Reputasi harum manajer Pep Guardiola di Liga Champions dipertaruhkan saat Manchester City menjamu Tottenham Hotspur, Kamis dini hari WIB. Guardiola butuh keberanian dan tanpa kompromi seperti di saat mudanya, satu dekade silam.
MANCHESTER, SELASA – Tepat satu dekade silam, manajer Pep Guardiola menghipnotis dunia sepak bola. Pada debutnya sebagai pelatih tim senior, ia mengantarkan Barcelona FC menyapu tiga gelar alias treble semusim. Sejarah mencatatnya sebagai pelatih termuda yang memenangi trofi Liga Champions, yaitu saat berusia 38 tahun.
Saat itu, ia sangat ditakuti lawan-lawannya. Ia menciptakan “monster” seperti Andres Iniesta dan Lionel Messi yang kita kenal saat ini. Namun, di mata koleganya sesama pelatih, pria asal Spanyol itu adalah monster sesungguhnya. Ia ibarat Frankenstein, ilmuwan setengah “gila” yang idealis, tidak kenal kompromi, dan melampaui batas.
“Siapa pun, termasuk saya, tidak bisa dibanding-bandingkan dengannya. Ia adalah monster sakral dan pelatih terbaik di dunia saat ini. Saya menyukai filosofinya yang memaksa timnya selalu memaksimalkan penguasaan bola, pergerakan yang di ambang genius, dan cara merebut kembali bola yang bersih,” puji Maurizio Sarri, Manajer Chelsea, suatu ketika.
Maka itu, tak heran jika klubnya saat ini, Manchester City, menjadi tim paling ganas di Liga Champions musim ini. City memuncaki hampir seluruh daftar atribut serangan mulai dari jumlah gol, tembakkan, akurasi operan, hingga penguasaan bola. Dalam hal jumlah gol misalnya, koleksi gol mereka nyaris dua kali lipat lebih banyak dari Tottenham Hotspur, tim yang akan mereka hadapi di laga kedua perempat final Liga Champions, Kamis (18/4/2019) Pukul 02.00 WIB di Stadion Etihad.
Anehnya, seluruh statistik keunggulan itu tidak terlihat saat City dibekap Spurs 0-1 di laga pertama di Stadion Tottenham Hotspur, pekan lalu. Total serangan City di laga itu hanya separuh dari angka rata-rata per laga yang mereka buat musim ini. Jumlah operan mereka pun minimalis, yaitu 596 dari biasanya 704 per laga. City seperti jeri akan permainannya sendiri, yaitu menguasai bola dan menyerang.
Guardiola pun dikritik karena tampil hati-hati. Ia mengabaikan pola favoritnya, yaitu 4-3-3 ofensif. Ia memilih taktik defensif dengan dua gelandang bertahan yang biasa dipakai manajer pragmatis, Jose Mourinho, yaitu 4-2-3-1. Guardiola sah-sah saja khawatir bernasib serupa seperti musim lalu, yaitu ketika dibekap Liverpool baik tandang maupun kandang di perempat final Liga Champions, karena memainkan taktik ofensif itu.
Namun, tampil hati-hati dan pragmatis bukanlah jiwa Guardiola. Ia tidak lagi boleh takut kebobolan asal mencetak gol lebih banyak. Dalam konteks laga dini hari ini, City wajib menang dengan selisih minimal dua gol untuk lolos ke semifinal. Ia bisa berefleksi ke musim 2008-2009 bersama Barca. Saat itu, gawang Barca kebobolan total 35 gol. Itu adalah jumlah kebobolan terbanyaknya sepanjang karirnya melatih. Namun toh Barca meraih gelar treble.
Seperti pernah dikatakan Johan Cruyff—tokoh inspirasi Guardiola dalam melahirkan gaya tiki-taka—sebuah tim tidak akan menang tanpa menguasai bola dan menyerang. “Cara Guardiola adalah menyerang, bukan bertahan,” ujar Yaya Toure, mantan bek City, seperti ditulis Tribal Football.
Untuk itu, tiada pilihan lain bagi Guardiola selain kembali ke filosofinya. Ia agaknya bakal menurunkan skuad ofensif, termasuk duo kreatif, Bernardo Silva dan Kevin De Bruyne, yang diistirahatkan pada duel kedua tim sebelumnya. De Bruyne, yang sempat dililit masalah cedera sepanjang musim ini, mulai kembali ke bentuk permainan terbaiknya. Ia mengarsiteki dua gol saat City menekuk Crystal Palace akhir pekan lalu.
“Jika Anda menanyakan apa yang akan terjadi nanti, saya bisa berkata, kami akan di semifinal. Mungkin saya salah. Namun, itulah yang saya rasakan saat ini. Kami adalah tim yang bisa membuat gol. Itulah yang kami lakukan besok,” ujar Guardiola penuh percaya diri menatap laga kontra Spurs seperti dikutip Sky Sports.
Dicap gagal
Bagi Guardiola, Liga Champions adalah kompetisi terpenting yang dijalani City saat ini. Ia mulai kehabisan waktu membuktikan dirinya yang terhebat di kompetisi itu. Namun, sayangnya, belum sekali pun Guardiola membawa City melangkah jauh hingga ke semifinal Liga Champions di dua musim terakhir. Lebih jauh lagi, tahun 2011 adalah kali terakhir ia menembus final dan meraih trofi “si kuping lebar”.
“Kami harus ke final dan memenanginya. Jika tidak, itu bakal menjadi bencana. Saya akan kembali dihakimi, dicap gagal, seperti masa saya di (melatih) Muenchen. Standar saya tinggi. Saya harus mencapainya,” ujar Guardiola dikutip The Independent, Maret lalu.
Di kubu sebaliknya, Spurs mengumbar tekad untuk mengubur ambisi Guardiola itu. Mereka optimis bisa mencetak gol di Etihad meskipun bakal tampil tanpa striker Harry Kane yang tengah cedera. Spurs memang tidak perlu cemas karena memiliki Son Heung-min yang mengganas akhir-akhir ini. Ia mengemas dua gol dan satu asis di tiga laga terakhirnya.
“Kami bukan tim yang bisa duduk manis dan tampil bertahan agar tidak kebobolan. Kami akan berupaya mencetak gol di sana (Etihad),” ujar Victor Wanyama, pemain Spurs.