Keberadaan pengawas di setiap TPS baru ada di Pemilu 2019. Kepada mereka, dibebankan lima tugas pengawasan. Diharapkan kehadiran mereka bisa mengawal proses pemungutan suara hingga penghitungan suara tuntas di TPS, berjalan jujur dan adil.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Beberapa bulan menjelang Pemilu 2019, Rita Dewi (42) mendengar selentingan isu yang menyebutkan penyelenggara pemilu tidak netral. Rita penasaran. Rasa penasaran ini kemudian mengantarkannya menjadi salah satu petugas pengawas tempat pemungutan suara.
Tahun 2019 dibuka dengan kabar bohong tentang tujuh kontainer surat suara yang telah dicoblos di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Surat suara itu konon kabarnya datang dari China. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memeriksa langsung ke lapangan. Hasilnya nihil. Tak ada surat suara tersebut.
Kabar itu pun telah dikonfirmasi sebagai hoaks. Akan tetapi desas-desus yang sampai ke telinga Rita tetap menuding KPU maupun Bawaslu tidak netral.
“Saya penasaran. Bisa nggak pengawas itu netral, kan mereka juga ikut memilih,” kata Rita saat ditemui di Perumahan Vila Dago, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/4/2019).
Setelah berkonsultasi dengan suami, Rita lantas mencoba mengikuti seleksi pengawas TPS untuk Kecamatan Pamulang. Dia berhasil. Oleh Badan Pengawas Pemilu Tangsel, dia kemudian ditugaskan menjadi pengawas TPS 109 di RW 020 RT 002 Vila Dago, Kelurahan Benda Baru, Pamulang, Tangsel, Banten.
“Dugaan tentang penyelenggara pemilu tidak netral terbantahkan ketika saya ikut tes pengawas. Bahkan pilihan politik saya saja tidak pernah ditanyakan. Saya yakin yang lain juga begitu,” tambahnya.
Keyakinan bahwa penyelenggara pemilu sudah bekerja netral tak pelak turut memompa semangatnya sebagai pengawas TPS. Rita pun berupaya optimal dalam menjalankan tugasnya.
Selasa (16/4/2019) siang misalnya, di tengah terik matahari, dia "gerilya" di daerah yang menjadi lokasi tugasnya, di sekitar TPS 109, di Vila Dago.
Ibu dua anak ini mengenakan topi loreng, celana merah, dan menutupi mukanya dengan buff. Melihat area sekitar TPS 109 masih marak dengan alat peraga kampanye peserta Pemilu 2019, dia mencopotinya satu persatu. Ini tak lain karena di masa tenang, sejak Minggu (14/4/2019) hingga tiba waktu pemungutan suara, Rabu (17/4/2019), tak boleh lagi ada APK.
“Banyak banget (yang harus dibersihkan), (peserta Pemilu 2019) pasang spanduknya nggak kira-kira," katanya.
Selain itu, dia juga telah memetakan potensi kecurangan menjelang waktu pemungutan suara, Rabu (17/4/2019).
Salah satunya, potensi "serangan fajar" atau upaya menggoyahkan pilihan pemilih dengan memberikan uang atau materi lain. Dari suaminya yang berprofesi sebagai polisi, dia mendengar potensi tersebut. Untuk itu, dia berencana patroli sejak subuh, Rabu.
"Hahahaha." Tawa Rita pecah mendengar pertanyaan itu. Pasalnya honor yang diperoleh dinilainya tidak sebanding dengan beban kerjanya. Honor itu besarnya hanya sekitar Rp 550.000.
Namun dia tak terlalu hirau dengan besaran honor itu. Sebab, bukan itu yang jadi tujuan utamanya bekerja sebagai pengawas TPS.
Rita ingin berkontribusi dalam pesta demokrasi ini. “Ini pengalaman baru yang belum tentu semua orang bisa dapat,” katanya.
Baru di Pemilu 2019
Sesuai Pasal 114 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pengawas TPS memiliki lima tugas. Kelimanya, mengawasi persiapan pemungutan suara, pelaksanaan pemungutan suara, persiapan penghitungan suara, pelaksanaan penghitungan suara, dan pergerakan hasil penghitungan suara dari tempat pemungutan suara (TPS) ke panitia pemungutan suara (PPS).
Dengan beban tugas ini, setiap pengawas TPS bisa bekerja 24 jam. Ini khususnya saat hari pemungutan suara. Pasalnya dari sejumlah simulasi pemungutan suara yang digelar oleh KPU, pemungutan suara hingga tuntas penghitungan suara memakan waktu dari pukul 07.00 hingga tengah malam.
Sesuai namanya, pengawas ini ada di setiap TPS yang totalnya berjumlah sekitar 800.000 TPS. Satu TPS akan dijaga oleh satu pengawas TPS.
Keberadaan pengawas di setiap TPS ini baru ada di Pemilu 2019. Saat UU Pemilu disusun, pembentuk undang-undang, pemerintah dan DPR, melihat keberadaannya penting guna mengawasi proses pemilu di TPS.
Sebab berkaca pada pemilu sebelumnya ataupun saat gelaran pemilihan kepala daerah, kecurangan kerap terjadi saat menjelang pemungutan suara hingga penghitungan suara di TPS. Kecurangan seperti "serangan fajar" dan rekayasa atau manipulasi hasil penghitungan suara. Sementara pengawas TPS terbatas jumlahnya. Sebelumnya, satu pengawas bisa mengawasi lebih dari dua TPS, dan di antara TPS itu berjauhan lokasinya.
Lahirnya pengawas TPS di bawah komando Badan Pengawas Pemilu itu, sebenarnya juga untuk mengurangi beban peserta pemilu membiayai saksi di TPS. Pasalnya, dengan sudah ada pengawas TPS, peserta pemilu tak perlu lagi menghadirkan lagi saksi di TPS.
Namun apa daya, peserta Pemilu 2019 tampaknya masih belum percaya dengan pengawas TPS, sehingga mereka masih harus menghadirkan saksi di setiap TPS di pemilu kali ini. Walaupun untuk itu, peserta pemilu harus mengeluarkan uang hingga ratusan miliar rupiah.