Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati mengungkapkan, ada beberapa cara yang bisa dilakukan keluarga untuk menghindarkan anak menjadi pelaku ataupun korban perundungan. Cara itu antara lain mengajarkan lebih peduli dan menghargai orang lain, mengajarkan empati dan simpati pada lingkungan, belajar menyelesaikan masalah dengan bijak, selektif dalam memilih teman, berani mengatakan tidak pada hal-hal yang merugikan, serta mengerti masa pubertas dan kondisinya.
Oleh
DEONISIA ARLINTA/PRAYOGI SULISTYO
·4 menit baca
Terlepas dari pro dan kontra yang mencuat selama sepekan terakhir atas kasus kekerasan yang dialami A (14), salah satu siswi SMP di Pontianak, Kalimantan Barat, kejadian ini seharusnya menjadi peringatan bahwa anak-anak di Indonesia belum sepenuhnya terlindungi. Belum lagi perkembangan media sosial belum diimbangi dengan literasi yang baik sehingga anak semakin terancam mengalami kekerasan, termasuk perundungan.
Berdasarkan kasus pengaduan yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2011-2018, sebanyak 1.664 kasus anak terlibat pada kasus perundungan di sekolah, baik anak sebagai korban maupun pelaku. Sementara itu, pada periode 2016-2018, total ada 439 pengaduan terkait dengan kasus perundungan anak di media sosial.
Angka itu adalah puncak gunung es dari banyak kasus yang terjadi. Tidak semua kasus dilaporkan, bahkan sebagian orangtua justru tidak sadar bahwa anaknya mengalami perundungan. Rumah dan sekolah yang digadang-gadang menjadi tempat yang aman untuk anak berkembang tanpa kekerasan malah menjadi muara pembiaran perundungan terjadi.
Hal itu terbukti dari sejumlah kasus yang muncul, seperti kasus perundungan dan penganiayaan siswa SMK PGRI 23 Srengseng Sawah yang terjadi pada Agustus 2018. Selain itu, ada pula kasus yang menimpa siswa SMPN 18 Kota Tangerang Selatan pada Maret 2018 dan siswa kelas VIII SMP negeri di Medan, Sumatera Utara, Juli 2017, yang diolok-olok karena tubuhnya yang gempal. Perundungan yang terjadi tidak hanya melalui tindakan langsung, tetapi juga media sosial.
”Sebagian besar kasus perundungan yang terjadi sekarang lebih banyak melibatkan media digital. Perundungan ini terjadi baik melalui tulisan maupun melalui gambar atau video yang disebarkan melalui internet atau media sosial,” ujar peneliti Tim Remaja Kelompok Penelitian Keluarga dan Kesehatan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agustina Situmorang.
Survei Pusat Penelitian Kependudukan LIPI tahun 2017 menunjukkan, satu dari lima anak remaja usia 15-24 tahun pernah mengalami perundungan di lingkungan sekolah. Bentuk perundungan yang dialami bervariasi, mulai dari penolakan karena penampilan fisik, pelecehan dengan komentar dan perbuatan seksual, hingga kekerasan fisik seperti ditendang, didorong, dan dikunci di dalam ruangan.
Merujuk pada kamus Webster, perundungan dapat diartikan sebagai penyiksaan ataupun pelecehan yang dilakukan tanpa motif, tetapi sengaja dilakukan dan terjadi berulang terhadap seseorang yang dianggap lebih lemah. Sementara Yayasan Sejiwa mendeskripsikan perundungan sebagai situasi ketika terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan seseorang ataupun kelompok kepada seseorang hingga membuat korban merasa terintimidasi.
Pengasuhan keluarga
Perundungan sendiri bisa terjadi dalam berbagai bentuk, yakni perundungan secara fisik, perundungan secara sosial, perundungan secara psikologis, dan perundungan secara seksual. Selain itu, istilah yang masih baru tetapi marak terjadi adalah perundungan siber. Setidaknya ada 40 persen remaja yang mengaku menjadi korban perundungan siber ini.
Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati berpendapat, perlindungan yang paling kuat bagi anak dari ancaman perundungan adalah melalui pola pengasuhan keluarga yang matang. Regulasi yang dibuat pemerintah tidak akan optimal jika ketahanan keluarga masih lemah.
Ia mengungkapkan, ada beberapa cara yang bisa dilakukan keluarga untuk menghindarkan anak menjadi pelaku ataupun korban perundungan. Cara itu antara lain mengajarkan lebih peduli dan menghargai orang lain, mengajarkan empati dan simpati pada lingkungan, belajar menyelesaikan masalah dengan bijak, selektif dalam memilih teman, berani mengatakan tidak pada hal-hal yang merugikan, serta mengerti masa pubertas dan kondisinya.
”Jika komunikasi antara orangtua dan anak saja tidak terbangun dengan baik, nilai-nilai untuk melindungi anak dari tindak perundungan susah ditanamkan. Orangtua justru bisa saja tidak menyadari anaknya telah menjadi korban atau bahkan menjadi pelaku tindak perundungan,” katanya.
Bekal karakter
Selain itu, komisioner KPAI bidang kesehatan, Sitti Hikmawatty, menambahkan, orangtua perlu memahami fase tumbuh kembang anak. Proses ini berpengaruh terhadap kondisi fisik dan kejiwaan seorang anak.
Menurut dia, fase tumbuh kembang di masa remaja merupakan fase yang paling rentan bagi anak mengalami perundungan. Fase ini merupakan masa pencarian jati diri bagi seseorang sehingga sering juga disebut sebagai masa membangkang.
Remaja merasa bukan lagi sebagai anak kecil dan ingin diberlakukan sebagai individu yang mandiri. Namun, di lain sisi, psikologis remaja masih belum matang untuk memilah mana yang baik dan yang buruk bagi dirinya.
Biasanya remaja akhirnya cenderung membentuk kelompok teman sebaya yang dianggap lebih memahami masalah yang dialami. Padahal, interaksi dari teman sebaya ini yang mendukung adanya perilaku perundungan jika bekal karakter anak belum kuat.
Untuk itu, inilah saatnya, komitmen bersama antara keluarga, sekolah, dan pemerintah lebih nyata terjadi dalam upaya melindungi anak dari tindak perundungan. Dengan begitu, tumbuh kembang anak pun bisa optimal sehingga bisa menjadi generasi emas di masa depan tanpa kekerasan.