LIVERPOOL, SENIN — Stadion Anfield di Merseyside yang riuh rendah mendadak hening bak kuburan ketika bek sayap Liverpool FC, Andrew Roberton, terpeleset saat menggiring bola di menit ke-83 laga kontra Chelsea yang berakhir Senin (15/4/2019) dini hari WIB. Selama lima detik, bayangan ”hantu” kegagalan Liverpool pada 2014 silam muncul di hadapan mereka.
Nyanyian ”Steven Gerrard, Steven Gerrard!” yang dikumandangkan suporter Chelsea kian membuat bergidik pendukung tim tuan rumah yang memadati Anfield. Meskipun hanya sekejap, deja vu setengah dekade lalu—yaitu insiden terpelesetnya Gerrard, eks pemain ”The Reds” di laga kontra Chelsea—menunjukkan batang hidungnya.
Ketika itu, Liverpool kalah dari Chelsea 0-2 menyusul blunder Gerrard. Mereka pun gagal merebut gelar juara dalam perlombaan ketat dengan Manchester City menuju trofi juara Liga Inggris. Namun, keledai tidak terjatuh di lubang yang sama dua kali. Generasi Liverpool saat ini mematahkan istilah populer Perancis, l’histoire se repete (sejarah selalu berulang).
Anfield pun kembali bergemuruh, penuh kelegaan ketika bola yang terlepas dari Robertson kembali direbut pemain bertahan Liverpool tak lama berselang. The Reds saat ini bukanlah lagi tim yang sama dengan 2014 silam. Mereka lebih dewasa dan tidak panik ketika gol yang diharapkan tidak kunjung tiba di babak pertama laga yang dipadati 53.279 penonton itu.
Mohamed Salah dan kawan-kawan terus menyerang dan memersekusi lini pertahanan Chelsea, tim yang menerapkan taktik serupa di laga kedua tim 2014 silam, yaitu ”parkir dua bus”. Kesabaran mereka berujung gol Sadio Mane di menit ke-51 yang disusul gol ”roket” Salah dari jarak 27 meter pada dua menit berselang. Gol fantastis Salah, yang spontan disebut ”berkah surgawi”, itu menegaskan ketenangan Liverpool yang tidak mereka punya lima tahun lalu.
Selebrasi gol Salah—pemain yang meroket ke puncak daftar pencetak gol tersubur di Liga Inggris musim ini berkat gol itu—sekaligus menjawab perbedaan itu. Ia melipat tangan dan satu kakinya sambil memeragakan vrikshasana, yaitu salah satu pose meditasi di yoga.
”Saya (kebetulan) menjalani yoga. Jadi, itu yang terlintas di kepala saya (untuk merayakan gol),” ujar Salah dikutip Dailystar.
Olahraga yoga memang banyak diyakini mampu memberikan ketenangan pikiran serta keseimbangan antara mental dan fisik. Itu bisa bermanfaat mengatasi hebatnya tekanan dalam persaingan sengit antara Liverpool dan City menuju trofi juara Liga Inggris musim ini. Menurut Steve Peters, psikiater olahraga yang pernah bekerja untuk Liverpool di 2014 silam, aspek psikologis bisa lebih berperan ketimbang fisik dalam persaingan Liverpool-City musim ini.
Untuk mengurangi tekanan psikologis, Manajer Liverpool Juergen Klopp juga sangat aktif melindungi para pemainnya dari sorotan pers dan ”bumbu” teror deja vu 2014. Ia juga menyarankan pemainnya tidak mengikuti atau menonton kiprah ”The Citizens”. Liverpool harus fokus ke diri mereka sendiri dan menghilangkan tekanan. ”Kami telah menutup kisah (hantu Chelsea) selamanya,” ujar Klopp.
Elemen penting
Menurut Jim Beglin, komentator ternama yang juga mantan bek Liverpool, mantan timnya saat ini sangat berbeda dengan di era manajer Brendan Rodgers, 2014 silam. Saat itu, The Reds memang superior, yaitu sangat tajam dan sempat 11 kali menang beruntun sebelum dikalahkan Chelsea di Anfield. Namun, saat itu, mereka tidak memiliki satu elemen penting, yaitu ketenangan di depan gawang.
Tak ayal, ia menjagokan The Reds finis di depan City, akhir musim ini. Liverpool kini kembali unggul dua poin dari City dengan empat laga tersisa. Adapun City, sang juara bertahan, masih menyisakan lima laga di Liga Inggris musim ini.
”Liverpool saat ini lebih baik (dari 2014). Tim ini lebih solid pertahanannya dengan hadirnya (Virgil) van Dijk dan Alisson (Becker). Mereka kini lebih percaya diri dan tenang. Itu tidak terjadi dulu,” tutur Beglin kepada Liverpool Echoe. (AFP)