Tempat Pemungutan Suara 025 di Tangerang Selatan, Banten, beroperasi lebih kurang 24 jam. Komisi Penyelenggara pemungutan suara atau KPPS, pengawas, dan saksi partai politik memastikan pesta demokrasi lima tahunan itu berjalan sesuai aturan. Lelah? Iya. Ngantuk? Itu pasti. Tetapi, mereka selalu dapat mengisi keriangan di tengah kerja yang melelahkan.
”Eh, selamat datang. I love you,” begitu kata Ketua KPPS Hariadi Agung menyapa dua remaja yang datang ke TPS 025, Rabu (17/4/2019) pukul 23.37. Kedua bocah itu nyengir saja. Mereka berkeliling menyaksikan aktivitas penyelenggara pemilu yang sedang menghitung surat suara DPD atau kotak ketiga dari total lima kotak suara Pemilu 2019.
”Eh, bos, beliin martabak dong. Jangan lupa minta bonnya,” kata Agung kepada kedua remaja itu. Setelah menerima uang, kedua remaja itu pun pergi.
Pengawas TPS, Muhidin, tetap mengawasi jalannya perhitungan suara. Mata Muhidin layu, tetapi masih merespons ketika disapa. ”Pak Muhidin, anak istri monggo ditelepon dulu, laporan,” kata Agung. ”Siap, Pak. Sudah diberi tahu,” jawab Muhidin.
TPS 025 berdiri di atas lapangan futsal kompleks Cornelia Residence, RT 005 RW 002, Kelurahan Pondok Jagung Timur, Serpong Utara. TPS bertajuk ”Kampung Bineka” ini sejak pagi sudah menarik perhatian. Petugas KPPS mengenakan pakaian adat, begitu juga sebagian dari pemilih yang datang. Wartawan silih berganti mengabadikan momen itu.
Tidak hanya soal tampilan visual yang apik, TPS ini juga dikelola secara guyub. Rabu menjelang tengah hari, panitia menyiapkan dua termos teh besar yang dicampur serai. Warga sekitar boleh juga meminumnya.
Dari sisi aturan, tidak ada kewajiban panitia TPS menyediakan konsumsi untuk pengawas ataupun saksi partai politik yang berjumlah empat orang. Pengawas dan saksi juga mendapat uang honorarium.
Di sisi lain, TPS ini (seperti juga TPS lain di Tanah Air) mendapat biaya operasional yang sama dari KPU, sekitar Rp 1,5 juta. Hanya saja, ada subsidi dari kas RT sebesar Rp 1 juta untuk keperluan dekorasi TPS. Nyatanya, makan siang pengawas dan saksi ditanggung panitia. Demikian juga makan malam. ”Tenang, Pak. TPS kami mewah: mepet sawah,” ucap Agung.
Perhitungan surat suara baru dimulai Rabu sekitar pukul 15.30. Petugas KPPS berdebat karena ada selisih surat suara. Berdasarkan data, pemilih yang mencoblos suara presiden berjumlah 274. Namun, bukti fisik surat suara hanya menemukan 273 pemilih. Akhirnya KPPS dan pengawas sepakat untuk menghitung surat suara terlebih dahulu. Keputusan ini diambil setelah mereka berdiskusi selama 1,5 jam. Awalnya, perhitungan suara direncanakan pukul 14.00.
Kotak suara presiden dibuka. Olala. Ternyata ada dua surat suara yang berada dalam satu lipatan. Pengawas memutuskan, satu surat suara itu sah dan satu surat lain masuk kategori surat suara rusak.
Dari hasil perhitungan suara, pasangan 01, Jokowi-Amin, unggul satu suara atas pasangan 02, Prabowo-Sandi. Jokowi-Amin mendapat 137 suara, sementara Prabowo-Sandi 136.
Saksi partai politik PKS, Fairuzista Anya Anindya, melaporkan, hingga Rabu tengah malam, dua kotak suara belum dihitung, yaitu DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Seluruh surat suara selesai dihitung pada Kamis pukul 06.30.
Berkaca pada perhitungan surat suara DPR RI, petugas KPPS butuh waktu sekitar tiga jam untuk menyelesaikannya. Ada 16 partai politik. Setiap partai memiliki C1 planonya sendiri, belum lagi tanda tangan berita acara dan dokumen ini itu.
Adalah wajar jika TPS ini beroperasi hingga 24 jam. Empat saksi partai politik yang terlibat menanggapi lamanya jam kerja ini secara beragam.
Bagi Zista, ini merupakan pengalaman pertama terlibat dalam penyelenggaraan pemilu. Dia letih, lelah, tetapi sepanjang pengamatan Kompas, Zista paling aktif mengingatkan tukang sorak KPPS yang kurang jeli melihat sah atau tidaknya surat suara.
Saksi dari PDI-P, Haidil Fitri, tidak keberatan dengan lamanya dirinya bermenung di TPS. Toh, aspirasi politiknya memang tersangkut pada partai berlambang banteng itu.
Saksi dari PPP, Febrian Anggi, juga sudah diberitahukan bahwa perhitungan suara akan sampai larut malam. Hanya saja, ia tidak menyangka frasa ”larut malam” itu memanjang hingga pagi. Pada pemilu mendatang, ia bersedia menjadi saksi lagi asalkan honornya ditambah. Dia mendapat honor Rp 250.000.
Sementara saksi dari Golkar, Nuriyanti, kapok menjadi saksi pemilu. Dia tidak mau lagi menjadi saksi partai untuk pemilu berikutnya. Pengalaman Pemilu 2019 memberi gambaran betapa melelahkan menjadi saksi.
Terlepas dari itu semua, baik KPPS, pengawas, maupun saksi tetap berkomitmen menuntaskan kerja mereka. Mereka berharap, pemimpin terpilih sesuai dengan harapan masyarakat, yakni bersikap jujur, adil, dan merakyat.
Agung menambahkan, isu-isu yang berpotensi mengganggu kesatuan bangsa ada baiknya direduksi, bahkan ditiadakan sama sekali. ”Tetapi tidak hanya di akar rumput karena masyarakat menengah atas juga sudah terkena,” ujarnya.