Mengarungi Pedalaman Papua dengan Sisa Saraf Terjepit
Meski saraf terjepit baru sembuh, saya tetap berangkat menunaikan tugas ke pedalaman Kepulauan Yapen, Papua, demi melihat burung cenderawasih dan pengelolaan hutan. Di perjalanan, kapal dilanda ombak dan mesinnya mati.
Meski dalam kondisi baru saja sembuh dari sakit saraf terjepit, wartawan harian Kompas, Fabio Costa, tetap berangkat menunaikan tugas ke pedalaman Kepulauan Yapen, Papua, demi melihat burung cenderawasih dan pengelolaan hutan masyarakat setempat. Di perjalanan, kapal yang ditumpanginya mati dan dilanda ombak tinggi.
Tiga pekan setelah sembuh dari sakit saraf terjepit di pinggang, saya kembali memulai aktivitas meliput. Kegiatan WWF Indonesia Program Papua di Kampung Sawendui, pedalaman Kepulauan Yapen, menjadi tugas dinas luar kota pertama setelah sakit sejak akhir Februari 2019.
Untuk pertama kalinya selama lima tahun bertugas di Papua, saya mengikuti kegiatan diskusi antara komunitas adat, organisasi pegiat konservasi lingkungan, dan Pemprov Papua yang tempatnya bukanlah di hotel, melainkan di daerah pedalaman yang minim akses transportasi dan komunikasi. Tepatnya di Kampung Sawendui, Distrik Raimbawi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua. Tak ada jaringan internet dan telepon di kampung itu.
Perjalanan ke Sawendui bukanlah hal yang gampang. Saya telah menyiapkan obat pereda nyeri dan korset untuk pinggang.
Kegiatan diskusi komunitas adat diikuti 20 peserta yang merupakan perwakilan dari sembilan kelompok masyarakat pengelolaan hutan dari sejumlah kabupaten di Papua, yakni Kabupaten Jayapura, Sarmi, Keerom, Merauke, dan Kepulauan Yapen.
World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia Program Papua berperan sebagai lembaga yang menggelar kegiatan diskusi yang mengangkat tema Berbagi Pengalaman dalam Pengelolaan Hutan Bagi Masyarakat Adat di Kampung Sawendui dari 3 April hingga 6 April 2019.
Perjalanan ke Sawendui bukanlah hal yang gampang. Saya telah menyiapkan obat pereda nyeri dan korset untuk pinggang. Tujuannya untuk berjaga-jaga saja apabila sakit saya kembali kambuh.
Dari Jayapura, terlebih dahulu kami menggunakan pesawat berbadan besar ke Kabupaten Biak Numfor pada Rabu (3/4/2019) sekitar pukul 09.00 WIT. Kemudian kami menggunakan kapal milik WWF yang biasa disebut Gurano Bintang menuju Sawendui sekitar pukul 13.00 WIT. Perjalanan ke sana memakan waktu selama 8 jam.
Ombak yang cukup tinggi menyebabkan kapal bergoyang dan perut terasa mual. Namun, para peserta tetap bersemangat di kapal sambil berkaraoke ria. Rabu sekitar pukul 20.00 WIT, kami tiba di Sawendui yang dihuni sekitar 30 keluarga ini.
Anak buah kapal Gurano Bintang melepaskan jangkar di perairan yang berjarak sekitar 1 mil dari bibir pantai. Masyarakat Sawendui dengan Kepala Kampung Absalom Korano menyambut kami dengan hangat. Mereka menjemput kami dengan perahu cepat setelah jangkar. Malam itu kami melepas rasa lelah akibat perjalanan selama berjam-jam di rumah berbahan kayu milik WWF dan Bapak Absalom.
Burung cenderawasih
Pada hari pertama di Sawendui, 4 April 2019, saya bersama peserta kegiatan memulai dengan mengunjungi satu dari enam lokasi pemantauan burung cenderawasih di hutan. Perjalanan ke sana dengan melintasi bibir pantai hingga masuk ke dalam hutan sambil membawa kamera. Jarak dari Sawendui ke lokasi itu sekitar 700 meter.
