JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan utang luar negeri antara lain karena penerbitan obligasi global pemerintah. Hal ini sejalan dengan strategi penerbitan lebih awal yang dijalankan pemerintah.
Utang luar negeri pemerintah, bank sentral, dan swasta Indonesia per Februari 2019 sebesar 388,734 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Senin (15/4/2019), sebesar Rp 14.067 per dollar AS, utang itu senilai Rp 5.468 triliun.
Dari jumlah tersebut, utang pemerintah dan bank sentral 193,823 miliar dollar AS, sedangkan utang swasta 194,911 miliar dollar AS.
”Strategi front loading ini tepat karena memanfaatkan momentum pasar yang kondusif pasca-keputusan bank sentral Amerika Serikat menahan suku bunga,” kata Kepala Ekonom dan Riset PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja kepada Kompas.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerbitan obligasi global hingga 28 Maret 2019 sebesar 5,1 miliar dollar AS atau setara Rp 71,74 triliun.
Enrico menambahkan, secara postur, utang luar negeri Indonesia terkendali. Sebab, utang pemerintah dan bank sentral serta utang swasta nyaris imbang.
Adapun rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang sebesar 36,18 persen masih rendah dibandingkan negara-negara berkembang lain. ”Meskipun utang pemerintah meningkat, rasio utang terhadap PDB tidak melonjak tajam,” ujarnya.
Sektor manufaktur
Ditilik secara sektoral, utang luar negeri industri manufaktur sebesar 36,94 miliar dollar AS, menempati peringkat tertinggi kedua setelah jasa keuangan dan asuransi.
Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal berpendapat, aktivitas investasi dan produksi sektor manufaktur paling besar dibandingkan dengan sektor ekonomi lain.
Menurut dia, utang industri manufaktur patut diwaspadai. Sebab, upaya memperoleh dollar AS, di tengah kondisi ekonomi global yang diliputi ketidakpastian, dari kegiatan ekspor cukup sulit. Kondisi ini dikhawatirkan memengaruhi kemampuan membayar utang.
”Selama ini, industri manufaktur kurang didorong ke pasar ekspor, sedangkan impor bahan baku dan bahan modal tinggi,” kata Faisal.
Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) Institute, Eric Alexander Sugandi, menyampaikan, risiko pertumbuhan utang luar negeri bersumber dari volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Rupiah masih berpotensi melemah, yang dipengaruhi pelambatan pertumbuhan ekonomi global dan dinamika politik kawasan.