menikah.
Rini menyadari, pendidikan adalah kunci untuk mengubah nasib Rizky agar tak tergoda untuk menambang intan yang dilakoni masyarakat Cempaka sejak puluhan tahun lalu. Intan, yang di kalangan para pendulang disebut galuh (gadis), memberi harapan besar sehingga banyak yang tergoda menambang tanpa memikirkan keselamatan.
Sama seperti Noval, Muhammad (30) juga tidak bisa dilarang bekerja pada hari naas itu. Menurut istri almarhum, Erlawati (28), suaminya tetap turun ke lokasi tambang meski sudah dilarang. ”Hari itu, ulun padahi (bilang) laki ulun kada usah haja begawi. Ulun khawatir karena malamnya hujan labat,” ujarnya dengan berlinang air mata.
Menurut Erlawati, suaminya baru dua bulan bekerja di pertambangan intan Pumpung, Kelurahan Sungai Tiung, Cempaka. Sebelumnya, Muhammad bekerja di luar daerah sebagai petambang emas. Dia pulang karena tidak mau berjauhan dari anak dan istri.
Selain Noval dan Muhammad, tiga pekerja lain juga tewas di lubang tambang intan, Senin (8/4) siang itu, yaitu Saltani (45), Aulia Rahman (25), dan Muhammad Rofi’i (21). Rofi’i meninggalkan Risna Royana (19), perempuan yang dinikahinya pada September 2018 dan kini tengah mengandung.
Sistem berubah
Menurut Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kecamatan Cempaka H Safrullah, penambangan dan pendulangan intan di Cempaka menjadi usaha masyarakat turun-temurun. Area pertambangan terluas dan terkenal berada di Pumpung. Tahun 1965 ditemukan intan Trisakti seberat 166,75 karat atau lebih kurang sebesar telur burung merpati.
”Dulu, penambangan dilakukan secara tradisional tanpa menggunakan mesin (dompeng). Memasuki tahun 2000, sistem penambangan berubah, masyarakat mulai pakai dompeng. Sejak itu, korban jiwa berjatuhan,” katanya.
Tak kurang dari 50 orang tewas di lubang tambang akibat tertimbun longsoran tanah. Bahkan, lokasi tambang yang longsor baru-baru ini dinamakan lokasi ”simayat” oleh masyarakat karena banyaknya korban tewas di lokasi tersebut. ”Mungkin sudah 20 orang yang tewas tertimbun di situ,” kata Ahyani (35), yang 20 tahun bekerja di tambang intan.
Ketua RT 031/RW 010 Kelurahan Sungai Tiung, Riyoto (55), menuturkan, hampir semua warganya bekerja di pendulangan intan, termasuk yang masih remaja. Mereka terjun ke lubang tambang karena tidak mempunyai keterampilan, pendidikan rendah, dan desakan ekonomi.
”Mereka tahu risiko bekerja di pendulangan intan, namun diabaikan karena ada harapan besar dari hasil intan. Memang tidak tiap hari bisa dapat intan, tetapi begitu dapat, mereka jadi kaya,” kata Riyoto.
Menurut Ahyani, hasil kerja di penambangan intan tidak menentu. Jika dapat intan, hasilnya dibagi tiga, yaitu 20 persen untuk pemilik lahan, 40 persen untuk pemilik peralatan mesin, dan 40 persen untuk para pekerja yang biasanya berjumlah 9-11 orang. ”Hasilnya kada seberapa jua, tetapi cukup untuk makan,” ujarnya.
Alih usaha
Menurut Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalsel Gunawan Harjito, kawasan pertambangan intan di Cempaka tidak sesuai dengan tata ruang Kota Banjarbaru yang peruntukannya adalah pariwisata. Karena itu, Dinas ESDM Kalsel tidak bisa memberikan izin atau legalitas untuk penambangan intan di sana.
Wali Kota Banjarbaru Nadjmi Adhani mengatakan dalam posisi dilematis setelah kejadian longsor yang menewaskan lima pekerja tambang intan tersebut. Kejadian semacam itu terus berulang. Namun, pemerintah kota tidak bisa langsung menghentikan aktivitas penambangan intan di sana agar korban tidak jatuh lagi karena belum bisa memberikan solusi.
”Kami tetap berupaya untuk menata usaha masyarakat di sana secara pelan-pelan. Mulai tahun ini, kami akan mengalihusahakan mereka dari tambang intan ke peternakan itik petelur. Setiap keluarga akan diberi bantuan 50 bibit itik petelur, pakan, obat-obatan, dan biaya pembuatan kandang. Kalau program ini berhasil, tahun depan akan ditingkatkan,” ujarnya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel Kisworo Dwi Cahyono mendesak Pemprov Kalsel dan Pemkot Banjarbaru bersinergi membentuk tim khusus untuk mengkaji secara komprehensif pertambangan intan di Cempaka. ”Pertambangan di sana harus segera ditata untuk memastikan keselamatan rakyat dan lingkungan,” katanya.
Semua tentu sepakat, tak ada intan seharga nyawa. Siklus pertambangan intan yang memakan korban jiwa harus dipotong. Jangan sampai ada yang jatuh dan binasa lagi karena rayuan maut galuh Cempaka.