Gema Perubahan dari Jurang Senggani
Harum biji kopi arabika Komasti Andungsari yang disangrai memancing imajinasi di antara hiruk pikuk manusia pada Coffee Camp Generasi Baru Indonesia di Bumi Perkemahan Jurang Senggani, Tulungagung, Jawa Timur, Februari lalu.
Kabut di lereng tenggara Gunung Wilis hampir habis, hanya tersisa selaput tipis di antara tegakan pinus dan cemara yang ditembus sinar surya pagi itu.
Di antara yang hadir dalam kegiatan pencinta kopi, ada yang tersenyum gembira, di antaranya Kepala Desa Nglurup Mutmainah dan Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Jurang Senggani Sidorejo Tarni. Banyaknya pengunjung tentu membawa dampak ekonomi positif bagi desa. Warga mendapat pemasukan dari jasa parkir, sewa bumi perkemahan, jasa ojek ke air terjun, serta penjualan makanan dan minuman.
Jurang Senggani di Desa Nglurup, Kecamatan Sendang, merupakan salah satu permata wisata alam Jawa Timur yang terdengar sejak lama, tetapi belum banyak disentuh karena keterbatasan akses. Melihat potensi ekonomi itu, warga berinisiatif membangun sesuatu. Mereka ”terprovokasi” keberhasilan beberapa desa yang sukses mendulang cuan dari pengembangan dan pemanfaatan obyek wisata.
Di wilayah itu ada sejumlah air terjun, yakni Empat Bidadari, Batu Prongos, dan Jurang Senggani. Untuk mencapai air terjun dari desa, jaraknya cukup jauh dan melelahkan. Karena itu, warga Nglurup beride mendirikan bumi perkemahan sebagai tempat istirahat saat menuju air terjun.
”Warga berinisiatif membuka jalur ke bumi perkemahan kira-kira tiga tahun lalu,” kata Tarni. Dengan peralatan sederhana, yakni cangkul dan linggis, rakyat memperlebar jalan setapak sehingga sepeda motor bisa tembus. Seiring berjalannya waktu, jalur terus diperlebar sehingga mobil menjangkau bumi perkemahan.
September 2016, warga desa menguji coba pengelolaan obyek baru itu bersama Perum Perhutani dan Pemerintah Kabupaten Tulungagung dengan sistem bagi hasil. Pihak Desa Nglurup mendapat 50 persen, Perum Perhutani 30 persen, dan Pemkab Tulungagung 20 persen.
Pengunjung yang masuk bumi perkemahan dikenai tiket Rp 5.000 dan asuransi Rp 500. Tarif parkir sepeda motor Rp 2.000 dan mobil Rp 5.000.
Pelan tetapi pasti, Jurang Senggani mulai dikenal dan didatangi pengunjung. Pokdarwis dan aparatur desa terus memutar otak guna berinovasi agar obyek wisata ini tetap digemari.
Tahun anggaran 2017, memanfaatkan dana desa senilai Rp 100 juta, dilakukan pelebaran dan pengerasan jalan menuju bumi perkemahan. Tahun berikutnya, diinvestasikan Rp 30 juta dari dana desa untuk membeli gazebo.
Selain itu, ada bantuan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi berupa peti kemas yang dimanfaatkan untuk sekretariat dan ruang serba guna, toilet portabel, paket perlengkapan flying fox, high rope, wahana permainan anak, serta tempat sampah senilai Rp 1 miliar. Selain itu, disuntik dana Rp 190 juta untuk melanjutkan pengerasan jalan.
Pihak TNI melalui program Tentara Manunggal Membangun Desa membantu dalam membuka akses dan membenahi bumi perkemahan. Mulai tahun 2018, lokasi kemah ini benar-benar siap menampung pengunjung. Dalam catatan Pokdarwis, di hari biasa pengunjung berkisar 200 orang per hari. Sementara di akhir pekan dan hari libur, pengunjung minimal 400 orang, bahkan bisa tembus 1.000 orang.
”Tahun 1980-an di sini pernah diadakan jambore Pramuka tingkat lokal,” ujar Mutmainah. Penambahan berbagai sarana bertujuan agar pengunjung lebih betah berkemah. Ada gardu pandang untuk melihat dataran lembah, gazebo untuk bersantai, arena bermain anak, lokasi swafoto, dan lapangan untuk mendirikan tenda. Air melimpah dan sejuk. Mushala tersedia. Jika lapar dan malas memasak sendiri, ada deretan warung makanan dan minuman.
Potensi
Selain beberapa air terjun yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki atau naik ojek sepeda motor, di Dusun Jambuak ditemukan pula arca Buddha yang belum diteliti kesejarahannya.
Pokdarwis dan aparatur desa sudah punya rencana membuka akses yang tidak melelahkan bagi pengunjung untuk melihat dan menikmati arca tersebut. ”Sarana penunjang untuk melindungi arca juga harus dibangun dan segera dianggarkan melalui dana desa,” kata Mutmainah.
Ada pula embung atau telaga kecil di Dusun Pokolimo yang bisa dijadikan sarana wisata air. Namun, sejauh ini belum ada rencana pasti akan diapakan danau kecil itu. Pokdarwis dan aparatur desa masih fokus menyelesaikan pembangunan dan penataan obyek yang ada. ”Kekuatan desa terbatas,” ujar Sukadi, Ketua Pokdarwis sebelum Tarni.
Potensi wisata lain yang bisa ”dijual” adalah budidaya kopi arabika jenis komasti andungsari dan spesialis kolombia brasil (kobra). Ketua Kelompok Usaha Bersama Omah Kopi Mandiri Kristian Yuono mengatakan, selama ini ada budidaya kopi robusta dan kobra, tetapi kurang serius karena petani rata-rata juga peternak sapi dan peladang. Akibatnya, hasil panen kopi hanya laku dijual di pasar tradisional dengan harga rendah.
Lewat pendampingan dari Bank Indonesia, sejumlah petani kopi diikutkan pelatihan teknik budidaya kopi di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember. Selanjutnya, mereka magang di PT Perkebunan Nusantara XII Sepawon untuk fokus mengenai cara pembibitan, cara tanam, perawatan, penanganan hama, pemetikan, dan pemrosesan produk akhir. ”Ada juga pelatihan pengolahan, pengemasan, pemasaran reguler, hingga pemasaran digital,” ujar Kristian.
Setelah pelatihan, petani dapat memperbaiki budidaya kopi robusta dari 2.000 pokok tanaman yang ada. Petani juga menanam varietas unggul, yakni kopi arabika komasti andungsari yang kini berjumlah 40.000 tanaman sejak penanaman perdana, April 2017.
Camat Sendang Hartono mengatakan, Desa Nglurup sebenarnya bisa membuat semacam paket wisata terpadu potensi wisata alam dan budidaya kopi. Selain itu, ada juga peternakan sapi.
Kini, warga Nglurup dalam tahap menyatukan pengelolaan wisata ke dalam badan usaha milik desa (BUMDes). Lembaga ini sudah ada sejak 2017. Awalnya untuk simpan pinjam, tetapi akan dialihkan untuk usaha budidaya sapi perah sekaligus pariwisata. ”Budidaya tanaman dan ternak serta pariwisata akan menjadi tulang punggung perekonomian kami,” kata Tarni bersemangat.