Normalisasi Kanal Timur Terhambat PKL dan Hunian Liar
SEMARANG, KOMPAS — Normalisasi Kanal Timur Kota Semarang, Jawa Tengah, masih terhambat persoalan sosial, yakni relokasi kios pedagang kaki lima dan hunian liar yang puluhan tahun mengokupasi sempadan sungai. Jika tidak segera direlokasi, target normalisasi berpeluang molor.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana Ruhban Ruzziyatno mengatakan, hingga saat ini masih ada 328 lapak pedagang kaki lima dan 97 hunian liar yang mengokupasi sempadan sungai. Akibatnya, normalisasi terhambat.
”Normalisasi ini ditargetkan selesai akhir tahun ini. Sementara sekarang ini progres pembangunan fisiknya mencapai 60 persen. Kalau sempadan sungai belum dibereskan, ada kemungkinan nanti proses normalisasi akan mundur dari target,” ucap Ruhban dihubungi dari Semarang, Senin (15/4/2019).
Normalisasi Kanal Timur Kota Semarang mendesak dilakukan untuk mengatasi banjir yang kerap terjadi di Kota Semarang bagian timur. Banjir tersebut diakibatkan penurunan daya tampung sungai Kanal Timur akibat sedimentasi lumpur.
Ruhban menambahkan, untuk meningkatkan daya tampung sungai, pemerintah berencana mengeruk dan melebarkan sungai Kanal Timur. Selain itu, BBWS Pemali Juana juga akan menggali alur sungai, membuat pasangan batu, dan meninggikan dinding parapet.
Berdasarkan pantauan Senin siang, sejumlah lapak pedagang kaki lima dan hunian liar masih berdiri di sepanjang sempadan sungai Kanal Timur atau yang lebih dikenal sebagai kawasan Barito. Mereka menjual berbagai macam barang, seperti produk dari pelat besi, drum, gerobak, tempat sampah dari plastik, dan onderdil kendaraan. Pemilik bangunan nekat membiarkan kios mereka tetap berdiri meski beberapa bangunan di kanan dan kirinya telah rata dengan tanah.
Para pemilik bangunan yang telah dirobohkan itu sudah direlokasi pada awal 2018 dan awal Maret. Mereka direlokasi ke dua lokasi berbeda, yakni Penggaron Kidul, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang, dan dekat Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT).
Saat ditemui di lapaknya, Ketua Paguyuban Pedagang Kaki Lima Bina Warga Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, Sulaiman (60) mengatakan, para pedagang yang masih bertahan menunggu realisasi janji pemerintah.
Sulaiman dan pedagang lain yang masih bertahan mengaku setuju dengan normalisasi Kanal Timur. Mereka menganggap normalisasi penting untuk mengatasi banjir. Hanya saja, mereka baru mau dipindah dengan syarat dibangunkan kios baru.
”Kami masih menunggu janji pemerintah untuk membuatkan kami kios. Kalau kios sudah ada, kami mau langsung pergi dari Barito ini,” kata Sulaiman.
Kami masih menunggu janji pemerintah untuk membuatkan kami kios. Kalau kios sudah ada, kami mau langsung pergi dari Barito ini.
Sebelumnya, beberapa pedagang kaki lima yang direlokasi ke Penggaron pada awal 2018 sudah dibuatkan kios-kios berukuran 3 meter x 3 meter. Kios itu dilengkapi jaringan listrik dan air. Sementara itu, pedagang yang direlokasi ke sekitar MAJT diminta membangun kios dengan uang mereka sendiri.
Adapun saat ini, menurut Sulaiman, dirinya dan pedagang lain yang diminta segera pindah tidak dibuatkan kios. Mereka diminta membuat kios dengan uang mereka sendiri, sama dengan pedagang yang direlokasi ke MAJT.
”Jelas, kami tidak mau! Sama-sama direlokasi tapi perlakuannya beda-beda,” ujarnya.
Sri Wahyuni (43), pedagang kaki lima lain yang masih bertahan di sempadan sungai Kanal Timur mengatakan, selain karena belum ada bangunan kios, dia khawatir dagangannya tidak laku apabila pindah lokasi. Sebab, penghasilan saudaranya yang sudah lebih dulu direlokasi ke Penggaron menurun drastis. Menurut rencana, dirinya juga akan direlokasi ke Penggaron.
”Menurut pengalaman saudara saya yang direlokasi ke Penggaron, pemasukannya turun hingga 90 persen. Biasanya dapat Rp 1 juta per hari menjadi hanya Rp 100.000 per hari,” kata Sri.
Minimnya pemberitahuan terkait kepindahan para pedagang kaki lima Barito ke Penggaron membuat para pelanggan dan calon pembeli yang biasanya menuju kawasan Barito menjadi bingung.
Menurut pengalaman saudara saya yang direlokasi ke Penggaron, pemasukannya turun hingga 90 persen. Biasanya dapat Rp 1 juta per hari menjadi hanya Rp 100.000 per hari.
Berbeda dengan kawasan Barito yang sudah terkenal sebagai kawasan pedagang kaki lima, di Penggaron, lokasi baru yang disediakan pemerintah dinilai para pedagang kaki lima tidak strategis.
Jarak dari pusat Kota Semarang, yakni Simpang Lima, ke kawasan Barito sekitar 2 kilometer. Sementara itu, jarak dari pusat Kota Semarang ke Penggaron sekitar 8 kilometer.
Dibuatkan kios
Dikonfirmasi secara terpisah, Kepala Dinas Perdagangan Kota Semarang Fajar Purwoto mengatakan, pada dasarnya, relokasi menggunakan dana pribadi para pedagang. Namun, hingga habis tenggat pembersihan sempadan sungai para pedagang masih tetap tak mau direlokasi.
”Targetnya sempadan itu bersih pada April ini. Tapi, beberapa pedagang di Kelurahan Bugangan dan Rejosari ini sulit sekali diminta pindah,” tutur Fajar.
Untuk mempercepat penertiban sempadan, pemerintah memutuskan membuat kios untuk para pedagang yang tidak mau direlokasi ini. Kios yang tengah dibangun itu diperkirakan bisa menampung sekitar 45 pedagang. Senin sore, rangka baja ringan sudah tampak terpasang di sekitar MAJT.
”Bangunan itu nantinya bisa ditempati oleh sekitar 36 pedagang kaki lima dari Kelurahan Bugangan. Adapun sembilan pedagang nanti kami ambil dari kelurahan Rejosari. Kelurahan Bugangan ini yang penting untuk segera dibereskan,” tambah Fajar.