JAKARTA, KOMPAS — Pemilihan Umum 2019 tidak luput menjadi pengajaran di sekolah-sekolah untuk menyiapkan siswa memahami dan menggunakan hak pilih. Guru-guru menyimpulkan, antusiasme siswa lebih besar di pemilu tahun ini dibandingkan dengan Pemilu 2014.
”Sejak awal, para guru sudah diimbau untuk melakukan sosialisasi pemilu. Jangan menunggu Komisi Pemilihan Umum saja yang turun tangan,” kata Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) M Ramli Rahim ketika dihubungi di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (17/4/2019).
Imbauan dilakukan melalui situs dan media sosial resmi IGI beserta keterlibatan para ketua cabang provinsi dan kabupaten/kota dan dilakukan sejak beberapa bulan lalu kepada para siswa kelas XII karena umumnya mereka yang sudah masuk ke usia 17 tahun dan memiliki hak memilih.
Dalam sosialisasi pemilu tersebut, IGI secara terbuka meminta guru bersikap adil. Artinya, menekankan mengenai makna dan prosedur pemilu serta menjelaskan pentingnya menggunakan hak pilih sebagai bentuk praktik berkewarganegaraan yang baik. Tugas itu tidak hanya diembankan kepada para guru pengampu mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), tetapi juga dilakukan oleh guru semua mata pelajaran.
”Namun, kami menekankan agar guru tidak boleh memasukkan politik praktis ke dalam sosialisasi pemilu. Guru tidak boleh berkampanye, apalagi menggiring siswa untuk menyukai calon presiden ataupun calon legislatif tertentu," tutur Ramli. Untuk itu, ada skema pengawasan antarguru yang ditetapkan guna memastikan guru tidak melanggar komitmen ini.
Kami menekankan agar guru tidak boleh memasukkan politik praktis ke dalam sosialisasi pemilu.
Senada dengan IGI, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Satriawan Salim juga mengungkapkan, organisasinya juga mengajak para anggota melakukan sosialisasi pemilu yang sehat. Meskipun begitu, mayoritas memang masih dilakukan oleh guru-guru PKn.
Satriawan yang juga guru PKn di SMA Labschool, Rawamangun, Jakarta, menuturkan bahwa antusiasme siswa pada Pemilu 2019 lebih besar dibandingkan dengan tahun 2014. Hal ini tampak dari semangat mereka bertanya mengenai tata cara pemilu, manfaatnya, dan prosedur menelusuri rekam jejak serta visi dan misi para calon pemimpin. Mereka juga rajin melakukan pencarian di internet dan mendiskusikan informasinya di kelas agar dipastikan hal yang didapat itu bersifat akurat, bukan kampanye hitam.
”Para siswa yang sudah cukup umur juga banyak mengikuti aksi massa untuk mengekspresikan dukungan mereka kepada calon tertentu,” ujarnya.
Tugas guru adalah menjaga agar ekspresi tersebut berjalan sewajarnya. Tidak keluar dalam bentuk yang agresif dan intoleran. Mereka juga rajin menonton debat calon presiden dan wakil presiden di televisi untuk menyimak berbagai rencana program kerja yang diusung oleh kedua belah pihak.
Guru Sejarah SMAN 12 Kota Bekasi, Jawa Barat, Endah Priyati, mengatakan, ia selalu mengaitkan pembelajaran sejarah dengan pemilu. Ia menjabarkan, segala perjuangan pahlawan bangsa adalah membebaskan Indonesia dari penjajah agar menjadi negara yang demokratis. Pemilu merupakan wujud nyata sistem demokrasi karena melibatkan partisipasi rakyat.
Sementara itu, siswa kelas XII SMA Muhammadiyah Pontianak, Kalimantan Barat, Fakhry Audiansyah, mengatakan, di sekolahnya sosialisasi pemilu dilakukan oleh KPU provinsi. Para guru kemudian mengingatkan pada hari-hari sebelum pemilu agar siswa tidak lupa menggunakan hak pilih.
”Bagi saya, penting untuk ikut mencoblos karena saya bagian dari bangsa dan ikut bertanggung jawab atas kelangsungannya,” ucapnya.