Tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia dalam Pemilu 2019, baik untuk pemilihan presiden maupun anggota legislatif, adalah dominasi nalar dan narasi perang dalam kontestasi yang seharusnya merupakan pesta rakyat yang membuat semua orang bungah. Berbagai kosakata yang membuat rasa miris bertebaran di media sosial, seperti perang badar, perang total, dan perang ideologi, menjadi menu media sosial sehari-hari sehingga melekat dalam ingatan publik. Selain itu, tuturan bernada ancaman juga tidak kalah dahsyatnya, mulai dari ancaman people’s power sampai terjadinya kerusuhan jika penyelenggara pemilu tidak adil. Atau kalah dalam kompetisi politik (Ahmad Najib Burhani, Kompas, 16 April 2019).
Namun, ternyata, mulai pemungutan suara selesai sampai dimulainya penghitungan suara, secara umum Pemilu 2019 berlangsung dengan nyaman dan aman. Riak yang terjadi di beberapa tempat masih pada tataran yang dapat dikontrol. Pemilu yang relatif tertib dan damai telah mengawali kemenangan bangsa Indonesia terhadap ancaman yang seram dan menakutkan, seperti disebutkan di atas. Fenomena ini juga mempunyai makna, dalam pertarungan sengit yang sarat dengan gelombang ujaran kebencian primordialistik, Indonesia tetap menjadi pemenang. Rakyat Indonesia tak takluk dengan berbagai ancaman seperti itu.
Kemenangan Indonesia terasa lebih bermakna lagi karena berdasarkan hitung cepat beberapa lembaga survei, proporsi perolehan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin bergerak stabil sekitar 54 persen, sedangkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berkisar 45 persen, dengan jumlah suara masuk sekitar 80 persen. Agregat suara rakyat itu juga membuktikan bahwa sinyalemen yang menyatakan Pemilu 2019 adalah pertarungan antara kubu kebangsaan (Pancasila) dan kubu konservatif primordial, rakyat lebih banyak memilih yang pertama.
Kemenangan berikutnya dapat disimak melalui tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah. Artinya, rakyat lebih memilih kandidat yang mempunyai bukti rekam jejak berdasarkan kerja keras. Konkretnya, rakyat Indonesia akhirnya memilih lebih berdasarkan akal sehat daripada emosi.
Kemenangan lain, bangsa Indonesia berhasil membebaskan diri dari ancaman gelombang populisme dan mazhab tanpa kebenaran (post truth), khususnya politik pasca-kebenaran. Fenomena global ini telah ”memorakporandakan” negara-negara yang dianggap demokrasinya mapan, seperti terpilihnya Donald Trump dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat (2016) serta keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa. Persoalan tersebut sampai sekarang juga belum kelihatan jalan keluarnya.
Kemenangan lain lagi bangsa Indonesia adalah dari berita bohong atau hoaks yang direncanakan dan didesain dengan sadar, sengaja, rapi, cermat, dan sistematis untuk membohongi rakyat. Berita bohong menjadi lebih jahat lagi karena menyalahgunakan sentimen primordial yang menguras emosi dan intuisi primitif manusia. Bangsa Indonesia berhasil mengalahkan berita-berita bohong yang dapat menghancurkan negara.
Fenomena Indonesia menang lainnya, yang cukup signifikan, adalah pidato Prabowo Subianto, Rabu (17/4) sekitar pukul 18.00, yang bernada keras terhadap beberapa lembaga survei yang dianggap mencoba memanipulasi hasil pemilu, tetapi ia juga membuat pernyataan yang tidak kalah tegasnya agar para pendukungnya tidak berbuat anarkistis serta taat kepada hukum.
Fenomena Indonesia menang harus dijadikan momentum untuk menata agenda melakukan penataan organisasi kekuasaan negara sehingga menghasilkan pemerintah yang efektif dan demokratis. Dalam perspektif ini, politik hukum tentang regulasi yang berkenaan dengan pemilu dan pilkada; sistem kepartaian; susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPD; otonomi daerah; serta undang-undang lain yang berkenaan dengan tata pemerintahan harus mempunyai paradigma yang jelas sehingga regulasi yang satu dengan yang lain ada kohesi dan harmonis.
Agenda lain yang tidak kalah penting adalah politik pendidikan keindonesiaan. Program ini sangat mendesak karena ancaman dari arus kecil konservatisme telah menjalar sampai ke urat nadi bangsa dan negara. Jika dibiarkan, arus yang semula kecil tetapi militan ini akan semakin sulit untuk dicegah.
Modal paling utama mewujudkan adalah kedigdayaan bangsa Indonesia dalam membangun semangat kebersamaan. Jika dirunut sedikit ke belakang, ancaman terhadap ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, sudah diawali sejak Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, dan mencapai titik didih pada Pilpres 2019. Namun, Indonesia tetap kokoh bersatu. Modal lain adalah kesanggupan bangsa ini untuk menderita jika ada pemimpin yang memberikan teladan hidup sederhana. Harus diakui, sejumlah kalangan di sektor swasta kadang jengkel dengan kebijakan pemerintah, misalnya perpajakan. Akan tetapi, karena rakyat yakin bahwa kebijakan tersebut akan memperbaiki negara, rakyat tetap memilihnya.
Hakikat pemilu adalah manivestasi daulat rakyat. Dalil universal yang amat mendasar, siapa pun juaranya, kemenangan harus menjadi milik seluruh rakyat Indonesia. Rakyat sebagai pemegang saham kedaulatan berhak mendapatkan kebijakan negara untuk mewujudkan kebahagiaan seluruh rakyat sebagaimana amanat konstitusi.