JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 110 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya yang kembali memperketat impor produk baja dinilai dapat melindungi pasar dalam negeri dari banjir produk baja impor dan melindungi industri baja.
Namun, peraturan menteri perdagangan itu belum dapat diimplementasikan. Sebab, untuk mengimplementasikannya, diperlukan peraturan menteri keuangan yang mengatur ketentuan tata cara impor dengan mengacu pada peraturan menteri perdagangan itu.
Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan di Jakarta, (17/4/2019). ”Permendag yang baru No 110 Tahun 2018 kembali memperketat impor produk baja. Namun, implementasinya belum,” kata Oke.
Dalam Permendag No 110/2018 pada intinya diatur impor besi, baja, dan produk turunannya hanya dapat dilakukan perusahaan pemilik angka pengenal importir umum (API-U) atau importir umum melalui pusat logistik berikat (PLB).
Permendag No 110/2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya diundangkan pada 20 Desember 2018. Permendag itu mulai berlaku 30 hari sejak tanggal diundangkan atau 20 Januari 2019.
Seperti diberitakan, neraca perdagangan Maret 2019 surplus 540 juta dollar AS. Kendati demikian, selama triwulan I-2019, neraca perdagangan defisit 193,4 juta dollar AS.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menyampaikan, ada tiga kelompok barang yang mendominasi impor Indonesia. Tiga kelompok barang itu adalah besi baja dan turunannya, petrokimia dan turunannya, serta kimia dasar (Kompas, 16/4/2018).
Selain itu, dalam Permendag No 110/2018 juga ditegaskan, setiap pelaksanaan impor produk besi, baja, dan produk turunannya harus terlebih dahulu dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis di pelabuhan muat atau PLB. Verifikasi atau penelusuran teknis dilakukan oleh surveyor independen.
”Kalau dalam permendag sebelumnya, pemeriksaan impor dilakukan setelah melalui kawasan berikat atau post border,” kata Oke.
Dalam Permendag No 22/2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya yang ditetapkan pada 10 Januari 2018, disebutkan bahwa pemeriksaan atas pemenuhan persyaratan impor besi, baja, dan produk turunannya dilakukan setelah melalui kawasan berikat. Persyaratan impor itu antara lain dokumen persetujuan impor dan laporan surveyor.
Serbuan
Oke menjelaskan, dengan permendag yang baru, diharapkan pasar dalam negeri dapat dilindungi dari serbuan produk baja impor. Industri baja juga dapat dilindungi.
Namun, Permendag No 110/2018 itu belum dapat terimplementasi di lapangan karena masih diperlukan ketentuan teknis impor, yaitu terkait tata cara impor dan penentuan jenis barang berdasarkan kode pos tarif (harmonized system/HS) yang dikeluarkan Kementerian Keuangan.
Oke menambahkan, permendag sebelumnya yang mengatur pemeriksaan besi dan baja impor setelah melalui kawasan berikat, semula dimaksudkan untuk memperlancar keluar masuk arus barang di pelabuhan. Namun, setelah dievaluasi, impor produk baja menjadi kurang terkontrol.
Sebagai gambaran, dari data Badan Pusat Statistik yang diolah Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Perdagangan, nilai impor produk besi dan baja pada 2018 mencapai 10,24 miliar dollar AS atau naik dibandingkan nilai impor produk besi dan baja tahun 2017 sebesar 7,98 miliar dollar AS, tahun 2016 sebesar 6,99 miliar dollar AS, dan tahun 2015 sebesar 6,31 miliar dollar AS.
Secara terpisah, Deputi Bidang Industri Agro dan Kimia Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro mengatakan, impor bahan kimia dasar cukup banyak atau kompleks karena ada bahan kimia dasar untuk keperluan industri manufaktur, industri petrokimia, dan industri obat-obatan. Dalam industri obat, impor bahan baku memang cukup besar dengan komponen impor bahan baku sebesar 90 persen.
Oleh karena itu, menurut Wahyu, Kementerian BUMN ingin membentuk perusahaan induk di bidang farmasi agar industri menjadi efisien dan bersinergi dalam pengadaan bahan baku, termasuk membuat sebagian bahan baku di dalam negeri. Dengan efisiensi dan sinergi dalam industri obat, termasuk pembuatan bahan baku melalui perusahaan induk, ditargetkan impor bahan baku dapat ditekan hingga 75 persen.
Wahyu menambahkan, pembentukan perusahaan induk BUMN di bidang farmasi masih terus dibahas antarlembaga teknis, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Sesuai rencana, yang akan menjadi induk perusahaan adalah PT Bio Farma (Persero) dengan anggota atau anak usaha PT Kimia Farma (Persero) Tbk dan Indofarma Tbk. PT Kimia Farma sudah mengakuisisi PT Phapros, anak usaha PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero). (FER)