Mahalnya Biaya Partisipasi Politik
Dalam tiga pemilu terakhir, terjadi penurunan angka partisipasi pemilih dalam setiap gelaran pemilihan presiden. Keadaan ini tanpa disadari dapat memberikan efek kerugian bagi negara hingga triliunan rupiah.
Turunnya angka partisipasi pemilih juga berarti adanya peningkatan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Makna tidak menggunakan hak pilih yang dimaksudkan merupakan tindakan seorang warga negara yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam gelaran pemilihan umum (Saksono, 2013). Pada perkembangannya, calon pemilih yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena alasan teknis juga masuk di sini.
Meski bukan baru kali ini, fenomena masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih juga terjadi sejak pemilihan presiden (pilpres) secara langsung diadakan pertama kali pada 2004. Saat itu, angka pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pilpres putaran pertama mencapai 21,77 persen. Angka ini meningkat menjadi 23,37 persen pada pilpres putaran kedua.
Jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih kembali meningkat menjadi 28,3 persen pada Pilpres 2009. Puncaknya adalah pada Pilpres 2014. Saat itu, sebanyak 30,42 persen dari total pemilih tidak menggunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara (TPS).
Selama kurun waktu satu dekade, jumlah pemilih yang tidak memakai hak pilihnya dalam pilpres mengalami kenaikan hingga 64 persen. Pada Pilpres 2004 putaran I, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 33,7 juta orang. Jumlah ini meningkat cukup tajam hingga mencapai 55,3 juta pemilih pada Pilpres 2014, angka golput tertinggi dalam sejarah pilpres di Indonesia.
Pertumbuhan angka pemilih yang tidak menggunakan haknya ini jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan daftar pemilih tetap (DPT). Sejak Pilpres 2004 hingga 2014, jumlah warga negara yang memiliki hak pilih bertambah sebesar 22,7 persen. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan angka golput yang mencapai 64 persen. Hal ini menggambarkan fenomena abstentisme yang cukup besar pada pemilih lama.
Semakin banyak pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, maka akan semakin besar kerugian negara.
Tanpa disadari, keadaan ini menimbulkan kerugian yang sangat besar dalam penyelenggaraan pemilu. Pasalnya, alat kelengkapan pemilu selalu disesuaikan dengan jumlah pemilih yang tercantum DPT. Semakin banyak pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, maka akan semakin besar kerugian negara.
Apabila diasumsikan jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya pada tahun ini sama dengan pada pemilu sebelumnya, terdapat angka kerugian yang sangat besar dari sisi anggaran yang telah dikeluarkan. Kerugian itu di antaranya berasal dari surat suara yang telah dicetak hingga biaya penyelenggaraan pemilu di setiap TPS.
Pertama, kerugian dapat dilihat dari komponen surat suara. Jika 55,3 juta pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya pada Pilpres 2014 kembali tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu tahun ini, terdapat potensi surat suara pilpres yang tak digunakan sebesar 55,3 juta lembar. Angka 55,3 juta pemilih ini digunakan sebagai asumsi karena tren pemilih yang tidak menggunakan haknya selalu meningkat sejak Pilpres 2004.
Hal ini sangat merugikan mengingat besarnya biaya yang dikeluarkan oleh penyelenggara pemilu untuk mencetak surat suara. Pada pemilu tahun ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelontorkan dana sekitar Rp 603,3 miliar untuk mencetak 939,8 juta surat suara.
Jika dirata-ratakan, KPU mengeluarkan biaya sekitar Rp 642 per surat suara. Biaya yang telah dikeluarkan ini terancam terbuang sia-sia jika pemilih tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu 17 April nanti.
Berdasarkan biaya pengadaan sekitar Rp 642 per surat suara, maka kerugian negara akan mencapai Rp 35,5 miliar jika jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 55,3 juta orang. Kerugian ini masih dapat bertambah karena belum termasuk honor pelipatan surat suara yang harus dibayarkan.
Besaran honor atau upah pelipatan surat suara beragam di setiap daerah. Di Jombang, Jawa Timur, misalnya, honor yang dibayarkan sebesar Rp 50 untuk pelipatan setiap surat suara pilpres. Sementara di Jakarta Barat, upah yang diberikan mencapai Rp 75 per surat suara.
Jika menggunakan upah minimal sebesar Rp 50 per surat suara, negara mengeluarkan anggaran sebesar Rp 2,7 miliar untuk melipat 55,3 juta surat suara pilpres. Artinya, dana sebesar Rp 2,7 miliar akan terbuang sia-sia jika 55,3 juta pemilih tidak menggunakan hak suaranya pada pemilu tahun ini.
Jika dijumlahkan, kerugian negara mencapai Rp 38,3 miliar dari pengadaan surat suara pilpres (Rp 35,5 miliar) hingga pelipatan surat suara (Rp 2,7 miliar). Hitungan ini belum termasuk biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan surat suara DPD, DPR, hingga DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Dengan sistem pemilu serentak, ketidakhadiran satu orang di TPS akan berdampak pada tidak digunakannya lima surat suara sekaligus. Artinya, total kerugian dapat meningkat hingga lima kali lipat dari komponen pengadaan dan pelipatan surat suara akibat pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Biaya TPS
Selain surat suara, komponen kerugian berikutnya dapat diukur dari jumlah TPS yang dibangun. Pada pemilu tahun ini, jumlah pemilih pada setiap TPS ditetapkan maksimal 300 orang. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan batas maksimal jumlah pemilih pada setiap TPS dalam Undang-Undang Pemilu, yaitu sebesar 500 orang.
