Morgan Stanley: Hasil Pilpres 2019 Hilangkan Ketidakpastian Politik dan Ekonomi Domestik
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peluang terpilihnya kembali Joko Widodo sebagai presiden Indonesia dinilai akan berpengaruh positif terhadap perekonomian Indonesia. Keyakinan terhadap keberlanjutan program pemerintah dalam lima tahun ke depan, dapat mengakhiri ketidakpastian proyeksi ekonomi nasional dari kondisi politik dalam negeri.
Hal tersebut tertuang dalam hasil riset lembaga keuangan multinasional Morgan Stanley bertajuk ”Incumbent Wins; What’s Next After The Dust Settles” yang diterima Kompas, Kamis (18/4/2019). Riset ini disusun tiga peneliti ekonomi kawasan Asia Morgan Stanley, yakni Deyi Tan, Zac Su, dan Jonathan Cheung.
Meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru akan mengumumkan hasil Pemilu pada 22 Mei 2019, hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei telah menunjukkan pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin memperoleh 54-56 persen suara. Perolehan tersebut mengungguli pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang mendapat 44-46 persen suara.
Morgan Stanley mencatat, dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla periode 2014-2019, terdapat perkembangan signifikan di sisi infrastruktur, reformasi fiskal, iklim berusaha, serta upaya menekan angka kemiskinan dan ketimpangan.
Dalam hal prioritas kebijakan, pemerintahan Jokowi pada periode selanjutnya diproyeksi akan melanjutkan fokus pengembangan industrialisasi melalui pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK). Selain itu, petahana juga berpotensi melanjutkan reformasi fiskal untuk meningkatkan daya saing ekonomi.
Namun, fokus tersebut diyakini tidak membuat pemerintah menghentikan akselerasi perkembangan infrastruktur untuk menekan biaya logistik. Reformasi birokrasi untuk memperbaiki kinerja pemerintah juga masih akan berlanjut.
Di sisi infrastruktur, misalnya, belanja pemerintah meningkat dari 1,8 persen produk domestik bruto (PDB) atau 10,2 persen total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2013 menjadi 2,8 persen PDB atau 18,5 persen APBN 2018.
Sementara dari sisi reformasi fiskal, upaya yang dilakukan antara lain meningkatkan basis pajak, memperbaiki data dan sistem informasi pajak, mengerek kepatuhan pajak, serta mengatasi pengemplangan pajak. Riset ini pun memandang positif program pengampunan pajak 2016 meski komitmen repatriasi saat itu hanya mencapai Rp 147 triliun.
Struktur ekonomi
Morgan Stanley melihat Indonesia memiliki struktur ekonomi yang terbilang kuat sehingga diproyeksi mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang kuat. Kondisi ini berbanding terbalik dari negara-negara lain di Asia yang diprediksi mengalami pertumbuhan yang moderat.
Secara keseluruhan, ekonomi Indonesia diperkirakan mampu tumbuh 5,3 persen pada 2019. Angka pertumbuhan itu bahkan bisa melonjak lebih tinggi dengan dukungan tiga hal, yakni pelonggaran tekanan pembiayaan luar negeri, daya tahan ekonomi domestik terhadap gejolak ekonomi global, serta pengeluaran fiskal yang mendukung pertumbuhan ekonomi.
Kombinasi dari melonggarnya kondisi finansial global dan membaiknya kondisi makroekonomi dalam negeri dinilai dapat menjadi alasan bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan kembali suku bunga acuan hingga 75 basis poin pada triwulan III-2019.
Berdasarkan catatan Kompas, suku bunga acuan BI saat ini berada di level 6 persen. BI menaikkan suku bunga acuan hingga 175 basis poin sejak 17 Mei 2018.
Terkait daya tahan ekonomi domestik, kinerja ekspor Indonesia diakui belum sesuai harapan dan terdampak perang dagang. Namun, orientasi ekspor Indonesia yang lebih rendah dari negara-negara lain di Asia Tenggara justru membuat Indonesia terlindungi dari momentum dagang yang merugikan.
Adapun dari sisi kebijakan fiskal, pemerintahan Jokowi pada periode kedua nanti dinilai tidak akan jorjoran dalam pengeluaran fiskal seperti periode pertama. Defisit fiskal diproyeksikan melebar menjadi 2,1 persen pada 2019 dibandingkan 1,8 persen pada 2018.
Program bantuan sosial (bansos), antara lain Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dinilai cukup sukses menekan angka kemiskinan dari 11,5 persen pada 2013 menjadi 9,7 persen pada 2018.
Transaksi berjalan
Apabila hasil pemilu sudah resmi diumumkan, perhatian pasar kemungkinan besar akan beralih dari pemilu ke implementasi kebijakan ekonomi pemerintah terpilih. Kebijakan yang tepat, lanjut Morgan Stanley, dapat menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Jika hasil pemilu sudah resmi diumumkan, perhatian pasar kemungkinan besar akan beralih dari pemilu ke implementasi kebijakan ekonomi pemerintah terpilih.
Dalam riset ini, Morgan Stanley menyarankan pemerintahan terpilih agar fokus membenahi masalah defisit transaksi berjalan. Pada 2018, defisit transaksi berjalan Indonesia menyentuh 2,98 persen PDB atau sekitar 31,1 miliar dollar AS.
Terdapat tiga poin penting yang disarankan Morgan Stanley bagi Pemerintah Indonesia untuk memperkecil defisit transaksi berjalan. Pertama, pemerintah terpilih harus mendorong produktivitas dan daya saing sektor nonkomoditas.
Langkah tersebut akan membantu mendorong pertumbuhan dan mengatasi dampak dari rendahnya harga komoditas. Daya saing yang lebih tinggi di sektor nonkomoditas bisa memperbesar potensi pertumbuhan.
Kedua, pemerintah terpilih harus memastikan sumber daya difokuskan ke area yang produktif. Kebijakan harus berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan serta riset dan pengembangan.
Aturan dan kebijakan pemerintah pun harus berpihak pada sektor tenaga kerja. Hal itu penting karena dengan memastikan kenaikan upah sejalan dengan peningkatan produktivitas, perusahaan bisa menjaga tingkat laba.
Ketiga, pemerintah tetap perlu memperbaiki iklim investasi untuk menarik penanaman modal asing (PMA) langsung. Menarik PMA langsung yang produktif di sektor nonkomoditas akan membantu mengerek potensi pertumbuhan Indonesia, memperbesar kapasitas ekspor, dan menurunkan ketergantungan impor.