JAKARTA, KOMPAS—Mayoritas bangsa Indonesia masih mengutamakan persatuan dan kemajemukan, terlepas dari pilihan politik tiap individu. Narasi itu harus kerap digaungkan untuk menjaga mental dan suasana hati masyarakat agar tak memicu konflik di pasca pemilihan presiden tahun 2019.
Hal tersebut merupakan kesimpulan dari diskusi "Strategi Kebudayaan dan Rajutan Sosial Pasca Pemilu" di Jakarta, Senin (15/4/2019). Diskusi tersebut dipimpin oleh Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban Syafiq A Mughni. Hadir sebagai narasumber adalah cendekiawan Romo Franz Magnis-Suseno dan peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Adriana Elizabeth.
"Salah satu kekuatan di masyarakat Indonesia adalah tidak ada kecurigaan yang mendalam antarkelompok yang berbeda seperti yang dialami masyarakat Mindanao di Filipina. Masyarakat Indonesia sejatinya terbiasa dengan perbedaan. Bahkan, di dalam satu agama pun ada berbagai aliran penafsiran," kata Syafiq.
Meskipun begitu, diskusi menyepakati maayarajat tidak boleh terlena dengan modal bangsa ini. Sejatinya modal tenggang rasa, gotong royong, dan pengetahuan atas Bhinneka Tunggal Ika harus terus diolah dan disosialisasikan hingga ke akar rumput.
Adriana menjelaskan, butuh diskusi mengenai definisi keindonesiaan yang sesuai dengan situasi sekarang dan masa depan. Secara normatif, dalam definisi itu Indonesia mencakup aspek aman, nyaman, dan modern.
Akan tetapi, pengertian yang membuminya harus terus ditinjau ulang dan melibatkan generasi muda. Hal ini agar jangan sampai masyarakat terlalu fokus menonjolkan perbedaan sehingga lupa membahas titik temu berbagai kesamaan di dalam keragaman itu.
"Hendaknya narasi yang diutamakan ialah pemahaman bahwa semua orang tidak mau dihina dan disakiti. Oleh karena itu, narasi yang bersifat eksklusif terhadap suatu kelompok tertentu tidak memberi kebaikan kepada bangsa," tuturnya.
Hendaknya narasi yang diutamakan ialah pemahaman bahwa semua orang tidak mau dihina dan disakiti. Oleh karena itu, narasi yang bersifat eksklusif terhadap suatu kelompok tertentu tidak memberi kebaikan kepada bangsa.
Ia mengingatkan, suasana pemilu sekarang mengakibatkan pemilih terbagi menjadi dua kubu yang ekstrem. Kefanatikan terhadap calon presiden dan partai politik tertentu mengaburkan pandangan mereka tentang persatuan.
Apabila gejala ini tidak segera diintervensi, berbagai aksi toleransi akan terjadi. Apalagi, sekarang masyarakat semakin mengotak-kotakkan diri mulai dari pemilihan tempat tinggal, sekolah, dan tempat bergaul nyaris menutup diri dari kemajemukan yang jelas nyata di tubuh bangsa.
"Keragaman adalah sesuatu yang alami, tetapi hidup dalam keragaman membutuhkan keahlian yang harus dibiasakan terus-menerus," ujarnya.
Pendidikan mengenai nilai-nilai kepancasilaan merupakan keniscayaan.
Permasalahannya adalah pemahaman nilai-nilai itu masih sepenggal-sepenggal dan mayoritas lembaga pendidikan masih mengajarkannya sebagai sebuah teori dan hafalan. Bukan memberi contoh kongkret mengenai cara penerapannya dalam keseharian.
Membangun keakraban
Romo Magnis menuturkan, sejarah cara bangsa Indonesia menghadapi konflik perlu untuk diulas agar masyarakat memahami bahwa ada kekayaan dan kekuatan moral untuk tidak membiarkan konflik berlangsung lama. Di dalamnya ada pengertian bahwa bangsa Indonesia adalah milik semua orang tanpa membedakan masyarakat mayoritas dengan minoritas.
"Kita memiliki banyak contoh negarawan yang hebat seperti Presiden BJ Habibie yang mantan Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dilanjutkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid yang pluralis, dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat terpilih pertama Amien Rais. Mereka yang memimpin kesatuan bangsa di dalam menyelesaikan konflik di Maluku agar tidak meluap," ucapnya.
Ia berpendapat, Mesir setelah mengalami reformasi malah mengembalikan kediktatoran dan konflik. Namun, Indonesia justru kebalikannya. Demokrasi berjalan dan setiap orang menggunakan hak pilih. Masyarakat selalu bisa membawa diri dengan baik di tengah perbedaan pendapat. "Organisasi-organisasi keagamaan justru akrab satu sama lain," katanya. Melalui jalur ini berbagai dialog persatuan terus bisa terlaksana.