Meski mata terpejam, hati mereka enggan tenggelam ditelan gelap. Walau tak melihat langsung rupa calon-calon pemimpin, mereka yakin suara mereka sama penting.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
Meski mata terpejam, hati mereka enggan tenggelam ditelan gelap. Walau tak melihat langsung rupa calon-calon pemimpin, mereka yakin suara mereka sama penting.
”Sebagai warga Indonesia, kami tetap harus menyumbang suara. Suara kami yang buta nilainya sama dengan suara mereka yang bisa melihat,” kata Sukarsih (46), penyandang tunanetra di Kota Medan, Rabu (17/4/2019).
Lebih kurang 40 penyandang tunanetra mencoblos di TPS 29 Kelurahan Sei Putih Barat, Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan, Sumatera Utara. Sebagian besar dari mereka adalah mantan warga binaan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Sumatera Utara.
Berdasarkan data KPU Sumatera Utara, di provinsi itu ada 1.839 penyandang tunanetra yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT). Diperkirakan, sebagian besar terdapat di Kota Medan.
Dari masa ke masa, TPS 29 di Kantor Dewan Perwakilan Daerah Pertuni Sumatera Utara memang selalu digunakan pemilih tunanetra sebagai tempat mencoblos. Di tempat itu, mereka merasa dilayani lebih optimal.
Sejak Februari, penyandang tunanetra yang terdaftar sebagai pemilih di TPS 29 setidaknya melakukan empat kali latihan mencoblos. Pertuni secara khusus menyediakan 10 pendamping untuk membantu tunanetra yang tidak didampingi keluarga.
”Pendamping yang disediakan itu sudah kami kenal betul. Mereka itu dulunya pembina kami waktu berlatih keterampilan di Pertuni,” ujar Sukarsih.
Meskipun usianya sudah hampir setengah abad, Sukarsih baru dua kali ikut memilih calon presiden. Saat masih tinggal di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Sukarsih yang buta sejak lahir dilarang orangtuanya ikut mencoblos.
”Kata mereka, orang buta enggak usah ikut urusan politik. Dari dulu sebenarnya ingin ikut nyoblos, tetapi takut dimarahi,” kata Sukarsih.
Namun, sejak bergabung dengan Pertuni dan pindah domisili ke Kota Medan, Sumatera Utara, ia mendapat ruang untuk ikut mencoblos. Sejak itu, ia akhirnya merasa perannya sebagai warga negara menjadi utuh.
”Jarang-jarang suara orang buta didengar. Namun, ketika pemilu, suara kami sama kerasnya dengan suara orang lain,” ucap Sukarsih dengan senyum tersungging.
Tantangan
Meskipun ditemani pendamping ketika memilih di bilik suara, tetap ada tantangan bagi mereka. Banyaknya jumlah kertas suara dengan ukuran lebar membuat mereka menghabiskan waktu cukup lama di bilik suara.
Rata-rata, setiap pemilih tunanetra di TPS 29 menghabiskan waktu berkisar 7 menit hingga 15 menit untuk menyelesaikan proses pencoblosan. Durasi itu paling lama terpakai untuk melipat kertas suara.
”Kertasnya lebar, jadi tadi kesulitan waktu akan melipat. Pendamping juga sulit membantu karena biliknya terlalu kecil untuk berdua,” kata Rubiman (53).
Banyaknya jumlah kertas suara dengan ukuran lebar membuat mereka menghabiskan waktu cukup lama di bilik suara.
Selain persoalan teknis, tantangan lain adalah soal menentukan pilihan di tengah opsi yang sangat banyak. Hal itu terutama dialami pemilih tunanetra ketika akan mencoblos surat suara DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten atau kota.
Menurut salah satu pendamping, Darmayulis (46), pemilih tunanetra seharusnya didorong menentukan pilihan sejak jauh hari. Tidak mungkin pendamping membacakan satu per satu calon.
Meski demikian, ada juga yang sudah mengantongi semua pilihan sebelum datang ke TPS. Salah satunya istri Rubiman yang juga penyandang tunanetra, Imelda Raini (47). Menurut dia, kuncinya rajin berdiskusi dengan keluarga atau teman tentang calon mana yang akan dipilih.
”Kalau sudah berdiskusi, lalu ikuti hati nurani saja. Dari sekian banyak nama yang ada di surat suara, ada beberapa yang saya tahu orangnya baik,” kata Imelda.
Bagi Imelda yang kehilangan penglihatan sejak usia 7 bulan, tidak bisa melihat bukan alasan untuk takut memilih. Justru dengan tidak bisa melihat, mereka mendengar dan memahami lebih banyak.
Justru dengan tidak bisa melihat, mereka mendengar dan memahami lebih banyak.
”Teman dekat saya sering bilang, yang tidak melihat, tetapi percaya; itu orang yang beruntung. Saya suka kata-kata dia itu,” ucap Imelda sambil membetulkan letak kerudungnya yang ditiup angin.
Meski tak melihat, Imelda dan penyandang tunanetra lain di Kota Medan tetap percaya kepada para calon pemimpin yang akhirnya dipilih. Jangan sampai para pemimpin terpilih nantinya justru sulit mendengar dan memahami.