Pesan Ajax di Turin
Pertemuan antara Juventus dan Ajax menghasilkan pertarungan antara dua kutub yang berbeda. Tua melawan muda dan kuno melawan modern.
TURIN, RABU — Permainan indah yang diperagakan Ajax di Stadion Allianz, Turin, Rabu (17/4/2019) dini hari WIB, tidak hanya membuat Juventus malu. Ajax meninggalkan pesan kepada Italia bahwa tim terbaik mereka masih menerapkan taktik yang sudah ketinggalan zaman.
Pada laga kedua perempat final Liga Champions itu, Ajax kembali mengejutkan dengan mengalahkan ”Si Nyonya Besar”, 2-1. Kemenangan tipis itu cukup untuk mengantar Ajax ke babak semifinal untuk pertama kalinya sejak tahun 1997. Pada laga pertama di Amsterdam, pekan lalu, kedua tim bermain imbang 1-1.
”Ini sangat aneh, tidak normal. Saya tidak punya kata-kata untuk menjelaskannya,” ujar kapten Ajax, Matthijs de Ligt.
Para pemain Ajax pantas merasa tidak percaya jika melihat kembali perjalanan mereka di kompetisi ini dan lawan-lawan yang sudah mereka taklukkan. Ajax tampil di Liga Champions melalui perjalanan panjang.
Tidak seperti tim-tim elite lain yang langsung mendapat tempat di fase grup, Ajax memulainya dari babak kualifikasi kedua. Namun, mereka tidak terbendung dengan mengatasi perlawanan tim-tim raksasa, seperti Bayern Muenchen, juara bertahan Real Madrid, dan terakhir Juventus.
”Tim ini terus berkembang. Kami sudah tahu bagaimana cara menembus batas kemampuan,” kata Pelatih Ajax Erik Ten Hag.
Di semifinal, Ten Hag dan para pemainnya sudah tidak sabar mendapati tantangan baru dengan menghadapi Manchester City atau Tottenham Hotspur.
De Ligt (19) tidak menyangka bisa menang karena Juventus merupakan tim yang paling sulit ditaklukkan di Liga Italia. Si Nyonya Besar bahkan tinggal menunggu waktu untuk merayakan gelar juara Liga Italia kedelapan kali secara beruntun.
Selain itu, tim asuhan Pelatih Massimiliano Allegri ini memiliki Cristiano Ronaldo, pemain yang berhasil mengangkat trofi Liga Champions dalam tiga musim terakhir bersama Real Madrid. Dengan membeli Ronaldo senilai 100 juta euro (Rp 1,5 triliun), Juventus memperlihatkan ambisi tidak hanya sebagai penguasa Italia, tetapi juga penguasa Eropa. Dengan segala kehebatannya itu, Juventus menjadi patokan utama untuk mengukur kekuatan klub-klub Italia saat ini.
Adapun Ajax adalah sekumpulan anak muda dengan pengalaman tak sebanding dengan para pemain yang mereka hadapi. Laman BBC menyebutkan, rata-rata usia pemain Ajax sekitar 24 tahun 202 hari, sedangkan usia rata-rata pemain Juventus 29 tahun 79 hari. Ajax merupakan tim termuda di Liga Champions musim ini, sedangkan Juventus tim tertua.
Inferioritas
Meski demikian, Ajax justru bisa menerapkan permainan modern dan membuat Juventus merasa inferior pada laga kedua kemarin. Anak-anak muda dari Amsterdam itu memperagakan serangan yang sangat cair. Bola bisa mengalir dengan indah dari kiri ke kanan dan beberapa kali Juventus tidak menduga bola itu tiba-tiba sudah berada di dekat gawang mereka.
Pergerakan bola Ajax yang mulus diperkuat dengan strategi menumpuk para penyerang di kotak penalti membuat bek Juventus harus selalu menebak arah serangan lawan. Hal itu yang membuat Ajax bisa menyamakan kedudukan menjadi 1-1 pada menit ke-34 melalui tendangan Donny van de Beek. Gol Juventus yang sudah dicetak oleh Ronaldo pun menjadi sia-sia.
Permainan yang lebih solid diperlihatkan Ajax pada babak kedua. De Ligt kemudian membuktikan diri sebagai bek muda kelas dunia dengan mencetak gol pada menit ke-87. Dia menyundul bola meski diimpit dua pemain Juventus.
Ketika para pemain Ajax tampil begitu energik dan menguasai lapangan, Juventus masih terlihat pragmatis dan cenderung bertahan. ”Allegri mampu menerapkan taktik secara luwes. Namun, ia tetap tidak bisa menerapkan gaya permainan progresif. Apakah Allegri sudah sangat ketinggalan zaman?” tulis analis sepak bola Elio Salerno dalam kolomnya di laman Football-Italia.
Desakan terhadap Allegri untuk mundur pun mulai muncul di media massa Italia. Menanggapi hal itu, Allegri dengan cepat mengatakan akan bertahan karena manajemen klub juga masih membutuhkannya untuk mengerjakan proyek yang belum tuntas.
”Sepak bola Italia tidak akan sama seperti sepak bola Belanda. Ajax sebelumnya juga harus menelan banyak kegagalan,” ujar Allegri.
Jika memilih bertahan, tugas Allegri cukup berat. Juventus sudah memiliki segalanya, mulai dari modal hingga pemain terbaik dunia. Ia harus bisa menemukan dan mengatasi akar masalah yang menyebabkan mereka selalu gagal di kompetisi elite Eropa. Masalah sama yang juga dirasakan Paris Saint-Germain. (AP/AFP/REUTERS)