JAKARTA, KOMPAS — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan telah mengeluarkan Rp 11 triliun untuk pembayaran utang klaim jatuh tempo rumah sakit per April 2019. Sebagian besar dana ini berasal dari iuran peserta penerima bantuan pemerintah yang dibayarkan sampai lima bulan mendatang.
Melalui pembayaran tunggakan tersebut, utang klaim Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kepada fasilitas kesehatan bisa dikurangi. Namun, dana yang diterima ini hanya bisa menyelesaikan utang klaim BPJS dalam jangka pendek.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar di Jakarta, Selasa (16/4/2019), mengatakan, pembayaran utang klaim yang dilakukan BPJS Kesehatan tersebut hanya bersifat tambal sulam. Potensi utang ke rumah sakit masih tetap tinggi jika tidak ada solusi jangka panjang untuk meningkatkan jumlah iuran yang diterima.
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 33 Tahun 2019 Pasal 7 Ayat 7, proses pembayaran iuran peserta bantuan iuran (PBI) bisa diberikan paling banyak tiga bulan ke depan. Selain itu, BPJS Kesehatan juga bisa menyampaikan surat tagihan dana iuran PBI untuk paling banyak dua bulan berikutnya. Jadi, anggaran pendapatan dan belanja negara yang diberikan untuk iuran PBI bisa sampai lima bulan berikutnya.
Menurut Timboel, dari peraturan tersebut, dana yang diterima BPJS Kesehatan bisa mencapai Rp 11 triliun untuk iuran PBI. Jumlah PBI saat ini sekitar 96,5 juta jiwa. ”Memang untuk jangka pendek utang ke rumah sakit bisa dikurangi, tetapi potensi utang BPJS Kesehatan ke rumah sakit tetap masih tinggi. Ini justru akan memicu defisit di bulan berikutnya,” katanya.
Secara terpisah, Deputi Direksi Bidang Treasury dan Investasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fadlul Imansyah mengatakan, melalui pembayaran tersebut setidaknya utang klaim rumah sakit yang telah jatuh tempo serta denda atas keterlambatan pembayaran utang bisa diselesaikan oleh BPJS Kesehatan. Pembayaran akan dibayar sesuai catatan rumah sakit yang lebih dulu mengajukan berkas secara lengkap.
Selain pembayaran atas utang klaim rumah sakit yang telah jatuh tempo, BPJS Kesehatan juga melakukan pembayaran sebesar Rp 1,1 triliun dalam bentuk dana kapitasi ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Pembayaran ini rutin dibayarkan BPJS Kesehatan setiap bulan pada tanggal 15.
”Diharapkan melalui pembayaran ini fasilitas kesehatan dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada peserta JKN-KIS dengan lebih optimal,” katanya.
Fadlul mengakui, selama ini iuran yang diterima secara rutin oleh BPJS Kesehatan masih di bawah jumlah klaim yang perlu dibayarkan. Rata-rata, jumlah iuran yang diterima sekitar Rp 6 triliun-Rp 7 triliun per bulan. Sementara jumlah klaim yang harus dibayarkan ke rumah sakit sekitar Rp 8 triliun per bulan.
Namun, ketika ditanya terkait upaya yang dilakukan untuk mengatasi selisih pembayaran tersebut, Fadlul tidak memberikan jawaban yang jelas.
Solusi sistemik
Timboel berpendapat, upaya sistemik perlu dilakukan untuk memperkuat dana jaminan sosial yang diterima BPJS Kesehatan. Iuran peserta JKN-KIS, khususnya PBI, harus dinaikkan sehingga bisa mengatasi utang dan defisit yang selama ini terus terjadi.
Selain itu, pajak rokok yang didapatkan dari pemerintah daerah sesuai Pasal 100 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 juga perlu lebih dimaksimalkan. Jika pajak ini bisa dioptimalkan, pemasukan yang didapat bisa mencapai Rp 6 triliun.
”Pembayaran yang berjalan selama ini sifatnya hanya tambal sulam. Pemasukan dari iuran saja tidak cukup untuk membayar klaim rumah sakit. Dari sisi pembiayaan, INA CBGs (Indonesia Case Base Groups) harus dikendalikan dengan pengawasan. Fasilitas kesehatan tingkat pertama juga perlu dikontrol sehingga jumlah rujukan bisa turun,” katanya.