Unmasked Melepas Tekanan Hidup Lewat Puisi
Ketika tekanan hidup dirasa kian berat, ketika stres atau depresi tengah melanda, melalui puisilah semua itu bisa dilepaskan. Puisi bisa menjadi katarsis personal dimana semua orang bisa mengeluarkan keluh kesah, rasa penat, beban hidup, kesedihan sekaligus kegembiraannya.
Untuk tujuan itulah komunitas Unmasked berdiri. Ada lima orang pendirinya: Poetry Minangsari (45), Ayu Meutia Azeuy (27), Abdul Qowi Bastian (31), Uphie Abdurrahman (30) dan Pangeran Siahaan (31). Sore itu, Jumat (5/4/2019) di teras William\'s Cafe di bilangan SCBD Jakarta, empat orang di antara mereka berkumpul.
Ada Poetry yang seorang penari sekaligus pelatih Ayu Bulan Dance Group, Qowi yang seorang dosen Universitas Multimedia Nusantara Serpong Tangerang, Uphie yang bertanggung jawab pada Program Kebudayaan Kedutaan Besar Amerika Serikat, juga Ayu seorang penulis buku sekaligus Copy Writer Digital Agency VML Y & R. Mereka menceritakan bagaimana awal mula berdirinya komunitas Unmasked.
Poetry menuturkan bahwa pada awal 2015 Ayu mengajaknya bertemu di Jakarta. Saat itu Ayu baru saja pulang dari melihat penampilan baca puisi di Kuala Lumpur, Malaysia dan dia sangat terkesan. Dua sahabat yang saling kenal di ajang Ubud Writers Festival ini merasa ada baiknya mereka membuat hal serupa di Jakarta. Bentuknya bukan kompetisi baca puisi, melainkan semacam panggung baca puisi.
Ayu dan Poetry pun sepakat. Pada 25 April 2015 di Tree House Kemang Jakarta mereka menggelar Unmasked Poetry Night. "Ada 70-an orang yang datang. Begitu acara selesai, mereka pun bertanya: kapan ada lagi? Akhirnya kami membuat acara Open Mic Panggung Terbuka Puisi tiga kali dalam setahun. Tapi kadang kita juga diajak komunitas-komunitas lain, sehingga dalam setahun bisa 7-9 kali. Penikmat puisi pun berkembang dan kami ada andil di sana,"kata Poetry.
Selain pendiri atau penggagas Unmasked, yang ikut membacakan puisi adalah teman-teman Unmasked, seperti para penyair berbakat juga mereka yang ikut ajang kompetisi baca puisi. Semua puisi yang dibacakan adalah puisi-puisi karya sendiri dan 90 persen berbahasa Indonesia.
Beberapa dari teman-teman Unmasked pun kembali ke kota masing-masing dan membangun komunitas baca puisi di kota mereka. Konsepnya sama: mereka memfasilitasi panggung puisi dan membacakan puisi karya masing-masing.
Saat ASEAN Literary Festival yang diselenggarakan di lapangan Museum Fatahillah di Kota Tua Jakarta Utara, komunitas Unmasked pun diundang bergabung. Penonton acara itu mencapai sekitar 2.000 pengunjung.
Ini acara yang terbilang besar karena kalau komunitas Unmasked menggelar Open Mic Panggung Terbuka Puisi hanya dihadiri sekitar 70-80 orang karena diselenggarkan di tempat yang lebih intim dan tidak terlalu besar seperti di cafe-cafe.
Info acara atau undangan biasanya mereka sebarkan melalui Instagram: @unmasked_openmic dan Facebook: Unmasked Poetry Open Mic. Acara yang digelar dua jam itu umumnya diisi oleh 20-30 penulis sekaligus pembaca puisi yang masing-masing membacakan puisi selama tiga menit.
Tujuan bergabung
Qowi yang bergabung komunitas Unmasked pada Agustus 2015 mengaku menyukai menulis dan membaca puisi di kamarnya. Menemukan komunitas ini bagi Qowi seperti menemukan jodohnya. Para penulis cerpen dan puisi umumnya orang-orang introvert, yang cenderung diam. Melalui komunitas ini, rasa dalam dada mereka bisa disalurkan.
Qowi pun memiliki blog pribadi yang bernama "Rasa Kata". Isinya adalah rekaman puisi yang ia bacakan tanpa menampakkan wajahnya karena Qowi termasuk mereka yang introvert.
"Saat saya diminta tampil di Unmasked, tantangannya beda. Rasanya gugup, tetapi saat saya masih SD, saya penah membaca puisi, tentu dengan crowd yang berbeda. Saat saya membacakan puisi saya, respon penonton positif. Unmasked sangat mendorong siapa pun, baik mereka yang profesional atau senior, atapun mereka yang baru saja bergabung untuk membacakan puisinya,"kata Qowi.
