Surat Keputusan KLHK Terkait Buol Diajukan Sengketa ke Kumham
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Buol di Sulawesi Tengah dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengajukan sengketa peraturan perundang-undangan ke Kementerian Hukum dan HAM terkait izin pelepasan kawasan hutan bagi perusahaan sawit PT Hardaya Inti Plantations di Buol. Langkah ini dilakukan karena mereka menilai izin tersebut cacat hukum.
Penyelesaian sengketa peraturan perundang-undangan melalui jalur nonlitigasi ini langkah pertama yang dipakai Walhi sejak jalur ini dibuka oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 2017. Keputusan akhir atas sengketa ini bersifat rekomendasi kepada Presiden sebagai atasan langsung menteri penerbit perizinan.
Viktor Santoso Tandiasa, kuasa hukum Walhi dan Pemkab Buol, Selasa (16/4/2019), di Jakarta, seusai mendaftarkan sengketa di Kementerian Hukum dan HAM, mengatakan, pihaknya memohon dua rekomendasi dari Kementerian Hukum dan HAM. Permohonan rekomendasi pertama yaitu agar Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 571 Tahun 2018 tentang Pelepasan dan Penetapan Batas Areal pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi untuk Perkebunan Kelapa Sawit Atas Nama PT Hardaya Inti Plantations di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah Seluas 9.964 Ha, dicabut.
Mengutip aturan main pelepasan kawasan hutan, kata dia, Peraturan Menteri LHK Nomor 51 Tahun 2016 mempersyaratkan izin lokasi dari Bupati Buol. Syarat ini tak digunakan dalam penerbitan SK 517.
“Sebelum SK tersebut terbit, Bupati Buol sudah menolak sebanyak tiga kali (terkait pelepasan kawasan hutan),” kata Suparman, dari Bagian Hukum Pemkab Buol.
Permohonan rekomendasi kedua yaitu meminta agar “menteri” dalam Peraturan Pemerintah Nomor 104 tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, diubah.
Pada PP 104 tersebut definisi menteri merupakan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Di sisi lain, permohonan perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan salah satunya oleh menteri.
Potensi penyalahgunaan wewenang
Viktor meminta agar menteri ini dibuat spesifik, yaitu menteri yang tak mengurusi kehutanan. Misalnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang meminta lahan dari kawasan hutan memohon kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dengan kata lain, apabila definisi menteri tak diubah, menteri diberi kedudukan sebagai pemohon untuk pelepasan kawasan hutan. Namun, menteri sebagai pejabat tata usaha negara yang menerbitkan pelepasan bisa mengajukan permohonan sendiri, menyusun tim terpadu sendiri, dan terbitkan sendiri.
“Dengan logika itu menteri bisa serta merta atau otomatis menerbitkan apa yang dimohonkan sendiri. Potensi penyalahgunaan wewenang sangat besar,” kata dia
Diminta konfirmasi terkait hal ini, pejabat di KLHK belum memberikan respons. Namun Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan penerbitan SK 517 tersebut telah sesuai peraturan (Kompas.id, 21 Januari 2019).
Viktor mengatakan, SK 517 memiliki dua obyek hukum, yaitu pelepasan dan penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Ia mengatakan kedua obyek ini memiliki persyaratan berbeda.
Pelepasan kawasan hutan diatur dalam PP 104/2015 dan Permen LHK Nomor 51 Tahun 2016. Di dalamnya mensyarakatkan izin lokasi dari bupati yang menurut Viktor belum pernah diterbitkan. Malah Bupati Buol menolak memberikan izin lokasi.
Obyek kedua, penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Hal ini hanya memerlukan berita acara tata batas dan peta tanpa memerlukan syarat izin lokasi. Ia menduga penyatuan dua obyek dalam satu SK ini menjadi modus untuk mengakali kekurangan syarat izin lokasi dari bupati.