Industri Batu Bata di Bantul Ancam Lahan Pertanian
Keberadaan industri pembuatan batu bata di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dinilai berpotensi mengancam kelestarian lahan pertanian di wilayah tersebut.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
BANTUL, KOMPAS — Keberadaan industri pembuatan batu bata di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dinilai berpotensi mengancam kelestarian lahan pertanian di wilayah itu. Hal ini karena sebagian lahan industri batu bata itu masuk dalam kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang seharusnya tidak dialihfungsikan sembarangan.
”Mereka (industri batu bata), kan, rata-rata menggunakan lahan sawah. Kalau menggunakan lahan sawah, artinya terjadi pengurangan lahan subur atau paling tidak terjadi degradasi kualitas sawah,” kata dosen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Arifudin Idrus, di Yogyakarta, Selasa (16/4/2019).
Industri pembuatan batu bata di Bantul merupakan industri skala kecil yang telah ada secara turun-temurun sejak dulu. Pembuatan batu bata biasanya dilakukan secara manual oleh sejumlah warga setempat. Pada masa lalu, tanah untuk bahan baku pembuatan batu bata itu diambil dari lahan-lahan di sekitar lokasi industri batu bata.
Berdasarkan penelitian Yunus Aris Wibowo dan Tlau Sakti Santosa yang dimuat Jurnal Riset Daerah terbitan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bantul, pada tahun 2017 terdapat 940 unit industri batu bata di Bantul. Lokasi industri pembuatan batu bata itu tersebar di tujuh kecamatan, yakni Banguntapan, Pleret, Piyungan, Sewon, Bantul, Jetis, dan Kasihan.
Dari tujuh kecamatan itu, Piyungan memiliki jumlah industri batu bata terbanyak, yakni 459 unit, disusul Banguntapan sebanyak 204 unit, Sewon 159 unit, Pleret 78 unit, Kasihan 23 unit, Bantul 15 unit, dan Jetis 2 unit.
Arifudin memaparkan, penggalian tanah untuk pembuatan batu bata telah menyebabkan adanya lahan-lahan tak produktif di sejumlah wilayah Bantul. Lahan-lahan itu dulunya diduga merupakan lahan pertanian, tetapi kemudian tanahnya digali dan diambil untuk pembuatan batu bata.
Setelah tanah diambil, lahan-lahan itu menjadi tak produktif sehingga tak bisa lagi difungsikan menjadi lahan pertanian. ”Warga setempat menyebut lahan-lahan itu sebagai lahan mati. Lahan mati itu tidak bisa dipakai untuk apa-apa lagi karena ada bekas galian dan digenangi air,” ujar Arifudin.
Menurut Arifudin, penggalian tanah untuk bahan baku batu bata di Bantul telah menghilangkan lapisan tanah paling atas yang disebut top soil atau tanah pucuk. Padahal, tanah pucuk merupakan lapisan tanah yang paling subur sehingga pengambilan lapisan tersebut akan menurunkan tingkat kesuburan lahan.
Alih fungsi
Selain masalah pengambilan tanah, lokasi sebagian industri batu bata di Bantul juga menimbulkan persoalan lain karena menempati kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).
Berdasarkan penelitian Yunus Aris Wibowo dan Tlau Sakti Santosa, luas lahan yang digunakan untuk industri pembuatan batu bata di Bantul mencapai 32,553 hektar. Yunus dan Tlau juga menyatakan, terdapat lahan industri batu bata seluas 11,698 hektar yang masuk ke dalam kawasan LP2B di Bantul.
Padahal, sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, alih fungsi LP2B tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Pasal 23 perda itu menyatakan, alih fungsi LP2B hanya bisa dilakukan karena adanya pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan bencana alam. Setelah alih fungsi dilakukan, pemerintah daerah juga wajib melakukan penggantian dengan luas lahan yang sama.
Perda DIY Nomor 10 Tahun 2011 memang membuka kemungkinan alih fungsi LP2B untuk tujuan lain, yakni pembangunan rumah bagi petani pemilik lahan. Namun, alih fungsi semacam itu hanya bisa dilakukan jika LP2B milik petani tersebut merupakan lahan satu-satunya yang ia miliki. Selain itu, luas lahan yang bisa dialihfungsikan untuk tujuan ini juga dibatasi, yakni maksimal 300 meter persegi.
Secara terpisah, Kepala Dinas Pertanian DIY Sasongko mengaku belum mengetahui adanya LP2B di Bantul yang digunakan untuk industri batu bata. ”Kami belum tahu datanya. Nanti akan kami cek seberapa luas,” ujarnya.
Daerah lain
Sementara itu, sejumlah pekerja industri pembuatan batu bata di Bantul mengatakan, saat ini, tanah untuk bahan baku pembuatan batu bata didatangkan dari wilayah lain, seperti Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Namun, mereka mengakui, pada masa lalu, memang ada penggalian tanah di sejumlah lahan pertanian di Bantul untuk bahan baku pembuatan batu bata.
Wakirman (50), warga pembuat batu bata di Desa Potorono, Kecamatan Banguntapan, mengatakan, beberapa tahun lalu, tanah untuk membuat batu bata diambil dari lahan-lahan di Potorono dan sekitarnya. Namun, saat ini, tanah untuk bahan baku dibeli dari Klaten dengan harga Rp 550.000 per truk.
”Dulu tanah di sini itu sawah, lalu digali untuk buat batu bata. Tapi, sekarang tanah sini sudah enggak bagus untuk buat batu bata, makanya beli dari daerah lain,” kata Wakirman sambil menunjuk lahan yang dia sewa untuk pembuatan batu bata.
Suhadi (64), pekerja pembuatan batu bata di Desa Jambidan, Kecamatan Banguntapan, menuturkan, saat ini, tanah untuk bahan baku batu bata dibeli dari Klaten atau dari wilayah Kecamatan Pleret, Bantul. Namun, dia mengakui, pada masa lalu, banyak lahan di Jambidan yang tanahnya diambil untuk membuat batu bata.