Jika 55,3 juta pemilih golput dibagi secara proporsional sesuai batas maksimal pemilih pada setiap TPS, pemilih ini akan menyebar pada 184.512 TPS. Jumlah ini setara dengan 22,8 persen dari total TPS di Indonesia.
Memang, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya ini tersebar pada TPS di seluruh Indonesia. Namun, jika pemilih golput tidak diperhitungkan, anggaran bisa saja dihemat dengan tidak membangun 184.512 TPS. Sayangnya, tindakan ini tidak dapat dilakukan mengingat pemilu diselenggarakan untuk seluruh calon pemilih sehingga jumlah TPS tetap harus disesuaikan dengan data DPT.
KPU telah menetapkan biaya pembangunan sekitar Rp 1,6 juta per TPS. Dengan biaya ini, KPU menggelontorkan anggaran sebesar Rp 295,2 miliar untuk membangun 184.512 TPS.
Potensi kerugian berikutnya dapat dihitung dari honor petugas TPS. Menurut Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2018, setiap TPS harus memiliki satu ketua dan enam anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Jika digabungkan dengan komponen biaya lainnya, total kerugian negara akibat golput dapat mencapai Rp 1,1 triliun.
Ketua dan anggota KPPS diberikan honor dengan jumlah yang hampir sama. Berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor S-118/MK.02/2016, ketua KPPS diberikan honor sebesar Rp 550.000 dan anggota KPPS sebesar Rp 500.000 per orang. Dengan komponen biaya ini, setiap TPS membutuhkan dana sebesar Rp 3,5 juta untuk honor petugas KPPS.
Biaya itu belum termasuk honor untuk petugas keamanan sebesar Rp 400.000 per orang. Jika setiap TPS memiliki dua petugas keamanan, dibutuhkan tambahan biaya keamanan hingga Rp 800.000 per TPS. Dengan tambahan biaya ini, setiap TPS membutuhkan biaya hingga Rp 4,3 juta.
Dengan total honor sebesar Rp 4,3 juta per TPS, KPU harus mengeluarkan dana sebesar Rp 802,6 miliar untuk honor petugas di 184.512 TPS. Penghitungan ini menggunakan asumsi jika pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dikelompokkan secara proporsional pada setiap TPS.
Jika digabungkan dengan komponen biaya lainnya, total kerugian negara akibat pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dapat mencapai Rp 1,1 triliun. Kerugian itu terdiri dari pengadaan surat suara dan biaya penyelenggaraan di setiap TPS.
Perkiraan kerugian itu masih merupakan komponen minimum dan belum termasuk tambahan biaya lainnya, seperti biaya distribusi surat suara, alat kelengkapan TPS, dan pengadaan surat suara untuk pemilihan anggota legislatif. Artinya, kerugian negara akan bertambah besar jika pemilih tidak menggunakan hak pilih pada pemilu nanti.
Potensi kerawanan
Potensi golput memang masih terbuka pada penyelenggaraan pemilu kali ini. Berdasarkan indeks kerawanan pemilu yang dirilis Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Desember 2018, terdapat beberapa daerah yang masuk kategori kerawanan tinggi dalam bidang partisipasi pemilih. Beberapa di antaranya adalah Kabupaten Nias Utara di Sumatera Utara, Kabupaten Lombok Timur di Nusa Tenggara Barat, dan Kabupaten Teluk Bintuni di Papua Barat.
Secara total, terdapat sembilan daerah yang masuk kategori kerawanan tinggi dalam bidang partisipasi pemilih. Indeks kerawanan pemilu tertinggi untuk partisipasi pemilih terdapat di Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Bawaslu mencatat, indeks kerawanan pemilu pada daerah ini mencapai 86,84.
Jika melihat target partisipasi pemilih dari KPU sebesar 77,5 persen, terdapat perkiraan angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 22,5 persen atau sekitar 43,3 juta pemilih. Hanya saja, angka ini bisa saja mengalami kenaikan jika melihat tren meningkatnya angka golput sejak Pilpres 2004.
Tentu, golput memberikan dampak kerugian yang amat besar bagi negara. Jika Rp 1,1 triliun potensi kerugian negara akibat golput digunakan untuk hal lainnya, dana ini dapat digunakan untuk sesuatu hal yang lebih produktif. Misalnya, untuk mendanai pembangunan di desa.
Jika setiap desa diberikan dana sebesar Rp 1 miliar untuk pembangunan, dengan anggaran Rp 1,1 triliun terdapat 1.136 desa yang akan terbantu. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk kegiatan perekonomian perdesaan.
Selain itu, dana ini juga bisa digunakan untuk membeli 90.000 ton beras premium seharga Rp 12.500 per kilogram. Dengan rata-rata konsumsi beras per kapita sebesar 114,6 kg per tahun, beras ini bisa digunakan untuk memberi makan 793.000 masyarakat yang kurang mampu selama satu tahun penuh.
Tanpa disadari, pilihan tidak menggunakan hak pilih nyatanya dapat memberikan dampak kerugian yang begitu besar bagi negara. Padahal, dana pemilu salah satunya juga berasal dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. (Dedy Afrianto/Litbang Kompas)