Gubernur Sulsel: Sudahi Persaingan, Kembali Bersatu
Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah mengajak masyarakat untuk menyudahi persaingan dan kembali bersatu dalam kerukunan pascapemilu ini.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Rangkaian Pemilu 2019 telah mencapai puncaknya dengan pencoblosan surat suara di tempat pemungutan suara, Rabu (17/4/2019). Dengan berakhirnya kontestasi politik lima tahun sekali ini, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah mengajak masyarakat untuk menyudahi persaingan dan kembali bersatu dalam kerukunan.
”Sepanjang kampanye, pendukung calon-calon sering saling menyindir. Semoga hari ini kita (warga Sulsel) kembali bersatu untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Saya harap stabilitas keamanan pascapemilu bisa kondusif, dan kita semua bisa kembali berangkulan,” tutur Nurdin, Rabu pagi, sebelum pergi ke TPS 42 di dekat kediamannya di Tamalanrea Jaya, Makassar.
Gubernur juga menjamin keamanan jalannya pemilu sehingga pemilih bisa mendatangi TPS dengan tenang. Sebanyak 12.000 polisi dan 4.110 anggota TNI disiapkan untuk mengamankan semua TPS. Ia mengatakan, sejak Senin, 15 April, tidak ada potensi gangguan keamanan berarti.
Partisipasi pemilih dalam pemilu menjadi indikator kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Kelancaran dan keamanan Pilkada 2018 di Sulsel menjadi modal penyelenggaraan pemilu tahun ini. Nurdin pun yakin, partisipasi pemilih dalam Pemilu 2019 bisa mencapai 80 persen.
”Partisipasi pemilih dalam pemilu menjadi indikator kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Makin tinggi tingkat partisipasi, artinya masyarakat makin percaya. Saya yakin, masyarakat masih percaya kepada pemerintah,” kata Nurdin.
Kelancaran proses penghitungan suara, rekapitulasi, dan mobilisasi surat suara dijamin dengan penyiagaan polisi serta penyediaan genset di TPS. Di sisi lain, masyarakat juga diimbau untuk turut berpartisipasi menjaga keamanan dengan tidak melaksanakan pawai kemenangan.
Nurdin menyebutkan, masyarakat sebaiknya bersabar menunggu hasil resmi dari KPU. Hasil hitung cepat (quick count) memiliki margin of error sehingga bisa saja meleset.
Di samping itu, ia mengimbau masyarakat untuk berlapang dada menerima hasil pemilu. Keamanan Sulsel sangat penting dijaga, apalagi Sulsel berperan penting sebagai salah satu daerah penyangga pangan nasional.
”Kita semua harus punya pemahaman yang sama. Ketidakterpilihan calon bukan kekalahan, melainkan keberhasilan yang tertunda. Calon yang terpilih pun mendapatkan amanah yang harus dijalankan dengan baik,” lanjutnya.
Sementara itu, sejak dimulai pukul 08.00 Wita, pemungutan suara di TPS 42 berjalan lancar. Terdapat 229 orang yang tercatat di daftar pemilih tetap (DPT). Hingga pukul 12.50 Wita, lebih dari 150 pemilih dalam DPT, termasuk Nurdin, telah mendaftarkan diri di TPS.
Sementara itu, sekitar 50 orang tercatat dalam daftar pemilih khusus (DPK). Semakin siang, semakin banyak warga yang datang memilih. Meja pendaftaran pun dipenuhi pemilih.
Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) TPS 42 Abdul Latief Fattah mengatakan, tidak ada hambatan berarti kecuali penundaan memilih selama satu jam. Penyebabnya, logistik pemilu seperti kotak suara, surat suara, dan berbagai formulir berita acara baru datang sekitar pukul 06.00 Wita.
Akibatnya, 1.170 surat suara yang terbagi menjadi lima jenis, yaitu capres-cawapres, DPD RI, DPR RI, DPR provinsi, dan DPR kabupaten/kota, baru bisa dihitung mulai pukul 07.00 Wita.
”Butuh waktu cukup lama untuk menghitungnya dan menuliskan nama kota, kecamatan, dan nomor TPS. Banyak sekali, masing-masing ada 234 lembar di tiap kategori calon,” ucap Abdul Latief.
Bingung
Salah satu pemilih di TPS 42, Tantawi Jauhari (42), merasa bingung dalam pemilu kali ini. ”Saya datang cuma buat coblos capres dan cawapres. Sisanya, saya ndak kenal sama sekali. Hanya satu caleg DPD RI yang saya tahu karena dia teman saya. Untuk caleg yang lain, saya ikuti kata hati saja,” ujarnya.
Jika tidak bisa memilih capres dan cawapres secara terpisah dengan caleg, ia berharap suatu saat pemilu bisa dilaksanakan secara digital dengan metode sidik jari di TPS. Namun, ia pesimistis itu bisa terealisasi dalam waktu dekat.
Lain halnya dengan Irma Magfirah Haris (50). Sejak dari rumah, perempuan asal Kota Parepare, Sulsel, itu telah membuat catatan kecil berisi nama-nama calon yang harus dipilih. ”Memilih capres-cawapres itu gampang sekali. Buat caleg, saya pilih berdasarkan partai yang saya percaya, kebetulan ada juga yang saya kenal,” katanya.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Andi Pangerang Moenta, yang juga memilih di TPS 42, menilai pemilu kali ini membuat masyarakat bingung. Pilpres yang digabung dengan pileg membuat konsentrasi masyarakat terpusat pada pilpres, sementara masyarakat tak bisa mengenal calegnya.
”Akibatnya, aspirasi masyarakat dengan tawaran calon sering tidak tersinkronisasi. Apalagi, banyak caleg baru yang tawarannya masih berupa mimpi, bukan kerja nyata,” katanya.
Menurut Andi Pangerang, demokrasi adalah sistem yang tidak murah. Jika ingin pemilu menghasilkan wakil rakyat yang representatif, biaya yang digelontorkan memang terpaksa mahal. Efisiensi anggaran pemilu justru menyebabkan pemilu menjadi tidak substantif.
”Apalagi, kotak suara sekarang bentuknya kardus. Ini tidak bisa menjamin keamanan, misalnya ada hujan keras atau keadaan sedang gelap gulita, bisa saja ada orang yang mau memanfaatkan situasi untuk upaya jahat. Akibatnya, pemilu yang sudah mahal rawan diulang lagi dengan biaya yang mahal juga,” tuturnya.
Nurdin Abdullah juga mengajak masyarakat dan pemerintah untuk mulai memikirkan e-voting atau pemilihan secara elektronik. Ia telah memulainya di Bantaeng saat menjabat bupati daerah itu dengan menggelar pemilihan kepala desa secara e-voting. Investasi digital di awal memang mahal, tetapi rekapitulasi suara bisa lebih cepat dan potensi konflik akibat spekulasi kemenangan calon bisa dimitigasi.