Hoaks bak wabah yang menggerogoti seluruh lapisan masyarakat. Sebaran hoaks bisa mengancam kualitas demokrasi serta menimbulkan perpecahan yang semakin terasa di masa pemilu.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY
·3 menit baca
Hoaks bak wabah yang menggerogoti seluruh lapisan masyarakat. Hoaks mengancam kualitas demokrasi serta menimbulkan perpecahan yang semakin terasa pada masa pemilu. Menyikapi hal itu, kelompok masyarakat sipil berinisiatif dan menyerukan imunisasi terhadap wabah hoaks.
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengidentifikasi 1.224 hoaks mulai Agustus 2018 sampai Maret 2019. Hoaks mengalami peningkatan yang signifikan dalam tiga bulan terakhir. Tertcatat ada 175 hoaks pada Januari, 353 hoaks pada bulan Februari, dan 453 hoaks sepanjang Maret.
Di era keterbukaan informasi, masyarakat dituntut proaktif dan berhati-hati dalam menerima ataupun menyebarkan informasi. Tidak semua konten yang beredar di ranah maya, pesan instan ataupun platform daring, memuat suatu kebenaran. Bahkan, ada jenis konten yang memang sengaja diproduksi sebagai senjata untuk mendiskreditkan pribadi ataupun lembaga publik tertentu.
Konten-konten ini disebut distorsi informasi. Distorsi informasi terdiri dari misinformasi, disinformasi, dan malainformasi.
Misinformasi merupakan informasi keliru yang secara tidak sengaja disebarluaskan, sedangkan disinformasi adalah informasi keliru yang dengan sengaja disebarluaskan. Hal itu salah satunya hoaks.
Adapun malainformasi merupakan informasi yang menyerang dengan tujuan membunuh karakter dari pihak lain. Contohnya ujaran kebencian, pembocoran data pribadi, perundungan siber, dan pemelintiran dengan kemarahan yang dibuat-buat.
Dedy Permadi, Ketua Umum Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi dalam kegiatan Serukan Pemilu Damai dan Imunisasi dari Wabah Hoaks di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Jakarta, Senin (15/4/2019), mengatakan, hoaks sangat mengancam kualitas demokrasi. Selain itu, beredarnya berita bohong, perundungan siber, ujaran kebencian, kemarahan yang dibuat-buat, serta pembocoran data pribadi mengacaukan akal sehat.
”Saat ini, banyak pengguna internet tidak menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam pengaruh distorsi informasi. Sebaliknya, mereka justru merasa paling benar dan menolak konten selain yang diyakininya adalah benar. Penolakan itu terjadi meskipun berdasarkan fakta,” tutur Dedy.
Keadaan di atas semakin berbahaya karena dikombinasikan dengan algoritme
media sosial yang menciptakan fenomena ”ruang gema”. Fenomena ini menghasilkan kebohongan yang terulang dan lama-kelamaan bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Menurut anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, distorsi informasi tidak saja mengubah mental dan pikiran, tetapi juga perilaku. Distorsi menjadi ajang menghasilkan ketidakpercayaan pada proses yang dibangun termasuk sistem pemilu.
Problematika ini dilawan oleh Kolaborasi Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi bersama Persatuan Artis Film (PARFI) ’56 dan Bawaslu. ”Proses yang penting adalah memenuhi ranah maya, sosial media, dan percakapan dengan hal-hal baik atau positif,” kata Fritz.
Imunisasi
Kolaborasi ini coba menggunakan pendekatan kekinian untuk melawan distorsi informasi. Caranya, dengan menyerukan masyarakat untuk imunisasi terhadap wabah hoaks. Imunisasi terhadap wabah hoaks dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu ”baper”, cek fakta, dan literasi digital.
Mengapa harus ”baper” saat menerima informasi baik di media sosial maupun aplikasi perpesanan instan? Alih-alih memelihara sikap mudah tersinggung, pengguna internet perlu baca, pelajari, dan respons (baper) setiap informasi. Jangan mudah memercayai dan meneruskan informasi yang sumber dan kebenarannya diragukan. Setiap informasi harus dibaca dengan teliti, dipelajari kebenarannya, dan direspons atau tidak direspons dengan mempertimbangkan etika.
Apabila ada keraguan ketika memperoleh informasi, pengguna diimbau melakukan cek fakta. Kini telah berseliweran berbagai laman untuk cek fakta, seperti stophoax.id, cekfakta.com, dan turnbackhoax.id.
Selain itu, ada juga chatbot verifikasi informasi melalui akun Telegram resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika @chatbotantihoaks dan nomor Whatsapp resmi ”Kalimasada” dari MAFINDO +6285574676701. Sumber terpercaya lain yang menjadi rujukan yaitu media massa cetak ataupun daring yang telah diverifikasi oleh Dewan Pers.
Tidak lupa pula untuk meningkatkan literasi digital bagi seluruh masyarakat sebagai solusi penanganan konten negatif. Materi-materi edukasi ini dapat diunduh secara gratis di literasidigital.id. Sementara informasi mengenai program-program literasi digital bisa diakses melalui siberkreasi.id. ”Sebagai perwujudan pemilu yang bermartabat, hoaks harus terus dilawan dan diberantas,” ujar Fritz.