Perbaikan Tata Kelola Tingkatkan Ekspor
Kebijakan memperbaiki tata kelola perikanan menuai peningkatan produksi dan volume ekspor perikanan di Jawa Tengah.
SEMARANG, KOMPAS Perbaikan tata kelola perikanan, seperti pelarangan pengoperasian kapal asing dan peralihan alat tangkap, mampu meningkatkan produksi dan volume ekspor perikanan Jawa Tengah. Tercatat, volume ekspor tahun 2018 meningkat 51 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Berdasarkan data BKIPM Semarang, volume ekspor perikanan Jateng pada 2017 sebesar 54.203 ton selanjutnya pada 2018 meningkat menjadi 81.719 ton. Nilai ekspor juga meningkat 14 persen, dari Rp 2,8 triliun pada 2017 menjadi Rp 3,2 triliun pada 2018.
”Pencurian (oleh kapal asing) yang telah diberantas membuat sumber daya laut dan perikanan dalam kondisi lebih baik. Stok bertambah sehingga hasil tangkapan semakin baik,” kata Kepala Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Semarang R Gatot Perdana di Semarang, Selasa (16/4/2019),Komoditas utama ekspor perikanan Jateng pada 2018 meliputi rajungan senilai Rp 1,4 triliun disusul udang Rp 715 miliar dan surimi (bahan makanan dari ikan) Rp 437 miliar. Negara tujuan ekspor dari Jateng di antaranya Amerika Serikat, Jepang, China, Malaysia, Taiwan, dan Korea Selatan.
Gatot menambahkan, pihaknya terus berupaya meningkatkan volume ekspor perikanan di Jateng, di antaranya dengan peningkatan pelayanan. ”Termasuk mendukung program pemerintah pusat terkait perizinan melalui OSS (online single submission),” ujarnya.
Upaya peningkatan mutu produk perikanan dilakukan dengan keharusan menerapkan cara pengolahan yang baik dan penerapan prosedur operasi sanitasi standar sehingga mutu produk bisa memenuhi persyaratan.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng Sakina Rosellasari menuturkan, dalam lima tahun terakhir produksi perikanan tangkap meningkat dari 270.158 ton pada 2013 menjadi 446.277 ton pada 2018. Produksi itu antara lain dari hasil tangkapan kapal di Laut Arafuru dan Laut Natuna yang didaratkan, di antaranya di Kabupaten Pati, Rembang, Batang, dan Tegal.
Pemerintah Provinsi Jateng juga menjalin kerja sama andon (nelayan yang berpindah-pindah tempat) dengan 11 provinsi, di antaranya Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta. Artinya, nelayan bebas menangkap ikan meski di luar wilayah provinsinya. Perbaikan tata kelola juga dilakukan dalam pendataan di pelabuhan perikanan dan tempat pelelangan ikan.
Tangkapan nelayan
Nelayan asal Tambak Lorok, Kota Semarang, Mas’ud (43), menuturkan, dalam setahun terakhir, ia merasakan peningkatan hasil tangkapan. Kini, dengan menangkap udang, cumi-cumi, kerang, dan lainnya, ia bisa mendapat penghasilan Rp 400.000-Rp 500.000 per hari.
Menurut dia, pendapatan itu meningkat sekitar 30 persen dari tahun sebelumnya. ”Memang, tangkapan yang didapat kini lebih awet untuk keesokan harinya. Tentunya kami berharap, hasil tangkapan semakin membaik ke depan,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, pengusaha perikanan asal Juwana, Pati, Purnomo, mengaku, kapal dengan alat tangkap purse seine atau pukat cincin miliknya menghasilkan 300-400 ton ikan di Laut Aru dalam waktu 3-4 bulan. Ikan yang ditangkap layang dan banjar.
Jumlah tangkapan itu meningkat sekitar 20 persen dibanding tahun 2017. ”Mungkin karena kapal asing sudah tidak ada. Sebelumnya, kapal asing menggunakan trawl. Kami harap sumber daya perikanan terus membaik sehingga ada keseimbangan,” katanya.
Perikanan Maluku
Potensi perikanan Maluku yang sangat besar belum memberi nilai tambah yang optimal karena ketiadaan industri pengolahan di sana. Satu-satunya industri pengolahan ikan di Kota Tual, Maluku, terpaksa ditutup karena kapal-kapal yang digunakan adalah bekas asing.
Pelaksana Harian Gubernur Maluku Hamin bin Tahir berharap pemerintah pusat dapat mendorong masuknya investor di Maluku untuk mengelola potensi tersebut. (DIT/FRN)