Sebagian Masyarakat Masih Permisif Pada Politik Uang
Sebagian masyarakat masih permisif menghadapi tawaran politik uang. Perlu kesadaran dari setiap individu untuk menolaknya agar praktik tersebut bisa dihilangkan.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS—Sebagian masyarakat masih permisif menghadapi tawaran politik uang. Perlu kesadaran dari setiap individu untuk menolaknya agar praktik tersebut bisa dihilangkan.
Hal tersebut terungkap dalam pemaparan hasil analisis big data oleh Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (DPP Fisipol UGM) mengenai politik uang di DI Yogyakarta, Senin (15/4/2019).
Data yang dianalisis itu diambil dari perbincangan melalui media sosial Twitter pada 2-12 April 2019. Dalam kurun waktu itu ditemukan 7.467 cuitan yang membicarakan tentang politik uang. Perbincangan tersebut terkonsentrasi di Pulau Jawa. Jawa Barat menjadi yang tertinggi dengan 433 cuitan, DKI Jakarta (358 cuitan), dan Jawa Timur (222 cuitan).
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fisipol UGM Wawan Mas’udi menyampaikan, temuan itu menunjukkan topik politik uang menjadi sorotan masyarakat jelang pemungutan suara. Hal itu dinilainya positif mengingat cuitan yang muncul menunjukkan ketidaksetujuan masyarakat atas praktik politik uang.
“Masyarakat kita cukup peduli. Ada pandangan, jangan sampai pemilu kali ini dipenuhi kegiatan seperti ini,” kata Wawan.
Selain melakukan analisa big data, tim peneliti juga mencoba mencari temuan langsung melalui survei tentang politik uang di DI Yogyakarta. Survei tersebut berlangsung dari 8-13 Maret 2019 dengan 800 responden.
Hasil dari survei itu linier dengan analisis melalui big data. Mayoritas masyarakat melihat politik uang sebagai hal yang tidak boleh dilakukan. Sebesar 79,38 responden tidak setuju dengan pemberian uang maupun barang kepada pemilih dalam ajang pemilihan legislatif. Hanya 17,38 persen responden yang memperbolehkan hal itu. Sedangkan 3,25 persen lainnya menjawab tidak tahu.
Akan tetapi, jawaban responden berbeda jika mereka dihadapkan sebagai pihak penerima bantuan uang atau barang. Sebesar 34,5 persen responden bersedia menerima bantuan tersebut. Persentase itu menunjukkan masyarakat masih cukup permisif terhadap politik uang.
Dosen DPP Fisipol UGM Mada Sukmajati mengungkapkan, masyarakat sudah paham pada tataran kognitif bahwa politik uang itu dilarang. Namun, tekanan untuk terlibat dalam praktik tersebut sangat besar.
“Kondisi tersebut membuat masyarakat agak berkompromi dengan politik uang,” jelasnya.
Kelompok usia tidak menunjukkan kerentanan terhadap politik uang. Tua muda sama-sama rentan terhadap politik uang. Kerentanan itu dilihat dari tingkat pendidikannya. Sebesar 46,15 persen responden yang menerima politik uang itu tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD.
Mada menyatakan, masyarakat jangan terus menerus dituding sebagai pihak yang bersalah karena menerima uang untuk menentukan pilihan politiknya. Sorotan juga perlu ditujukan kepada politisi yang menerapkan hal tersebut.
Menurut Mada, riset mengenai pembiayaan kandidat pada Pilkada Kota dan Kabupaten Madiun, sepanjang April-September 2018, ditemukan bahwa biaya paling banyak dikeluarkan para kandidat untuk membeli suara. Persentasenya mencapai 30,45 persen. Ia menilai, praktek serupa rentan bakal terjadi lagi.
“Peran partai politik menawarkan politik programatik itu penting. Itu untuk melawan politik uang. Terkesan klise, tapi hanya itu yang bisa dilakukan. Ketika kandidat gagal membangun politik berbasis program, strategi yang diambil adalah vote buying,” kata Mada.
Mada menambahkan, demi menghilangkan politik uang perlu kesadaran dari masyarakat. Moral masyarakat dapat dikuatkan dengan memasukkan antipolitik uang ke pendidikan formal. Langkah tersebut tidak hanya mencegah terjadinya politik uang, tetapi juga merebaknya korupsi.
Secara terpisah, Ketua Bawaslu DIY Bagus Sarwono mengungkapkan, berbagai upaya untuk mengantisipasi politik uang telah dilakukan. Mulai dari pembentukan desa dan kelurahan antipolitik uang hingga patrol pencegahan. Namun, itu saja tidak cukup. Perlu partisipasi yang lebih tinggi dari masyarakat untuk mencegah terjadinya praktik tersebut.
“Masyarakat harus ikut aktif melakukan pencegahan dan membantu penindakan. Misalnya, jika mereka menerima (uang), mereka bisa melaporkannya ke Bawaslu untuk selanjutnya menjadi saksi. Sekarang, masih sedikit masyarakat yang berani untuk melakukan itu,” kata Bagus.