TANGERANG, KOMPAS — Kementerian Perdagangan menaikkan target ekspor nonmigas menjadi 8 persen atau 175,8 miliar dollar AS. Untuk mencapainya, pengembangan sektor industri tekstil serta industri makanan dan minuman akan terus didorong.
”Sebenarnya, dari internal kami (Kementerian Perdagangan), ekspor nonmigas ditargetkan tumbuh sebesar 7,5 persen. Tetapi, karena ada permintaan dari Atase Perdagangan maupun Indonesia Trade Promotion Center, target ekspor nonmigas menjadi 8 persen,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dalam acara Indonesia Industrial Summit 2019 di ICE, BSD City, Tangerang, Banten, Selasa (16/4/2019).
Sebelumnya, target 7,5 persen disampaikan dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan (Kemendag) 2019 pada Maret lalu. Saat itu, Enggartiasto menyampaikan, target tersebut disesuaikan dengan keadaan pertumbuhan ekonomi global yang sedang melambat.
Hal itu juga merujuk pada target ekspor nonmigas 2018. Waktu itu, Kemendag menargetkan ekspor nonmigas tumbuh 11 persen, tetapi hanya terealisasi 6,7 persen atau senilai 162,8 miliar dollar AS.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan perdagangan dunia pada tahun ini melambat menjadi 2,6 persen. Tahun lalu, perdagangan dunia hanya tumbuh 3 persen, lebih rendah dari perkiraan awal yang sebesar 3,9 persen.
WTO memperkirakan perdagangan dunia tahun ini melambat menjadi 2,6 persen. Tahun lalu, perdagangan dunia hanya tumbuh 3 persen, lebih rendah dari perkiraan awal yang sebesar 3,9 persen.
WTO menyebutkan, pertumbuhan perdagangan tahun ini merupakan yang terendah dalam tiga tahun terakhir. Pada 2016, perdagangan dunia tumbuh 1,6 persen, kemudian pada 2017 pertumbuhan itu meningkat tajam menjadi 4,7 persen.
WTO juga memperkirakan pertumbuhan volume ekspor dan impor negara-negara Asia melambat pada tahun ini. Volume ekspor diperkirakan tumbuh 3,7 persen dan impor 4,6 persen. Tahun lalu, volume ekspor dan impor negara-negara di Asia masing-masing tumbuh 3,8 persen dan 5 persen.
”Dengan meningkatnya ketegangan perdagangan, tidak ada yang harus terkejut dengan pandangan ini. Perdagangan tidak dapat memainkan peran penuhnya dalam mendorong pertumbuhan ketika kita melihat tingkat ketidakpastian yang begitu tinggi,” tutur Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo.
”Dalam meningkatkan nilai ekspor, kami mendorong UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) dalam berbagai perjanjian. Upaya ini juga beriringan dengan yang disebut ekonomi digital untuk mendukung penjualan secara daring (dalam jaringan),” ujar Enggartiasto.
Menurut dia, industri tekstil kini terus menjadi andalan dalam meningkatkan nilai ekspor. Begitupun dengan industri makanan dan minuman yang permintaannya semakin meningkat.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anne Patricia Sutanto, mengatakan, melalui perjanjian dagang dengan sejumlah negara, pelaku usaha tidak hanya mendapat kemudahan, tetapi juga peluang. ”Harga produk kami menjadi lebih kompetitif,” lanjutnya.
Anne menyampaikan, target ekspor tekstil dan produk tekstil tahun 2019 sekitar 7 persen. Meski lebih rendah dari dua tahun sebelumnya, yaitu 13,2 persen (2018) dan 12,8 persen (2017), target ini disesuaikan dengan peningkatan kapasitas, termasuk penguatan industri hulu.
Industri makanan dan minuman
Senada dengan itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, industri makanan dan minuman juga menjadi andalan peningkatan nilai ekspor nonmigas. Sebab, secara rata-rata, pertumbuhan industri makanan dan minuman tergolong tinggi, sekitar 9 persen per tahun.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, pada 2018 industri makanan dan minuman tumbuh 7,91 persen. Selain itu, ekspor produk makanan dan minuman Indonesia pada periode yang sama mencapai 29,91 miliar dollar AS.
Guna meningkatkan daya saing, Adhi mengatakan, saat ini sedang dilakukan peningkatan kapasitas di industri makanan dan minuman. Ada sekitar 26 perusahaan dari total 486 perusahaan makanan dan minuman yang telah menerapkan teknologi Industri 4.0.
”Namun, memang belum semua menerapkan teknologi Industri 4.0 secara maksimal. Ada yang baru menerapkan di produksi, di pemasaran, ada juga di pembelian. Semoga yang sudah memulai ini tahun depan dapat semakin mengarah ke Industri 4.0,” tutur Adhi.
Melalui penerapan Industri 4.0, lanjutnya, biaya produksi dapat turun hingga 30-40 persen dan investasi meningkat dua kali lipat. Dengan begitu, produk makanan dan minuman Indonesia akan semakin berdaya saing.
”Industri 4.0 ini bukan monopoli industri besar, jadi industri kecil pun bisa menerapkan ini asal ada kemauan. Namun, permodalan menjadi tantangan. Maka, kami mendorong pemerintah ikut membantu bagaimana memikirkan modal bagi industri kecil,” tutur Adhi.
Ke depan, Indonesia akan mengadakan food dialogue dengan Taiwan di Jakarta pada awal Mei 2019. Adhi menilai, industri makanan dan minuman Taiwan, khususnya UMKM, sudah kuat sehingga Indonesia dapat belajar dari mereka.
”Hingga saat ini, ada tiga perusahaan Taiwan yang tertarik untuk bermitra, yaitu industri functional food, industri mesin, dan industri perantara. Dari acara ini, saya harap UMKM kita dapat lebih berkembang,” ujar Adhi. (REUTERS)