Saat penjajah pergi, bangsa Indonesia akhirnya menjadi tuan di tanah mereka sendiri. Monumen Nasional didirikan tepat di jantung kekuasaan untuk mengukuhkan tekad merdeka dan semangat persatuan dalam keberagaman.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·4 menit baca
Saat penjajah pergi, bangsa Indonesia akhirnya menjadi tuan di tanah mereka sendiri. Monumen Nasional didirikan tepat di jantung kekuasaan untuk mengukuhkan tekad merdeka dan semangat persatuan dalam keberagaman.
Dengan makna pembangunan begitu dalam, Monumen Nasional (Monas) ternyata tak pernah secara resmi diresmikan. Penataan monumen megah karya bangsa Indonesia itu pun dinilai lebih berorientasi wisata hingga belum mengantar makna sebenarnya yang begitu dalam.
Dalam sejumlah sumber disebutkan, Monas diresmikan pada 12 Juli 1975. Namun, dari penelusuran pemberitaan dan dokumen, tak ada acara peresmian Monas.
Kawasan Monas mulai dibuka untuk umum melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor Cb.11/1/57/72 tertanggal 18 Maret 1972, pada masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin.
Saat itu, Ali Sadikin hanya membolehkan rombongan/organisasi atau murid sekolah/mahasiswa masuk ke ruang tenang dan ruang museum. Pengunjung perorangan belum dibolehkan masuk Monas.
Rombongan harus mengajukan surat permohonan kepada Ketua Pelaksana Pembina Tugu Monas. Setiap pengunjung dikenai tarif Rp 100.
Baru tahun 1973, Gubernur Ali membolehkan pengunjung naik sampai pelataran puncak Monas. Tarif untuk naik sampai pelataran puncak Monas adalah Rp 500 per orang.
Setahun berikutnya, tepatnya 10 Juni 1974, Ali Sadikin meresmikan taman di bagian barat Monas. Taman ini dihiasi air mancur menari. Taman itu disebut Taman Ria.
Sejumlah tamu negara sempat mengunjungi Monas, salah satunya Ratu Elizabeth II dan suaminya, Pangeran Philip, pada 19 Maret 1974.
Penulis buku 50 Tahun Monas, Nunus Supardi, mengatakan, Monas tak pernah diresmikan. Bahkan, pembangunannya tak pernah selesai sesuai dengan rancangan awal. ”Tidak saja belum pernah diresmikan, tetapi juga belum selesai pembangunannya,” katanya.
Empat penjuru Monas awalnya direncanakan dihiasi empat patung. Hingga sekarang, hanya landasan tempat patung itu yang terbangun. Dari sebuah foto yang diambil tahun 1970-an terlihat, patung kayu banteng yang tengah menyeruduk sudah diletakkan di sana.
Nunus yang sempat menelusuri jejak patung kayu itu menemukan perajinnya di Jakarta. Namun, sekarang tak diketahui keberadaannya.
Jalan berliku
Dicanangkan pembangunannya pada 17 Agustus 1961 oleh presiden pertama Soekarno, penyelesaian Monas melalui era gonjang-ganjing pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pembangunannya pernah terbengkalai, yaitu pada 1966-1972. Kawasan terbuka itu sempat dihuni pemukim liar dan gelandangan. Rampok dan jambret berulang kali beraksi karena suasana di sana gelap pada malam hari.
Monas merupakan proyek yang begitu dibanggakan Presiden Soekarno. Ia menginginkan Monas menjadi simbol kebanggaan Indonesia yang bisa membuat tamu-tamu asing takjub melihat kehebatan sebuah bangsa yang baru saja lepas dari penjajahan selama lebih dari 350 tahun itu.
Oleh sebab itu, kata Nunus, desain Monas dibuat seperti sekarang. ”Ada lorong bawah tanah yang dirancang memberi kesan hampa pada pengunjung saat melewatinya, lalu tumbuh kekaguman, tumbuh ketakjuban, saat keluar dari lorong itu dihadapkan dengan tugu yang begitu megah,” katanya.
Namun mungkin karena begitu identik dengan Soekarno, Soeharto yang menggantikannya lupa meresmikan.
Gotong royong
Dari satu sisi, pembangunan Monas mencerminkan semangat gotong royong warga dari beragam suku, ras, dan agama. Kubah anggun Masjid Istiqlal yang berdampingan dengan menara Katedral Jakarta menjadi latar belakang di bagian barat Monas. Latar itu seakan membingkai semangat persatuan dalam Bhinneka Tunggal Ika, tepat di ruang pusat kekuasaan.
Selama pembangunannya, biaya diperoleh dari iuran masyarakat seluruh pelosok Nusantara. Sumber-sumber dana disiapkan, antara lain lewat sumbangan wajib pengusaha bioskop dari seluruh pelosok Tanah Air. Sepanjang November 1961-Januari 1962, tercatat sumbangan 15 bioskop senilai Rp 49.193.200,01.
Bioskop Parepare, Sulawesi Selatan, misalnya, tercatat menyumbang Rp 7.700,60; bioskop Watampone, Sulawesi Selatan, Rp 1.364,20; dan bioskop Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rp 884.528,85.
Emas yang berkilat di puncak Monas merupakan sumbangan pengusaha Aceh, Teuku Markam. Pada 1972, total biaya pembangunan Tugu Monas tercatat mencapai Rp 358.328.107,57.
Menurut buku Tugu Nasional, Laporan Pembangunan, disebutkan, pemerintah juga ikut mengucurkan dana untuk pembangunan Monas.
Orientasi wisata
Sejarah perjuangan bangsa berusaha disampaikan lewat Ruang Tenang dan Museum Sejarah Perjuangan Nasional di Tugu Monas. Tak hanya itu, pemandangan luas Jakarta juga bisa dinikmati dari puncaknya.
Taman Monas juga memiliki koleksi pohon-pohon khas dari 27 provinsi sebagai bentuk kekayaan hayati bangsa.
Pohon-pohon itu ditanam pada era Presiden Soeharto. Soeharto juga meminta sejumlah tamu negara asing turut menanam pohon khas negaranya di sana.
”Sampai sekarang, pohon-pohon itu masih ada. Sekarang bisa dilihat langsung oleh masyarakat sejak pagarnya dibongkar,” kata Kepala Unit Pelaksana Tenis Monas Munjirin.
Sejumlah 150 rusa totol juga ada di Taman Monas. Sayangnya, Nunus mengatakan, semangat Monas yang didirikan begitu dalam, sebagai simbol tekad merdeka dilandasi semangat bangsa, itu belum tersampaikan.
Hal ini terlihat dari penataan Monas yang dinilai lebih berorientasi sebagai obyek wisata dan menampung massa. Penataan belum membuat orang merenungkan semangat persatuan bangsa.
”Tidak pernah ada satu pemikiran serius agar Monas ini menjadi tempat bermenung akan makna perjuangan dan tekad merdeka dan persatuan bangsa,” katanya.
Menurut Nunus, penataan Monas seharusnya membuat pengunjung khidmat di area dalam tugu. Misalnya, dengan melarang orang membawa makanan dan minuman ke dalam.
Lebih penting lagi, penataan seharusnya tidak membiarkan kegiatan yang berpotensi merusak semangat persatuan bangsa. Tanpa penataan yang tepat, Monas hanya menjadi tugu megah yang hampa makna.