Isu-isu yang ditampilkan dalam puisi-puisi pun sangat beragam. Mulai dari masalah sosial, percintaan, gender dan isu-isu lainnya. Penonton pun hanya menikmati puisi yang dibacakan. Mereka tidak memberikan penilaian atas puisi yang dibacakan. Jadi semua merasa bebas berekspresi.
Sementara bagi Uphie, pada 2016 dia pernah membacakan puisi di panggung Open Mic Unmasked. Semula dia tidak berniat membaca puisi, namun kemudian disodori sebuah puisi untuk dia baca, padahal latar belakangnya adalah penulis lagu. Pada bulan Juni 2018 dia diajak bicara dengan penggagas Unmasked lainnya, lalu pada Agustus 2018 Uphie resmi bergabung dalam Unmasked.
"Saya suka dengan Unmasked karena gayanya yang spoken words, lebih luwes dan mengena bagi anak-anak muda. Selama ini kita mengenal baca puisi dengan gaya deklamasi. Di Unmasked ada berbagai macam gaya: yang slow, lebih inklusif, berapi-api, pokoknya tidak ada aturan bagaimana menampilkan diri, tidak ada kerangkeng,"kata Uphie.
Menurut Poetry, saat Unmasked menggelar acara selalu ada tema di judul acara sehingga mereka yang ingin ikut membacakan puisinya bisa membuat karya puisi sesuai judul acara. "Daftar tunggunya panjang banget. Kami memperbolehkan peserta baca puisi untuk menyampaikan hal-hal yang personal, kami percaya bahwa apa yang dirasakan semua orang itu penting dan tidak ada yang menghakimi di acara Unmasked,"kata Ayu.
Dalam beberapa event Unmasked bahkan ada seorang pengungsi Afghanistan bernama Abdul Samad Haedari yang selalu ikut membacakan puisi curahan hatinya sebagai seorang pengungsi.
Daftar tunggunya panjang banget. Kami memperbolehkan peserta baca puisi untuk menyampaikan hal-hal yang personal, kami percaya bahwa apa yang dirasakan semua orang itu penting dan tidak ada yang menghakimi di acara Unmasked.
Uphie mengatakan, biasanya orang khawatir dianggap membuat onar atau bikin rusuh, namun di atas panggung Unmasked, mereka bisa mengekspresikan dirinya. Pengunjung tak diberi ruang untuk melakukan protes atas naskah puisi yang dibacakan. Aturan pun ditegakkan. Ketika orang sedang membacakan puisi, semua HP harus disenyapkan, juga dilarang mengobrol. Jika konten puisi yang dibacakan dirasa bagus, maka pengunjung pun hanya menjentikkan jari, bukan bertepuk tangan, supaya tidak mengganggu konsentrasi pembaca puisi.
Bagi komunitas Unmasked, makin banyaknya penggemar pembacaan puisi ataupun mereka yang tergabung dalam acara-acara yang digelar Unmasked adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Kini setiap April/Mei, Agustus dan Desember, mereka menggelar rutin panggung Open Mic Unmasked di cafe-cafe, di perpustakaan nasional, di lapangan Fatahillah dll.
"Tantangan kami saat ini adalah susahnya mencari waktu untuk bertemu,"kata Poetry. Namun Poetry dan Ayu berharap, semoga kendala itu bisa diatasi dan mereka tetap bisa menggelar pembacaan puisi secara rutin. Bagi Uphie, keberadaan Unmasked bisa membangun empati terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain.
"Ada katarsis personal, orang bisa mengeluarkan unek-uneknya. Ini juga terkait kesehatan mental. Audience-nya pun sangat beradab saat mendengarkan pembacaan puisi. Melalui puisi, apa yang dialami dan dirasakan oleh kelompok tertentu pun bisa dirasakan oleh audience. Seperti saat Imlek lalu, banyak orang dari etnis lain bisa merasakan apa yang dirasakan oleh etnis tertentu yang merayakan Imlek. Jadi bisa saling tenggang rasa, ini yang susah didapatkan di zaman ini," kata Uphie.
Unmasked juga berkolaborasi dengan komunitas perempuan. Ada perempuan yang melahirkan dalam penjara, juga ada kelompok disabilitas yang dilibatkan. "Mereka menulis puisi, ternyata bagus sekali puisinya. Panggung ini bisa menjadi pendorong bagi mereka untuk tampil di panggung dan bersuara bagi mereka yang terpinggirkan," kata Uphie.