Saat tiba di sana, saya beserta para peserta begitu kagum dengan keindahan enam ekor burung cenderawasih jenis Paradiseae minor atau kuning kecil jantan dan betina yang tengah bertenger di pucuk salah satu pohon jenis lolang. Tinggi pohon itu sekitar 70 meter.
Baca juga: Liputan Saat Hamil, Jatuh dari Motor hingga Menginap di Kantor Polisi
Terdapat enam lokasi pemantauan burung cenderawasih di areal seluas 100 hektar tersebut. Dari hasil pendataan WWF, terdapat juga jenis burung cenderawasih lain di Sawendui, yakni belah rotan (Cicinnurus magnificus). Total populasi satwa endemik tersebut di Sawendui 24 ekor.
Rasa khawatir apabila sakit saraf terjepit kembali kambuh langsung hilang. Saya merasa beruntung diberikan kembali kesehatan yang baik oleh Tuhan untuk menyaksikan keindahan salah satu satwa endemik di Papua.
Saat tiba di sana, saya beserta para peserta begitu kagum dengan keindahan enam ekor burung cenderawasih jenis Paradiseae minor atau kuning kecil jantan dan betina yang tengah bertenger di atas pucuk salah satu pohon jenis lolang.
Setelah kunjungan ke salah satu lokasi pemantauan burung cenderawasih, saya bersama para peserta kembali ke posko WWF Indonesia Program Papua di Sawendui.
Mereka pun bersama pihak WWF mengelar diskusi tentang potensi ekowisata dan strategi pengelolaan hutan milik masyarakat adat yang berkelanjutan hingga malam sekitar pukul 20.00 WIT.
Tantangan terberat
Hari kedua pada 5 April 2019, perjalanan yang berat menanti kami dan khususnya saya yang masih cukup ketakutan terkena lagi sakit saraf terjepit. Karena itu, saya tetap menggunakan korset yang dipasang sangat kuat di bagian pinggang. Kami akan mengunjungi salah satu lokasi inventarisasi potensi sumber daya hutan di Bukit Nomami. Kegiatan ini dilaksanakan oleh masyarakat Sawendui bersama pihak WWF sejak tahun 2016.
Sekitar pukul 09.00 WIT, kami pun menuju ke tempat itu menggunakan dua perahu motor dengan melintasi perairan Sawendui selama 15 menit. Para motoris perahu harus berusaha ekstra saat perahu akan tiba di bibir pantai mengingat perairan berarus kencang dengan ombak yang cukup tinggi. Kami pun tiba di pantai sekitar pukul 09.20 WIT.
Kami kemudian berjalan kaki di bibir pantai sekitar 1 kilometer. Lalu memasuki hutan dan mendaki bukit dengan ketinggian sekitar 200 meter. Perjalanan ke puncak Bukit Nomami sangat menguras tenaga karena kondisi jalan yang terjal, licin, dan elevasinya sekitar 90 derajat hingga 70 derajat.
Sekitar pukul 11.00 WIT, kami tiba di puncak Bukit Nomami. Dari hasil inventaris WWF dan warga setempat, terdapat 54 jenis pohon di area hutan seluas 100 hektar tersebut. Dalam perjalanan kembali ke pantai, kami pun berjalan kaki melalui rute yang berbeda. Saya dua kali terjatuh saat menuruni bukit tersebut akibat jalan yang licin dan menginjak kayu yang telah lapuk.
Jatuh yang kedua cukup berbahaya karena hampir terjun ke bawah bukit. Beruntung, ada seorang pegawai WWF yang memegang tangan saya saat terjatuh di Bukit Nomami.
