Dikisahkan, pada 1898, seorang turis berkebangsaan Perancis, Jules Leclerc, begitu terpesona menyaksikan kawasan Koningsplein. Ia melukiskan sebuah pusat kota baru nan asri dengan pepohonan rindang dan taman-taman luas.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·4 menit baca
Dikisahkan, pada 1898, seorang turis berkebangsaan Perancis, Jules Leclerc, begitu terpesona menyaksikan kawasan Koningsplein. Ia melukiskan sebuah pusat kota baru nan asri dengan pepohonan rindang dan taman-taman luas.
Koningsplein itu sekarang menjadi Medan Merdeka di Jakarta Pusat. Leclerc melukiskan sebuah ketenangan ibarat surga, suasananya tenteram dan jauh dari kebisingan. Bangunan-bangunan anggun bersembunyi di balik pepohonan besar.
Tulisan Leclerc itu dikisahkan kembali Adolf Heukeun dalam bukunya, Medan Merdeka-Jantung Ibukota RI.
Foto-foto dan lukisan Koningsplein dari era itu pun memperlihatkan suasana tersebut. Latar pegunungan Jawa Barat terlihat di latar belakang bagian selatan, menyembul dari balik bangunan yang sekarang menjadi Balai Kota DKI Jakarta.
Terbayang betapa nyaman berjalan kaki di sana kala itu.
Sekarang, suasana telah begitu berbeda. Di luar taman Monumen Nasional (Monas), kebun-kebun dan taman luas susut. Latar pegunungan berganti menara-menara beton mencakar langit Jakarta yang kadang berselimut kabut asap polusi. Tidak ada lagi latar pegunungan Jawa Barat.
Lalu lintas begitu padat, terutama di Jalan Medan Merdeka Timur.
Menyusuri kawasan Medan Merdeka, Senin (15/4/2019), tebersit rasa tak nyaman oleh pengamanan yang terkesan garang di beberapa gedung di sana.
Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat di ujung Jalan Medan Merdeka Selatan, dijaga ketat hingga trotoarnya.
Trotoar di depan gedung didominasi warga putih itu juga sempat dibarikade dengan kawat berduri sehingga pejalan kaki harus turun ke jalan saat melewatinya. Demikian juga beberapa gedung militer yang ada di sana, dilengkapi penjaga yang membuat orang awam mau tak mau sedikit tegang.
Seperti Trafalgar Square di London, Inggris; dan Tiananmen di Tiongkok; kawasan Medan Merdeka merupakan pusat tempat warga menumpahkan gugatan politiknya. Sepanjang sejarah, kawasan ini menyaksikan pergantian kekuasaan di negeri ini.
Di sanalah rakyat Indonesia berbagi rasa merdeka untuk menyuarakan pendapatnya. Dari orasi monumental presiden pertama RI Soekarno pada 19 September 1945 hingga sekarang di tahun 2019, unjuk rasa dan gugatan politik tak henti ditumpahkan di sana.
Panggung politik
Saat ini, kawasan Medan Merdeka dinilai lebih menonjol sebagai panggung politik daripada ruang terbuka hijau.
Tak hanya tempat unjuk rasa, tata kawasan juga berganti setiap pergantian gubernur DKI Jakarta. Setiap pemimpin baru Jakarta terkesan ingin mengukuhkan kepemimpinannya dengan mengubah penataan Monas.
Perubahan drastis terjadi karena setiap gubernur punya gaya sendiri.
Padahal, Medan Merdeka mempunyai fungsi publik lebih penting, yaitu ruang terbuka di mana warga berbagi rasa merdeka dari sumpeknya Ibu Kota. Dengan luas sekitar 1 kilometer persegi, Medan Merdeka merupakan ruang terbuka yang langka di Jakarta.
Pengamat lanskap kota dan penggerak Peta Hijau Nirwono Joga mengatakan, kawasan Monas merupakan ruang terbuka hijau yang mempunyai status benda cagar budaya skala nasional. Selain mengutamakan aspek historisnya, penataan Monas seharusnya tidak lagi mengurangi pohon yang tersisa, tetapi justru menambahkan pepohonan.
Namun, sejauh ini, ia menilai penataan Monas sebagai ruang terbuka hijau masih jauh dari ideal.
Ia juga mengkritik penataan yang terus berganti setiap pergantian pemimpin Jakarta. Selain pemborosan anggaran, penataan yang terus berubah bisa membuat Monas melenceng dari konsep awalnya.
”Seharusnya, penataan Monas kembali pada master plan yang sudah ada. Memang kenapa, sih, kalau Monas tidak diubah dalam lima tahun, justru anggarannya bisa untuk pembangunan yang lebih berguna,” kata Nirwono.
Salah satu perubahan terbaru dalam pengelolaan Monas ada dalam Pasal 10 Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 186 Tahun 2017 yang menjelaskan kawasan Monas antara lain dapat digunakan untuk acara yang bertujuan untuk kepentingan negara, pendidikan, sosial, budaya, dan agama.
Hal ini berbeda dengan aturan dari pemerintahan sebelumnya, yaitu Pasal 10 huruf b Pergub DKI Jakarta Nomor 160 Tahun 2017 yang menyatakan, peruntukan Monas hanya untuk kepentingan negara.
Revitalisasi
Saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun masih dalam revitalisasi terhadap Museum Perjuangan Nasional dan kawasan tapak Medan Merdeka, melingkupi kawasan dari Jalan Kebon Sirih hingga Jalan Abdul Muis.
Rencana lainnya adalah memindahkan rusa-rusa Monas yang jumlahnya sekitar 150 ekor itu ke Taman Margasatwa Ragunan.
Kepala Unit Pengelola Teknis Monas Munjirin mengatakan, revitalisasi tidak akan mengubah sisi sejarahnya, justru menonjolkannya. Revitalisasi ini berkonsep modernisasi museum berbasis teknologi digital dan hologram. Untuk tapak, revitalisasi terutama untuk integrasi moda transportasi umum massal.
Selain itu, juga direncanakan penambahan fasilitas-fasilitas baru. Tujuannya agar Monas juga dapat mengakomodasi masyarakat kelas menengah ke atas sehingga Monas dapat dinikmati semua kalangan. Selama ini, kata Munjirin, Monas identik untuk kalangan menengah ke bawah.
Besar harapan revitalisasi tak lupa pada pepohonan Medan Merdeka yang memerdekakan dari kesumpekan kota. Sebab, Jakarta sudah begitu jenuh dengan gedung dan bangunan.