JAKARTA, KOMPAS — Pencemaran udara secara saintifik terbukti sebagai pemicu utama berbagai problem kesehatan di dunia, terutama masyarakat di kota besar seperti Jakarta. Hasil pantauan menunjukkan, tingkat pencemaran di Jakarta untuk partikel pencemar berukuran kurang dari 2,5 mikrometer rata-rata tahunannya sudah di atas ambang baku mutu.
”Sekalipun data yang ada menunjukkan kualitas udara di Jakarta konsisten memburuk, sejauh ini mereka tidak punya strategi untuk mengatasi persoalan ini. Kami melihat ada kelalaian pemerintah daerah terkait hak warga atas kualitas udara yang baik. Inilah yang jadi salah satu dasar kami menyiapkan gugatan warga (citizen lawsuit),” kata Fajri Fadhillah, peneliti Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), di Jakarta, Senin (15/4/2019).
Kami melihat ada kelalaian pemerintah daerah terkait hak warga atas kualitas udara yang baik. Inilah yang jadi salah satu dasar kami menyiapkan gugatan warga (citizen lawsuit).
Fajri mengatakan, memburuknya kualitas udara di Jakarta itu bisa dilihat dari hasil pantauan partikel berukuran kurang dari 2,5 mikrometer (particulate matter/PM 2,5) di Jakarta. ”Data ini terutama kami dapatkan dari hasil pantauan Kedutaan Besar Amerika Serikat di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat yang bisa diakses publik,” ungkapnya.
Berdasarkan data ini, konsentrasi rata-rata tahunan PM 2,5 di Jakarta Selatan pada tahun 2016 sebesar 42,8 mikron gram per meter kubik (μg/m3), tahun 2017 sebesar 29,6 μg/m3, dan 2018 sebesar 42,2 μg/m3. Sementara di Jakarta Pusat, pada 2016 jumlahnya sebesar 39,8 μg/m3, 2017 sebesar 27,6 μg/m3, dan pada 2018 sebesar 37,5 μg/m3. Padahal, ambang baku mutu untuk PM 2,5 di Jakarta sebesar 15 μg/m3 dan baku mutu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 10 μg/m3.
Kajian yang dilakukan Ulfi Muliane dan Puji Lestari dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dipublikasikan di Jurnal Teknik Lingkungan tahun 2011 juga menunjukkan, pengukuran konsentrasi PM 2,5 selama 24 jam di Bundaran Hotel Indonesia berada pada rentang 46,67-77,12 μg/m3 dan untuk Kelapa Gading berada pada rentang 63,45-72,57 μg/m3. Dari keseluruhan hasil pengukuran, sebagian besar konsentrasi harian PM 2,5 melebihi baku mutu yang diperbolehkan pemerintah, yaitu di atas 65 μg/m3 untuk pengukuran selama 24 jam.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), seperti dirilis dalam laman resminya, kualitas udara kota Jakarta berdasarkan indeks PM 2,5 selama tahun 2018, antara lain, terdapat 34 hari dengan kondisi udara baik (warna hijau), 122 hari dengan kondisi udara sedang (warna biru), dan 196 hari sisanya berada dalam kondisi tidak sehat (warna kuning). Namun, tidak ada satu hari pun pada tahun 2018 kota Jakarta memiliki kondisi udara sangat tidak sehat (warna merah).
”Sekalipun data menunjukkan adanya pencemaran PM 2,5 dan juga PM 10 yang sudah di atas ambang, sampai sekarang Pemerintah DKI belum melakukan inventariasi emisi sehingga belum ada data dari mana sumber utama pencemaran ini,” ujarnya.
Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999 telah mewajibkan setiap gubernur melakukan inventarisasi emisi. ”Fenomena ini juga tidak dilakukan di Banten dan kemungkinan di daerah-daerah lain. Dengan gugatan ini, kami harap pemerintah daerah, khususnya DKI Jakarta, lebih serius memperhatikan soal pencemaran udara ini,” kata Fajri.
Pengacara publik dari LBH, Nelson Simamora, mengatakan, lembaganya bersama YLBHI telah membuka pos pengaduan calon penggugat dalam rangka pengajuan gugatan warga negara (citizen lawsuit) terkait pencemaran udara di Jakarta yang sudah di luar ambang batas. Pos pengaduan akan dibuka selama satu bulan terhitung sejak Minggu (14/4/2019) hingga 14 Mei 2019.
Melalui pembukaan pos pengaduan ini ,setiap warga Jakarta atau warga lain yang sehari-hari menghabiskan sebagian besar harinya di Jakarta dapat berperan serta dalam upaya perbaikan kualitas udara di kawasan ini.
Studi global terbaru menyebutkan, polusi udara telah menjadi ancaman global, salah satunya disebabkan nitrogen dioksida yang rata-rata tiap tahun menyebabkan anak-anak di seluruh dunia menderita asma. Dampak terburuk terutama dialami anak-anak di perkotaan. Indonesia disebut menempati peringkat keempat negara paling terbebani dengan tingginya kasus asma baru akibat paparan nitrogen dioksida yang terutama disebabkan polusi kendaraan bermotor ini (Kompas, Senin/15/4/2019).