Meskipun jatuh beberapa kali di hutan Bukit Nomami, pinggang saya sama sekali tidak sakit. Kami kembali berjalan hingga tiba di pinggiran pantai dengan selamat. Saat itu, waktu menunjukkan sekitar pukul 12.00 WIT. Kedua perahu yang akan menjemput kami di pinggir pantai, kembali terkendala gelombang laut yang tinggi.
Motoris perahu tetap nekat menjemput kami. Saya akhirnya naik perahu bersama Direktur WWF Indonesia Program Papua Benja Mambay dan sejumlah stafnya.
Sebelumnya, sebuah perahu motor yang mengangkut sembilan penumpang tenggelam di perairan tersebut pada 25 Februari 2019 akibat dihantam gelombang. Dua tenaga medis yang bertugas di Distrik Raimbawi, yakni dokter Lufthi Thamrin dan perawat Riko Wutoi, meninggal dalam insiden ini.
Ombak yang tinggi menyebabkan banyak air masuk ke dalam perahu kami. Saya sudah mengenakan sebuah pelampung berwarna oranye. Di tengah perairan, kami pun dipindahkan satu per satu ke kapal kedua milik WWF yang disebut Tuturuga.
Kapal ini lebih aman saat menghadapi ombak laut yang cukup tinggi. Kami pun berhasil dievakuasi ke Kampung Sawendui sekitar pukul 13.00 WIT. Bapak Absalom menyambut para tamu dengan sup ikan kuah kuning dan papeda yang begitu menggoda.
Malam harinya, peserta kembali melanjutkan diskusi tentang potensi sumber daya alam di daerah masing-masing hingga acara berakhir ini pada pukul 23.00 WIT yang sekaligus mengakhiri rangkaian kegiatan.
Terombang-ambing
Pada 6 April 2019, kami pun kembali ke Biak Numfor dengan menggunakan kapal Gurano Bintang sekitar pukul 07.00 WIT. Dalam perjalanan, salah satu komponen mesin kapal mengalami kerusakan di tengah perairan Kepulauan Yapen dan Biak.
Beberapa kali kapal mesti berhenti sekitar 30 menit hingga berjam-jam. Ketinggian ombak saat itu mencapai sekitar 1 meter. Saya dan beberapa peserta merasa pusing dan mual ingin mengeluarkan isi perut karena kapal yang terombang-ambing di tengah lautan bebas. Kami berusaha bertahan hingga akhirnya Kapten Bardin bersama awaknya berhasil untuk sementara memperbaiki komponen itu.
Namun, kapal tak bisa berjalan dengan kecepatan maksimal, 8 knot atau 14,6 kilometer per jam, akibat kerusakan tersebut. Kapal hanya bisa melaju dengan kecepatan 3 knot saja atau 5,5 kilometer per jam. Karena itu, kapal yang seharusnya tiba di Biak sekitar pukul 15.00 WIT, baru tiba sekitar pukul 23.00 WIT.
Di tengah guyuran hujan rintik dan cuaca berangin, kami menumpang sebuah perahu motor dari Kapal Gurano Bintang menuju ke salah satu dermaga tradisional. Kami langsung menuju hotel untuk menginap. Keesokan harinya, 7 April 2019, kami pun kembali ke Jayapura dengan pesawat komersial sekitar pukul 08.00 WIT.
Baca juga: Misteri Luas Kebakaran Hutan di Riau
Sungguh perjalanan yang melelahkan dan berisiko tinggi bagi saya yang baru sembuh dari sakit. Namun, peningkatan adrenalin menjadi ”candu” bagi jurnalis, apalagi untuk meliput ke Papua, daerah yang diberkahi sumber daya alam berlimpah, keindahan yang khas, dan kondisi geografis yang menantang.
Jujur, saya sempat terpikir untuk mengundurkan diri apabila tidak juga sembuh dari sakit ini. Namun, Tuhan mendengar doa saya dan masih memberikan kesempatan saya tetap berkarya sebagai pewarta untuk menyuarakan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat di Tanah Papua.